Minggu, 24 Juni 2012

MEMBUKA SELUBUNG LUKA

0 komentar

Cerpen Waspada, 3 Juni 2012 – oleh Lastri E Simanjuntak

Membingungkan memang, tapi inilah salah satu keunikan yang dimiliki Dian. Pun juga salah satu tembok yang mengail kejenuhan di hatiku. Biasanya setiap seratus hari sekali Dian akan mengerjakan hal-hal yang menurutku kekanak-kanakan. Untuk merayakan hari jadi kami menjadi sepasang kekasih.

Pandanganku terpaku, kertas kecil berwarna kuning yang cukup menghasut untuk membaca apa isinya. Langsung tanggap, seperti prajurit tanpa titah aku mematuhi instruksi di setiap pesan di kertas yang isinya berkelanjutan dengan kertas lain. “Tampaknya aku harus mengawali pagiku dengan puzzle,” gumamku kesal.

Menggerutu karena lagi-lagi ini terjadi. Meski akhirnya kesal, kutemukan jam tangan kesayanganku di dalam laci lemari paling sudut.

Awalnya, kukira ini hanyalah kesensitifan seorang perempuan. Dan akan berakhir saat mereka bosan. Namun, aku lupa Dian ‘beda’.

Bahkan, kejadian aneh lainnya yang tidak lagi terhitung. Pernah pula menelepon ke kantor tempatku bekerja dan memberikan pesan ‘gawat darurat’ saat aku harus presentasi penting. Ternyata hanya akal-akalan agar merayakan hari jadi yang ke-seratus. Tentunya buat jengkel kan? Akhirnya, aku pun mengambil keputusan secara diam-diam. “Yang satu ini pasti berhasil,” gumamku.

***
“Aku mau bicara serius dengan kamu. Ini tentang hubungan kita.”

“Hubungan kita? Maksud kamu, kamu mau melamarku?” senyum hujan harap kini terkembang di bibirnya yang ranum.

“Bukan… bukan itu maksudku. Aku mau pindah lokasi kerja dan ini akan memakan waktu yang sangat lama,” akhirnya.

“Berapa lama?”

“Entahlah mungkin akan memakan waktu lebih dari setahun. Jadi kita nggak akan bisa ketemu juga selama itu.”

“Oh. Aku mengerti.”

“Berarti kamu udah siap dengan konsekuensinya?”

“Ya. Tapi, kamu paling tahu aku nggak bisa yang namanya long distance”.

“So kamu mau kita putus?”

“Bukan... bukan itu maksud aku. Aku rasa kita nggak perlu mengubah apapun saat ini.”

Aih, raib sudah harapanku…

***
Betapa beruntungnya aku. Mungkin hanya itu yang bisa kuungkapkan tentang perasaanku. Maklumlah aku pemuda yang pemalu. Mungkin itu sebabnya aku menunggu lama mengungkapkan perasaanku kepada gadis yang kusukai. Tadinya aku tidak berharap, dia akan membalas perasaanku. Nyatanya, aku berhasil.

Gadis yang menjadi impianku bahkan saat matahari mulai mengibarkan sayapnya ke segala penjuru, wajah dan senyum simpulnya menari-nari di benakku.

Dian memang bukan satu-satunya gadis cantik yang pernah kutemui. Dia sederhana. Kadang aku turut iri pada angin. Parasnya anggun apalagi kala angin menggelitik di sela-sela rambut coklatnya. Matanya bening dan memancarkan kelembutan dan percaya diri.

Tujuh tahun, aku berpisah dengan mantan kekasihku. Maut membawanya dalam sayap kematian lebih dulu. Dan sejak itu pula tidak ada yang pernah bisa mengisi kekosongan di hatiku. Namun, kini berbeda.

***
Duduk menyendiri ditemani angin biasanya mampu mengail kembali semangatku yang pudar atau sekadar pelepas dahaga letih pikiran, kapan pun. Tapi, kali ini tampaknya itu tak mampu lagi membasuh semuanya resah. Jenuh memang telah menyelubungi perasaanku. Aku memang tidak pernah menyesal mengenal Dian. Tapi, bagiku sifat kekanak-kanakannya membuatku mau tak mau harus melepasnya. Huh…dengus nafasku yang letih disertai kaget. Dian datang.

“Ar, aku bawa sesuatu. Aku rasa jam tangan ini satu-satunya yang bisa bawa kamu kembali ke aku. Ini jam tangan mendiang ayahku,” senyum melingkar di bibir mungil milik Dian. Juga di bibirku, tapi terasa kaku.

Hari ini semuanya terasa mudah. Dian juga tidak memberikan petuah-petuah yang berbelit lagi. Pun begitu tidak menghancur puncak jenuh yang mengakar kuat di rak-rak hatiku.

Kuraih telponku I’m stronger, lirik lagu favorit Dian tampak mengagetiku, aku belum menggantinya. Suaranya selalu asing untukku, ‘seasing’ ketenangan Dian melepasku pergi.

“Ar, besok aku nggak sempat ngantar ke bandara nggak apa-apa kan?”

Mengapa jadi begitu mudah? “Iya aku mengerti.” Rasanya aku berpikir terlalu panjang. Aku tidak tahu kalau nyatanya semudah ini.

Belum berselang menit, ringtoneku kembali mengangkasa. “Apa ada lagi Di?” Ada nada kesal yang menyembul tak tertahan di tenggorokanku. Kuakui itu bukan mauku, tapi hatiku memang sedang ‘kritis’.

Namun, di seberang bukanlah suara Dian. Melainkan tangis keluarga Dian?

Aku tersentak dan beranjak dari kamarku. Tergesa-gesa menyambar sepatu dan dompet. Aku berlari sungguh kencang dari yang kutahu. Aku bahkan tak sempat tahu tubuhku sudah bermandikan peluh. Ku berlari lebih kencang daripada pertama kali aku ingin ‘menembak’ Dian. Karena takut keduluan dari rekan kerjaku, yang tadinya akan menyatakan cintanya di hari yang sama waktu itu.

Tapi, kali ini bukan senyum dan rengkuhan peluk yang menyambut. Tapi, entahlah mana tahu ini cuma… “Akh, Apa arti sambutan kini?” gumamku. Dalam amarahku disambut pedih yang mengiris-iris hatiku. Membuatku bingung tentang perasaanku sendiri. Dan aku serasa kaku…

“Keterlaluan kamu Arman! Keterlaluan!” suara ibu tampak serak dan berat. Beningnya butiran-butiran tampak berserak di wajahnya yang keriput di makan usia. “Kemana kamu selama tiga hari ini. Kami mencarimu Nak…”

Ratapannya bukan karena aku kan...

“Apa yang sebenarnya terjadi Buk? Dian mana?”

Hening menjadi jawab atas pertanyaanku. Mata Ibu tampak rapuh. Tangis belum juga reda. Sampai seorang dokter keluar dari satu ruangan.

Terlihat wajahnya membawa beban dan angkat bicara menjawab semua tanya di benak Ibu bahkan beberapa rekan keluarga Dian. “Maaf Buk… kami sudah memeriksa keadaan putri Anda. Kita tidak punya banyak harapan. Satu-satunya jalan hanyalah pasrah kepada Tuhan.”

Tak ada yang sanggup bicara. Tangis ibu kembali menyembul bagai api yang siap melahap dedaunan kering di sekitarnya. Tangis yang membuat orang lain juga ikut terpukul. Sementara aku, diam, diam bahkan terlalu diam dari biasanya. Apa arti ini semua...

“Apa Anda juga keluarganya Dian?”

“I…iya Dok. Saya Arman,” akhirnya buka suara.

“Mari ikut saya.”

Dokter berjalan menuju ruangan di penghujung jalan sebelah kanan. Sementara aku sudah mengikutinya dari sisi kanannya. Akhirnya buka suara memecah kebisuan yang terjadi beberapa menit. “Tadinya saya ingin semua keluarga Dian bisa berkumpul di sini untuk tahu tentang keadaan Dian. Namun, saya pikir Anda lebih pantas memberitahu Ibu dan keluarga Anda yang lain.”

Aku mengangguk pertanda setuju.

“Sebenarnya otak Dian sudah mati fungsi. Dan kami memberikan pengobatan seintensif mungkin. Namun, setelah memeriksa hasilnya, kami tidak punya peluang lagi Dik. Dan karena menunda melepaskan alat pernafasan hanya membuat derita baru untuk kondisi Dian. Jadi, kami sarankan secepatnya Anda dan keluarga mengambil keputusan secepat mungkin.”

Apa ini semua nyata? Bukankah baru beberapa menit yang lalu Dian mengucapkan salam perpisahan. Dan ini… jam tangan yang baru kemarin dilingkarkan Dian di tanganku? Apa aku sedang bermimpi? Tapi, sosok Dian yang terbaring dengan wajah pucat. Sepertinya bukan hitungan menit yang lalu, tapi rebah berhari-hari… Sementara tangisan Ibu dan tempat ini… bukankah ini terlalu nyata untuk sebuah mimpi?

“Setahu Ibu, tiga hari lalu Dian akan pergi mengantar jam tangan papanya ke rumahmu. Katanya buat hadiah karena kamu pindah kerja ke luar negeri. Kemarin Dian terburu-buru hingga akhirnya Dian tidak melihat kalau ada mobil yang melaju. Semuanya terlalu cepat Arman…” Ibu berkata di sela-sela tangis.

Tentu bukan jam tangan ini sumbernya, darah di otakku terasa berhenti mengalir. Membuatku sulit berpikir tapi tidak tentang Dian. Aku merasa terasing di dunia nyata. Mencoba bangun dari nyata yang seperti mimpi. Semuanya berputar di benakku. Sejenak hatiku terasa dingin dan beku, lalu diiringi kepedihan yang luar biasa menyelimuti seluruh tubuhku. Kaku dan ngilu pun menjalariku. Takut? Apakah takut yang membuatku begini? Rasa takut kehilangankah?

Dan senyum itu, bukankah senyum yang terakhir kali kutemui. Senyum yang sama tersungging di wajahnya yang kini memutih.

Aku takkan pernah percaya atau sekedar hinggap di kenyataan.

Siapa yang kan percaya. Baru dua hari yang lalu Dian mengungkit hari jadi kami yang ke-1300. Bukankah dia marah padaku karena aku selalu lupa tentang hari yang dianggapnya spesial.

Aku terperanjak pergi ke arah yang berlawanan tempat Dian berbaring. Sayup-sayup kudengar suara Ibunya memanggilku. Di telingaku suaranya seperti angin melewati saringan santan kelapa.

Bukankah kemarin kau juga melingkari tanggal 2 ini untukku? Tak mungkin aku yang melakukannya. Kau tahu kan aku benci warna pink. Lalu, siapa bilang kau terbaring sejak tiga hari yang lalu? Semua tanya berpendar di kepalaku.

Aku berteriak dengan sisa tenagaku. Mungkin suaraku sempat mengageti permukaan udara. Tangisku pun pecah. Tangis yang bahkan tidak tumpah di hadapan almarhumah tante Evi. Adik dan sekaligus kuanggap pengganti ibuku yang dulu pernah mendonorkan jantungnya untukku.

Aku harus ke rumah sakit setelah berhasil menenangkan diri. Ibu Dian dan aku akhirnya sepakat untuk melepas Dian dua hari mulai dari sekarang. Mengapa kau pergi begitu mudahnya? Tak bisakah aku ikut pergi?

Malam itu, aku ingin tidur di sisi ranjang Dian. Angin kencang, hawa dingin sama sekali tak bersahabat, tapi siapa yang menyangka malam yang dingin tak menyakitiku seperti hari kemarin. Tiada yang meleraiku untuk memakai jaket di musim dingin. Aku tidur begitu mudahnya. Aku bertemu Dian dan tersenyum padaku, aku turut tersenyum. Setelah itu, semuanya menjadi hangat.

Pagi kembali merajai hari. Tadi malam udara sangat hangat. Sayup-sayup terdengar olehku suara perawat dan dokter yang biasa memberi obat untuk Dian. Mungkin hari ini kondisi Dian lebih buruk, hingga mereka datang lebih awal. Tapi apa yang mereka lakukan?


“Dia pasti kelelahan dan kedinginan di ruangan ini. Sepertinya dia adalah pemuda yang baik” ucap seorang dari mereka. ***
 

Leave a Reply