Cerpen Republika, 24 Juni 2012 – oleh Irwan Kelana
Ia
sudah tak berharap lelaki itu akan menemuinya meski hanya untuk sekadar
mengucapkan selamat tinggal. Apalagi, hingga jam kantor berakhir, lelaki itu
tak lagi menampakkan diri. Mengapa ada perasaan yang hilang ketika Pak Bayu
pindah ke Banjarmasin? Bukankah selama ini antara ia dan Pak Bayu tak pernah
ada jalinan perasaan apa-apa? Ataukah diam-diam ada ruang di sudut hatinya yang
terpatri nama lelaki tersebut?
Jangan
pernah tanyakan kapan perasaan indah itu membelai lembut hatinya? Apakah ketika
ia terpeleset dan hampir terjatuh di depan gerbang kantor pada hari pertama ia
masuk kerja lima tahun silam? Ketika itu sebuah tangan kekar menyambar
tangannya, menolongnya, dan tiba-tiba ia merasakan debaran aneh di dadanya.
Ataukah
ketika ia dan Pak Bayu sama-sama mengikuti kursus bahasa Arab di kantor setiap
hari Selasa dan Rabu pagi? Ataukah, ketika ia dan Pak Bayu rutin setiap ba’da
Zhuhur menyimak kuliah tujuh menit (kultum) di mushala? Ataukah
kenangan-kenangan lain? Perhatian-perhatian kecilnya, yang kini ia rasakan
penuh arti?
Kegalauan
hati mengantar langkahnya ke Pejaten Village, tepatnya di Resto Little Asia.
Dia selalu menyukai tempat ini, apalagi pada saat-saat senja. Dari tempat
duduknya, ia dapat memandangi gedung Republika yang cantik bagaikan puri di
bagian utara. Di sebelah barat, gedung Philips selalu tampak bercahaya pada
malam hari. Dan, kalau melihat ke bawah, dia bisa menyaksikan jalan Warung
Buncit Raya, Jakarta Selatan, yang selalu macet, terutama pada pagi hari dan
sore hingga malam hari.
***
Sudah
tiga hari ini tubuh Rindu terasa sakit sekali. Badan rasanya seperti remuk.
Suhu tubuhnya pun panas sekali. Lina, sahabat dekatnya, mengantarnya ke RS JMC
di Jalan Warung Buncit Raya.
Dokter
menyuruhnya cek darah. Ternyata Rindu terkena demam berdarah. Ini sudah
memasuki hari ketiga. Trombositnya turun sampai 82.000.
“Anda
harus dirawat,” kata dokter.
Lina
langsung mendaftarkan Rindu ke bagian rawat inap kelas II, satu kamar untuk dua
orang. Namun, hari ini pasiennya hanya Rindu.
Rindu
menelepon mamanya di Bandung. Ternyata mamanya yang guru SMA itu harus ikut
penataran sampai lusa. Dia lalu menelepon adik perempuan satu-satunya, ternyata
dia sedang ujian semester sampai Sabtu depan.
Untunglah
Lina dengan tulus hati mau menemaninya di rumah sakit.
“Tapi,
aku cuma bisa menginap malam ini aja
ya. Soalnya besok Mas Indra balik dari tugas luar kota. Dia pasti kangen sama aku. Aku juga kangen sama dia. Seminggu berpisah rasanya
kayak setahun aja. Begitulah indahnya
pernikahan.”
“Ya deh, pasangan pengantin baru.”
“Makanya,
Non, cepat-cepat menikah. Apa lagi sih
yang kamu tunggu?”
“Pangerannya
belum datang, Lin.”
“Anak
gubernur bawa Mercy Coupe kamu tolak.”
“Karena,
aku yakin mobil itu dibeliin orang
tuanya. Aku tak suka laki-laki yang berlindung di balik ketiak ayahnya.”
“Terus,
ustaz yang lulusan Timur Tengah, kamu tolak juga.”
“Karena,
dia selalu beranggapan seakan-akan cuma dia dan kelompoknya yang benar. Orang
Islam yang lain semua salah.”
“Nah, dokter yang ganteng itu, kok kamu tolak juga?”
“Karena,
dia tidak tulus mencintaiku. Dia mengejarku hanya karena ingin membuktikan kepada
teman-temannya bahwa dia dapat menaklukkan hatiku. Aku dapat bocoran itu dari
seorang teman.”
“Lalu,
lelaki manakah yang menempati sudut hatimu saat ini?”
Rindu
menggeleng.
“Apakah
seseorang yang berada jauh di pulau itu? Mantan manajer di kantor kita yang sekarang
menjadi direktur di perusahaan tambang?” Wajah Rindu tiba-tiba bersemu merah dadu.
“Ah, kamu jangan menggodaku, Lin.”
Pagi
berikutnya, Rindu mendapatkan kiriman parsel buah yang sangat lengkap, plus jus
sari kurma dan jus jambu merah. Ada sebuah kertas kecil bertuliskan “Semoga
lekas sembuh”.
Siang
hari Lina datang.
“Wow, sang pangeran sudah kirim parsel ya?”
“Maksudmu?”
“Siapa
lagi kalau bukan seseorang yang jauh di pulau seberang itu.”
“Pak
Bayu, maksudmu?”
“Tepat!”
“Dari
mana dia tahu aku sakit?”
“Sori
ya Rin, diam-diam selama ini Pak Bayu sering menanyakan kabarmu. Kemarin waktu
dia menelepon, aku bilang kepadanya bahwa kamu sakit DB.”
Tiba-tiba
HP Rindu bergetar. Sebuah SMS masuk, “Assalamualaikum, Rindu, semoga cepat
sembuh. Nanti kalau kamu sudah diizinkan pulang oleh dokter, saya akan meneleponmu.
Boleh kan?”
Hati
Rindu tiba-tiba bagai dipenuhi seribu bunga.
“Terima
kasih, Pak Bayu.” Tanpa ragu, Rindu segera melanjutkan, “Nanti kalau sudah
sembuh, saya kabari Bapak.”
***
Pak
Bayu memenuhi janjinya. Dia menelepon tepat pukul sembilan malam. Rindu
mengangkat HP-nya dengan hati berdebar-debar.
“Assalamualaikum,
Rindu.”
“Waalaikumsalam,
Pak.”
“Sudah
sehat 100 persen?”
“100
persen mungkin belum, Pak. Tapi, sudah makin sehat.”
“Alhamdulillah.”
Sejenak
sepi.
“Rin…
saya mau tanya satu hal.”
“Apa,
Pak?”
“Apakah
kamu masih dengan kebiasaanmu yang dulu?”
“Maksud
Pak Bayu?”
“Kalau
duduk di depan komputer, kamu sering meletakkan jari tangan di atas bibirmu.”
“Pak
Bayu perhatian banget.”
“Aku
sangat suka melihatmu dengan gaya seperti itu. Sangat feminin. Makanya, dulu aku
suka curi-curi pandang melihatmu saat di depan komputer. Maaf ya, Rin.”
“Sudahlah,
Pak.” Kalau Pak Bayu berada di dekatnya, dia pasti bisa menyaksikan wajah Rindu
yang memerah tersipu.
Agak
lama suasana hening. Rindu diam menunggu.
Akhirnya
Pak Bayu berkata, “Rin, saya mau berterus terang padamu …. Terserah apa pun
jawabanmu. Saya … saya mencintaimu. Sejak bertahun-tahun lalu. Namun, aku
merasa tidak adil mencintaimu,” kata Pak Bayu.
“Mengapa,
Pak?”
“Banyak
hal yang menjadi alasan. Pertama, namamu persis sama dengan nama almarhumah istriku.
Rindu. Dengan alasan ini saja, aku merasa tidak adil mencintaimu. Aku merasa
sangat egois mencintai seorang gadis yang memiliki nama persis dengan nama
almarhumah istriku. Seakan-akan itu hanya pelarianku.”
“Tapi,
Pak, apakah salah mencintai seseorang yang namanya sama dengan almarhumah istri
Bapak? Bukankah banyak nama yang sama di dunia ini? Nama Aminah pasti banyak
persamaannya. Nama Yeni juga banyak persamaannya. Begitu pula nama Ratna dan
sebagainya.”
“Tapi,
nama Rindu hanya kamu dan almarhumah istriku.”
Rindu
terdiam. Nun di sana, Pak Bayu menghela napas.
“Alasan
kedua, kamu juga memiliki sifat-sifat yang penuh kelembutan seperti almarhumah.
Setiap kali melihat kamu dan mendengar namamu disebut orang, aku selalu
terkenang almarhumah. Ini yang membuat aku merasa sangat egois kalau
mencintaimu.”
Rindu
terdiam, tak mampu menjawab.
“Dan,
aku masih punya satu alasan lagi, Rindu. Usiaku sudah 47 tahun sedangkan kamu
baru 27 tahun. Usia kita terpaut lebih 20 tahun. Di sini, lagi-lagi aku merasa
egois mencintaimu. Kalau umurku panjang hingga 65 tahun, aku sudah tua dan jadi
kakek-kakek, sedangkan kamu baru berusia 45 tahun. Harusnya ketika itu kamu
aktif ke sana ke mari, melakukan sesuatu yang bermanfaat buat masyarakat,
paling tidak buat dirimu sendiri, bukannya menemani seorang lelaki tua di
rumah.
Sedangkan,
kalau aku wafat pada usia 55 tahun, kamu menjadi seorang janda pada usia 35
tahun. Padahal, kamu berhak untuk menikah dengan lelaki yang usianya sebaya
denganmu dan bersamanya kamu menikmati bahtera
rumah tangga dalam rentang waktu yang lama.”
“Tapi,
Pak, umur kan kita tidak tahu. Boleh
jadi saya yang masih muda ini meninggal lebih dulu. Atau, kalau saya menikah
dengan lelaki yang sebaya, ia justru umurnya pendek, siapa tahu?”
Bayu
menghela napas panjang. “Yah, kamu benar. Umur itu rahasia Allah. Tapi, ada
satu alasan lagi yang membuatku merasa egois mencintaimu.”
Rindu
sabar menunggu. Tapi, hatinya resah.
“Kamu
cantik, Rin. Dan, aku tak mau ada orang lain yang juga menyadari bahwa kamu
cantik. Aku selalu cemburu kalau ada laki-laki lain di kantor yang melirikmu
atau mengajakmu ngobrol meski sekadar
basa-basi. Ini kan egois, Rin, bahkan
konyol namanya. Ternyata, Rin, perasaan jatuh cinta itu sama saja ketika kita
usia belasan tahun, dua puluhan tahun, ataupun empat puluhan tahun.
Jangan-jangan seseorang yang berusia 60 tahun pun kalau jatuh cinta sama
rasanya dengan mereka yang berusia 20 tahun.”
Wajah
Rindu merona merah. Dia kehabisan kata-kata untuk menjawab.
“Terus
terang, Rin, selama ini aku sering kali ingin mengobrol dari hati ke hati
denganmu, namun aku tak berani. Aku hanya mengagumimu dari kejauhan. Terkadang
aku ingin sekali memujimu ketika melihat engkau mengenakan kerudung abu-abu,
ungu, atau merah hati, engkau kelihatan anggun. Aku juga sangat suka melihatmu
mengenakan kerudung warna kuning, engkau kelihatan tambah cantik. Namun, aku
paling suka kalau kamu mengenakan kerudung putih, kamu kelihatan begitu bening dan
suci seperti bidadari. Tapi, aku hanya bisa mengungkapkan kekagumanku di dalam
hati.
“Maafkan
aku, Rin. Aku selalu mengatakan kepada teman-teman bahwa aku pindah ke
Kalimantan untuk mencari tantangan baru, apalagi anak-anakku sudah kuliah
semua. Namun, sebetulnya aku pindah ke Kalimantan terutama karena aku tak mau
dikatakan egois.”
Rindu
menggigit bibir. Tiba-tiba matanya terasa panas. Butiran bening menggelayut di
pipinya yang putih.
“Pak
Bayu memang egois,” ujarnya bergetar. Ia berusaha menahan emosi yang mendera
jiwanya. “Bapak kan tidak pernah menanyakan perasaan saya. Apa yang ada di hati
saya terhadap Bapak?”
“Aku
tidak berani menanyakannya, Rin. Aku takut kecewa.”
“Itulah
bukti bahwa Bapak memang egois. Bapak hanya melihat diri Bapak sendiri.”
“Rin,
kamu cantik dan salihah. Di luar sana, pastilah banyak lelaki antre untuk
mendapatkanmu. Banyak orang tua yang bermimpi punya menantu seperti kamu. Kalau
kamu menikah dengan seorang duda setengah tua seperti saya, orang tuamu pun
akan bertanya kepadamu, ‘Apa kamu sudah tidak laku? Apa kamu tidak bisa
mendapatkan seorang pemuda lajang untuk menjadi suamimu?’ Jadi, apakah aku
pantas berharap untuk mendapatkanmu…?”
“Bapak
berhak berharap dan Bapak punya kesempatan.”
***
Sore
yang dijanjikan, Rindu kembali datang ke Pejaten Village. Ia mengunjungi Resto
Little Asia dan memesan tahu gandum serta Chinese tea.
Hatinya
berbunga-bunga. Pak Bayu mengatakan akan datang sore ini. Dia berjanji dari
Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, akan langsung ke Pejaten Village.
Namun,
setelah ditunggu tiga jam, Pak Bayu tidak juga tiba. Rindu sudah mulai pupus
harapan. “Mungkin Pak Bayu hanya bercanda. Dia sebetulnya tidak mencintaiku.
Aku salah terlalu berharap padanya,” katanya dalam hati.
Iseng,
ia membuka sebuah portal berita melalui HP-nya. Breaking News! Sebuah pesawat yang
terbang dari Banjarmasin gagal mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Pesawat itu
terbakar dan dikhawatirkan penumpangnya tewas.
Tiba-tiba
saja Rindu merasakan debar jantungnya berlari kencang. Pak Bayu! Ia segera memencet
nomor lelaki itu, namun nomor itu tidak bisa dihubungi. “Ya Allah, selamatkan Pak
Bayu,” ujarnya lirih.
Ia
membuka portal-portal berita lainnya. Namun, belum ada informasi terbaru.
Berita itu menyebutkan bahwa maskapai penerbangan seharusnya berangkat dari
Banjarmasin pukul 14.45, namun ditunda pukul 16.00 karena ada gangguan mesin.
“Itu pesawat Pak Bayu,” bisik Rindu.
Berkali-kali
Rindu mencoba menghubungi nomor HP Pak Bayu. Namun, nomor tersebut tidak aktif.
Ia sangat mengkhawatirkan nasib lelaki tersebut.
Waktu
terus berlalu. Namun, belum juga ada perkembangan berita pesawat yang gagal mendarat
tersebut. Rindu semakin cemas.
Di
langit, rona hitam pekat mengusir mega merah. Senja hilang ditelan keangkuhan malam.
Sayup-sayup
terdengar lagu Rindu—karya Eros Djarot yang dulu dinyanyikan oleh Fryda Luciana
dan kini dipopulerkan kembali oleh Agnes Monica:
Bayang-bayang di batas senja
Telah kaubawa segala yang kupunya
Rindu ini telah sekian lama terpendam
Tanpa
sadar, Rindu tersimpuh. Angin malam menerbangkan asanya menjauh. Air matanya
jatuh bersama bulir-bulir rindu yang meluruh.
Jakarta, senja, 2012.
Irwan Kelana menulis cerita pendek
sejak duduk di bangku SMA. Bukunya yang sudah terbit, antara lain, Kelopak Mawar Terakhir, Kemboja Terkulai di Pangkuan, dan Meniti Jarak Hati. Saat ini ia bekerja
sebagai wartawan Republika.