Cerpen Sumatera Ekspres, 3 Juni 2012 – oleh Otang K Baddy
SEORANG
temanku -- yang mungkin telah lama menggila, menyebutku seorang bangkai manusia
yang bergentayangan. Tiada jalan lain, untuk mengembalikan sejatinya hidup agar
aku menjadi gila atau paling tidak sesekali menjadi orang gila. Harus berani
jalan-jalan di sembarang tempat, misalnya di pasar-pasar, tempat perbelanjaan,
kantor-kantor intansi pemerintahan, dll, termasuk kalau memungkinkan di tempat
peribadatan.
“Untuk
memulai itu kau harus pertama kali berkencan atau konsultasi dulu dengan orang
gila,” lanjut teman gila itu, “Jika mengaku lelaki normal, kencanilah wanita
yang sudah gila. Jangan cari jauh-jauh, dekatilah wanita yang kerap berada di
jembatan itu sepuasmu,” ujarnya sebelum kepergiaannya menjalani hidup menjadi
orang gila.
Wah,
barangkali omongan itu sebagai upaya mencari pertemanan agar dia tak sendiri.
Aku pikir, barangkali agar komunitas orang gila semakin meningkat, begitu?
Entahlah, malam memang mulai meremang di mataku. Angin berkesiut dari utara, rasa
gigil mulai terasa menyungkup.
Kulihat
di tangan wanita itu sebuah telpon seluler tengah diutak-atik. Entah sms-an,
chatingan, facebookkan atau internetan. Juga, entah telpon seluler beneran atau
bohongan, entah pura-pura sms-an, chating-chatingan, facebook atau apa-apaan. Namun
sinar dari benda kecil persegi itu menyiratkan lampu dan menerpa wajahnya yang tampak
digasak kegelisahan.
“Selamat
malam..,” sapaku kembali seperti gila.
“Ada
yang Anda tunggu?” lagi-lagi aku menyapa seperti gila. Mungkin itu sapaan yang
asal nerocos. Sebab, kenapa aku tidak bertanya siapa namanya, atau apa yang
dilakukannya malam-malam begini.
“Engkau
sedang menunggu seseorang?” aku mengulangi bertanya, sambil memperbaiki kalimat
asal nerocos tadi. Nah, kali ini ia menoleh kepadaku dan melempar senyuman.
Kulihat gincu, bedak, alis mata, tahi lalat menghias wajahnya.
“Saya
sedang menunggu suami saya,” katanya.
“Suami?”
aku berkerenyit.
“Ya,
suami saya sedang membeli rokok. Saya disuruh menunggunya di sini sampai suami
saya datang kembali..”
“Oh,
kapan itu?”
“Duapuluh
tahun yang lalu.”
Aku
terbelalak. Aku terbelalak mungkin bukan suatu mendengar ketidakmungkinan. Aku
terbelalak, karena jangan-jangan dia tengah meledek aku dan sesungguhnya ia
tidak tengah menunggu suaminya. Aku terbelalak, karena mungkin ia menganggap
siapa pun lelaki yang mendekatinya adalah suaminya. Aku terbelalak karena tidak
ada reaksi lain selain terbelalak.
Ini
sungguh aneh. Tapi benarkah itu?
Lalu,
tentang duapuluh tahun itu?
Rentang
waktu yang amat panjang. Waktu kelahiran seseorang yang bisa menjadi dewasa.
Duapuluh tahun, merupakan satu generasi. Selama itu, tentu banyak peristiwa
menarik sudah terjadi. Nasib pun bisa berubah dua atau tiga kali dalam waktu
selama itu. Aneh. Sungguh aneh. Aku tak menemukan perubahan yang berarti pada
wanita itu.
Lalu,
aku jadi teringat sebuah cerpen karya anak bangsa, dimana di dalamnya
menceritakan seorang wanita berdiri dekat tiang listrik. Ia tengah menunggu
lelakinya selama sepuluh tahun yang tengah mencari rokok. Cerita itu -- setelah
konfirmasi pertemanan dengan penulisnya di facebook, terinspirasi dari bukunya
Iwan Simatupang. Dalam buku itu, katanya, ada cerita yang hampir sama. Yakni
seorang wanita ditinggal suaminya yang tengah membeli rokok, dan istrinya
disuruh menunggu di pojok jalan. Dan sejak itu istrinya tak melihat suaminya
lagi.
Ya,
menunggu puluhan tahun. Menunggu seorang yang tengah membeli rokok? Persis apa yang
tengah terjadi pada wanita itu. Bahkan yang ini lebih gila, duapuluh tahun.
Apakah ini suatu perwujudan dari sebuah karya pujangga dan jatuh pada sebagai
pelakonnya?
“Waktu
duapuluh tahun itu sangat lama, bukan?” Aku pikir, aku bertanya bodoh. Wanita
itu masih menunjukkan ekspresi menunggu. “Duapuluh tahun, bukan main-main. Bisa
beranak-mantu dan bercucu bagi seseorang. Bisa pula seseorang menjadi ompong
dan ubanan. Ya, ini bukan main-main.”
“Tapi
aku akan tetap menunggu.”
“Ah,
kesetiaankah namanya?”
Barangkali
kekuatan yang dipunyai oleh wanita dalam keadaan seperti itu adalah kesetiaan.
Kesetiaan yang gila tentunya. Tapi, aneh rasanya, aku bisa menemukan kesetiaan
semacam itu di tengah zaman yang pelan-pelan sudah tidak mempercayai lagi
kesetiaan?
“Suamimu
belum juga datang?”
“Belum,”
katanya tenang. Lalu disedotnya rokok itu dalam-dalam. Aku memang belum melihat
seseorang yang datang, kecuali diriku.
“Tentu,
Anda sudah mengalami banyak peristiwa selama menunggu kedatangan suami?”
“Tentu.
Tentu. Banyak sekali. Aku banyak melihat kepalsuan-kepalsuan. Topeng-topeng.
Bangkai-bangkai manusia berkeliaran, di sembarang tempat, tak terkecuali di
tempat peribadatan. Terutama dalam tata pergaulan masyarakat modern.
Barangkali, aku juga sudah tak percaya lagi bahwa suamiku akan datang, ketika
ia berkata duapuluh tahun yang lalu.”
“Jadi
apa arti duapuluh tahun bagimu?”
“Perubahan,
kepalsuan, topeng, kepura-puraan. Itu hanya kita bisa melihatnya dengan kesetiaan.
Dalam pada itu, jangan payah dan goyah dengan tanggapan. Sebab, untuk mencapai semuanya
kita harus melakukannya dengan gila.”
“Wah,
hebat sekali wanita itu aku pikir. Aku pun diam beberapa jurus untuk merenungi
peristiwa itu. “Kalau begitu, sebentar, tunggu di sini,”
kataku
kemudian.
“Tunggu
sebentar di sini, aku akan kembali setelah membeli rokok,” dan aku melangkah
mencari penjual rokok di ujung jembatan.
Barangkali,
aku hanya ingin pergi saja. Dan wanita itu tetap saja berdiri di pinggir
jembatan.
Tapi
aku tiba-tiba dilanda perasaan aneh untuk datang kembali pada wanita yang
kubiarkan menunggu di sana. Atau, aku akan datang lagi duapuluh tahun kemudian?
Entahlah.
Entahlah,
perasaan aneh itu seakan berkata; tunggu sebentar aku akan membeli rokok.
Mungkin, banyak lelaki belajar dari kalimat itu untuk meninggalkan kesetiaan?
Entahlah, aku akan benar-benar kembali berkencan melanjutkan percakapan.
Kini
di mulutku sebatang rokok baru dinyalakan. Asap pertama mengepul.
“Siapakah
wanita itu?” tanyaku pada penjual rokok.
“Itu..,
wanita yang berdiri menyandar di tiang jembatan?” tunjukku.
“Dia
selalu kulihat di sana. Katanya sedang menunggu suaminya yang membeli rokok.”
Dan benarkah
aku akan kembali setelah berkali-kali mengepulkan asap rokok?
Malam
berjalan pelan. Sebentar lagi pagi datang. Kemudian siang, lalu sore, malam
lagi. Apakah wanita itu akan tetap setia menunggu suaminya yang tengah membeli
rokok? Akankah ketahuan kepura-puraanku, sebagai manusia bangkai dari kacamata
kesetiaannya seperti apa yang pernah diceritakannya? Untuk menjawabnya,
barangkali aku harus menjadi orang gila dulu seperti apa yang telah disarankan
teman gilaku. (*)