Cerpen Waspada, 3 Juni 2012 – oleh Lastri E Simanjuntak
Membingungkan
memang, tapi inilah salah satu keunikan yang dimiliki Dian. Pun juga salah satu
tembok yang mengail kejenuhan di hatiku. Biasanya setiap seratus hari sekali
Dian akan mengerjakan hal-hal yang menurutku kekanak-kanakan. Untuk merayakan
hari jadi kami menjadi sepasang kekasih.
Pandanganku
terpaku, kertas kecil berwarna kuning yang cukup menghasut untuk membaca apa
isinya. Langsung tanggap, seperti prajurit tanpa titah aku mematuhi instruksi
di setiap pesan di kertas yang isinya berkelanjutan dengan kertas lain.
“Tampaknya aku harus mengawali pagiku dengan puzzle,” gumamku kesal.
Menggerutu
karena lagi-lagi ini terjadi. Meski akhirnya kesal, kutemukan jam tangan
kesayanganku di dalam laci lemari paling sudut.
Awalnya,
kukira ini hanyalah kesensitifan seorang perempuan. Dan akan berakhir saat mereka
bosan. Namun, aku lupa Dian ‘beda’.
Bahkan,
kejadian aneh lainnya yang tidak lagi terhitung. Pernah pula menelepon ke
kantor tempatku bekerja dan memberikan pesan ‘gawat darurat’ saat aku harus
presentasi penting. Ternyata hanya akal-akalan agar merayakan hari jadi yang ke-seratus.
Tentunya buat jengkel kan? Akhirnya,
aku pun mengambil keputusan secara diam-diam. “Yang satu ini pasti berhasil,”
gumamku.
***
“Aku
mau bicara serius dengan kamu. Ini tentang hubungan kita.”
“Hubungan
kita? Maksud kamu, kamu mau melamarku?” senyum hujan harap kini terkembang di
bibirnya yang ranum.
“Bukan…
bukan itu maksudku. Aku mau pindah lokasi kerja dan ini akan memakan waktu yang
sangat lama,” akhirnya.
“Berapa
lama?”
“Entahlah
mungkin akan memakan waktu lebih dari setahun. Jadi kita nggak akan bisa ketemu
juga selama itu.”
“Oh.
Aku mengerti.”
“Berarti
kamu udah siap dengan konsekuensinya?”
“Ya.
Tapi, kamu paling tahu aku nggak bisa yang namanya long distance”.
“So
kamu mau kita putus?”
“Bukan...
bukan itu maksud aku. Aku rasa kita nggak perlu mengubah apapun saat ini.”
Aih,
raib sudah harapanku…
***
Betapa
beruntungnya aku. Mungkin hanya itu yang bisa kuungkapkan tentang perasaanku.
Maklumlah aku pemuda yang pemalu. Mungkin itu sebabnya aku menunggu lama
mengungkapkan perasaanku kepada gadis yang kusukai. Tadinya aku tidak berharap,
dia akan membalas perasaanku. Nyatanya, aku berhasil.
Gadis
yang menjadi impianku bahkan saat matahari mulai mengibarkan sayapnya ke segala
penjuru, wajah dan senyum simpulnya menari-nari di benakku.
Dian
memang bukan satu-satunya gadis cantik yang pernah kutemui. Dia sederhana.
Kadang aku turut iri pada angin. Parasnya anggun apalagi kala angin menggelitik
di sela-sela rambut coklatnya. Matanya bening dan memancarkan kelembutan dan
percaya diri.
Tujuh
tahun, aku berpisah dengan mantan kekasihku. Maut membawanya dalam sayap
kematian lebih dulu. Dan sejak itu pula tidak ada yang pernah bisa mengisi
kekosongan di hatiku. Namun, kini berbeda.
***
Duduk
menyendiri ditemani angin biasanya mampu mengail kembali semangatku yang pudar
atau sekadar pelepas dahaga letih pikiran, kapan pun. Tapi, kali ini tampaknya
itu tak mampu lagi membasuh semuanya resah. Jenuh memang telah menyelubungi
perasaanku. Aku memang tidak pernah menyesal mengenal Dian. Tapi, bagiku sifat
kekanak-kanakannya membuatku mau tak mau harus melepasnya. Huh…dengus nafasku yang letih disertai kaget. Dian datang.
“Ar,
aku bawa sesuatu. Aku rasa jam tangan ini satu-satunya yang bisa bawa kamu
kembali ke aku. Ini jam tangan mendiang ayahku,” senyum melingkar di bibir
mungil milik Dian. Juga di bibirku, tapi terasa kaku.
Hari
ini semuanya terasa mudah. Dian juga tidak memberikan petuah-petuah yang
berbelit lagi. Pun begitu tidak menghancur puncak jenuh yang mengakar kuat di
rak-rak hatiku.
Kuraih
telponku I’m stronger, lirik lagu
favorit Dian tampak mengagetiku, aku belum menggantinya. Suaranya selalu asing
untukku, ‘seasing’ ketenangan Dian melepasku pergi.
“Ar,
besok aku nggak sempat ngantar ke bandara nggak apa-apa kan?”
Mengapa
jadi begitu mudah? “Iya aku mengerti.” Rasanya aku berpikir terlalu panjang. Aku
tidak tahu kalau nyatanya semudah ini.
Belum
berselang menit, ringtoneku kembali
mengangkasa. “Apa ada lagi Di?” Ada nada kesal yang menyembul tak tertahan di
tenggorokanku. Kuakui itu bukan mauku, tapi hatiku memang sedang ‘kritis’.
Namun,
di seberang bukanlah suara Dian. Melainkan tangis keluarga Dian?
Aku
tersentak dan beranjak dari kamarku. Tergesa-gesa menyambar sepatu dan dompet. Aku
berlari sungguh kencang dari yang kutahu. Aku bahkan tak sempat tahu tubuhku
sudah bermandikan peluh. Ku berlari lebih kencang daripada pertama kali aku
ingin ‘menembak’ Dian. Karena takut keduluan dari rekan kerjaku, yang tadinya
akan menyatakan cintanya di hari yang sama waktu itu.
Tapi,
kali ini bukan senyum dan rengkuhan peluk yang menyambut. Tapi, entahlah mana
tahu ini cuma… “Akh, Apa arti sambutan kini?” gumamku. Dalam amarahku disambut
pedih yang mengiris-iris hatiku. Membuatku bingung tentang perasaanku sendiri.
Dan aku serasa kaku…
“Keterlaluan
kamu Arman! Keterlaluan!” suara ibu tampak serak dan berat. Beningnya
butiran-butiran tampak berserak di wajahnya yang keriput di makan usia. “Kemana
kamu selama tiga hari ini. Kami mencarimu Nak…”
Ratapannya
bukan karena aku kan...
“Apa
yang sebenarnya terjadi Buk? Dian mana?”
Hening
menjadi jawab atas pertanyaanku. Mata Ibu tampak rapuh. Tangis belum juga reda.
Sampai seorang dokter keluar dari satu ruangan.
Terlihat
wajahnya membawa beban dan angkat bicara menjawab semua tanya di benak Ibu
bahkan beberapa rekan keluarga Dian. “Maaf Buk… kami sudah memeriksa keadaan
putri Anda. Kita tidak punya banyak harapan. Satu-satunya jalan hanyalah pasrah
kepada Tuhan.”
Tak
ada yang sanggup bicara. Tangis ibu kembali menyembul bagai api yang siap melahap
dedaunan kering di sekitarnya. Tangis yang membuat orang lain juga ikut
terpukul. Sementara aku, diam, diam bahkan terlalu diam dari biasanya. Apa arti
ini semua...
“Apa
Anda juga keluarganya Dian?”
“I…iya
Dok. Saya Arman,” akhirnya buka suara.
“Mari
ikut saya.”
Dokter
berjalan menuju ruangan di penghujung jalan sebelah kanan. Sementara aku sudah
mengikutinya dari sisi kanannya. Akhirnya buka suara memecah kebisuan yang
terjadi beberapa menit. “Tadinya saya ingin semua keluarga Dian bisa berkumpul
di sini untuk tahu tentang keadaan Dian. Namun, saya pikir Anda lebih pantas
memberitahu Ibu dan keluarga Anda yang lain.”
Aku
mengangguk pertanda setuju.
“Sebenarnya
otak Dian sudah mati fungsi. Dan kami memberikan pengobatan seintensif mungkin.
Namun, setelah memeriksa hasilnya, kami tidak punya peluang lagi Dik. Dan
karena menunda melepaskan alat pernafasan hanya membuat derita baru untuk
kondisi Dian. Jadi, kami sarankan secepatnya Anda dan keluarga mengambil
keputusan secepat mungkin.”
Apa
ini semua nyata? Bukankah baru beberapa menit yang lalu Dian mengucapkan salam
perpisahan. Dan ini… jam tangan yang baru kemarin dilingkarkan Dian di
tanganku? Apa aku sedang bermimpi? Tapi, sosok Dian yang terbaring dengan wajah
pucat. Sepertinya bukan hitungan menit yang lalu, tapi rebah berhari-hari… Sementara
tangisan Ibu dan tempat ini… bukankah ini terlalu nyata untuk sebuah mimpi?
“Setahu
Ibu, tiga hari lalu Dian akan pergi mengantar jam tangan papanya ke rumahmu. Katanya
buat hadiah karena kamu pindah kerja ke luar negeri. Kemarin Dian terburu-buru hingga
akhirnya Dian tidak melihat kalau ada mobil yang melaju. Semuanya terlalu cepat
Arman…” Ibu berkata di sela-sela tangis.
Tentu
bukan jam tangan ini sumbernya, darah di otakku terasa berhenti mengalir. Membuatku
sulit berpikir tapi tidak tentang Dian. Aku merasa terasing di dunia nyata.
Mencoba bangun dari nyata yang seperti mimpi. Semuanya berputar di benakku.
Sejenak hatiku terasa dingin dan beku, lalu diiringi kepedihan yang luar biasa
menyelimuti seluruh tubuhku. Kaku dan ngilu pun menjalariku. Takut? Apakah
takut yang membuatku begini? Rasa takut kehilangankah?
Dan
senyum itu, bukankah senyum yang terakhir kali kutemui. Senyum yang sama tersungging
di wajahnya yang kini memutih.
Aku
takkan pernah percaya atau sekedar hinggap di kenyataan.
Siapa
yang kan percaya. Baru dua hari yang lalu Dian mengungkit hari jadi kami yang
ke-1300. Bukankah dia marah padaku karena aku selalu lupa tentang hari yang
dianggapnya spesial.
Aku
terperanjak pergi ke arah yang berlawanan tempat Dian berbaring. Sayup-sayup
kudengar suara Ibunya memanggilku. Di telingaku suaranya seperti angin melewati
saringan santan kelapa.
Bukankah
kemarin kau juga melingkari tanggal 2 ini untukku? Tak mungkin aku yang
melakukannya. Kau tahu kan aku benci warna pink. Lalu, siapa bilang kau
terbaring sejak tiga hari yang lalu? Semua tanya berpendar di kepalaku.
Aku
berteriak dengan sisa tenagaku. Mungkin suaraku sempat mengageti permukaan
udara. Tangisku pun pecah. Tangis yang bahkan tidak tumpah di hadapan
almarhumah tante Evi. Adik dan sekaligus kuanggap pengganti ibuku yang dulu
pernah mendonorkan jantungnya untukku.
Aku
harus ke rumah sakit setelah berhasil menenangkan diri. Ibu Dian dan aku
akhirnya sepakat untuk melepas Dian dua hari mulai dari sekarang. Mengapa kau
pergi begitu mudahnya? Tak bisakah aku ikut pergi?
Malam
itu, aku ingin tidur di sisi ranjang Dian. Angin kencang, hawa dingin sama
sekali tak bersahabat, tapi siapa yang menyangka malam yang dingin tak
menyakitiku seperti hari kemarin. Tiada yang meleraiku untuk memakai jaket di
musim dingin. Aku tidur begitu mudahnya. Aku bertemu Dian dan tersenyum padaku,
aku turut tersenyum. Setelah itu, semuanya menjadi hangat.
Pagi
kembali merajai hari. Tadi malam udara sangat hangat. Sayup-sayup terdengar
olehku suara perawat dan dokter yang biasa memberi obat untuk Dian. Mungkin
hari ini kondisi Dian lebih buruk, hingga mereka datang lebih awal. Tapi apa
yang mereka lakukan?
“Dia
pasti kelelahan dan kedinginan di ruangan ini. Sepertinya dia adalah pemuda
yang baik” ucap seorang dari mereka. ***