Cerpen Waspada, 10 Juni 2012 – oleh Lilis Mulyani
Merasa
hina dan tercela. Aku selalu merasakannya. Hatiku merasa bahwa aku bukanlah
ciptaan Tuhan dan aku merasa bahwa Tuhan terkecoh karena telah mengirimku ke
duniaNya. Setiap hari aku berpikir apa yang diteriakkan oleh mereka kepadaku, tapi
aku ingat apa kata Mbah Putri bahwa ‘diri yang terhina adalah diri yang
menghina’ setiap mengingat kata Mbah Putri aku menjadi lega lalu menitikan air
mata.
Mbah
Putri sangat amat melegenda dalam hidupku dialah yang merawatku dari aku kecil,
Ibu dan Ayahku meninggal tanpa diketahui keberadaan jasad mereka. Mbah Putri
merawatku dari kecil sendirian tanpa dibantu oleh siapapun. Di mata orang
banyak Mbah Putri adalah wanita hina tapi di mataku beliau adalah wanita
sempurna. Mbah Putri dianggap hina oleh orang banyak karena dia adalah seorang
PeRek tua. Untuk menghidupiku dia rela menjadi PeRek sampai ajal menjemputnya, lalu
profesi tersebut menurun kepadaku.
Entah
apa yang kurasakan... setiap kali aku satu ranjang dengan lawan jenisku aku selalu
menangis dan hatiku terasa perih, bukan karena aku sedih harga diriku hancur
dan juga bukan karena aku teringat celaan mereka. Bahkan dua hal itu tidak
sebanding perihnya dengan yang biasa ku rasakan setiap satu ranjang dengan
lawan jenisku. Mbah Putri selalu berkata bahwa aku tak boleh seperti beliau akupun
juga telah menjanjikan hal itu tapi sekarang janji itu telah kuingkari. Sering kali
Mbah Putri kepergok olehku menangis di dalam kamar sempitnya dan sekali aku
mendengar dia berkata saat dia menangis di dalam kamarnya.
“Manusia
kotor, menjijikkan... aku sudah rusak. Tak ada lagi yang berharga dalam hidupku,
kini dunia telah menghantamku hidup-hidup...” lalu Mbah Putri megambil pisau tajam
yang berkarat dan mendekatkannya ke atas urat nadinya sendiri saat melihat hal itu
terjadi aku langsung menampakkan diriku dan berteriak.
“Jangan
Mbah Putri.” Mbah Putri pun menoleh ke arahku.
“Awan.
Sini nak,” suruhnya dan aku pun menghampiri Mbah Putri sembari menangis lalu
Mbah Putri mengelus-elus rambut hitamku dengan penuh kasih sayang.
“Mbah
Putri kenapa? Memangnya nggak ada lagi yang berharga dalam hidup Mbah Putri?”
tanyaku.
“Awan
nguping ya?” tanya Mbah putri dan akupun mengangguk. “Kamu. Cuma kamu yang
berharga dalam hidup Mbah.”
“Kalau
begitu Mbah jangan tinggalin Awan.”
Kejadian
itu sudah berlalu 19 tahun lamanya dan sampai sekarang masih dan selalu
kuingat, sampai pada akhirnya tiga tahun setelah kejadian itu Mbah Putri pergi meninggalkanku
untuk selamanya karena ditabrak oleh mobil mewah yang menurutku sepertinya
memang sengaja menabrak Mbah Putri. Aku masih selalu ingat dengan pesan Mbah
Putri ketika beliau di ujung-ujung nafasnya: “Bunuhlah yang membunuh......” pesannya
belum selesai tapi dia telah pergi jauh untuk selamanya meskipun pesan itu tak lengkap
tapi aku mengerti apa maksud dari pesan itu.
Sekarang
aku berniat menjalankan pesan Mbah Putri..., mobil mewah itu memang sudah berubah
warna dan nomor platnya tapi tidak dengan model dan tulisan yang tertera di
sudut jendela belakangnya. Aku bekerja sebagai PeRek itu hanya salah satu dari
caraku untuk memenuhi pesan atau amanah Mbah Putri meskipun banyak yang
menghina dan mencela karena profesiku aku tak peduli walau sekali dua kali aku
berniat untuk bunuh diri tapi rasanya tak lengkap mati kalau pesan itu belum ku
laksanakan.
Saat
mengingat tabrakan itu yang berlangsung dengan jelas di depan mata kepalaku
rasanya semakin tak sabar menyelesaikan pesan itu. Setiap kali melaksanakan profesiku
sebagai wanita panggilan aku teringat pada Mbah Putri kalau ternyata seperti ini
lah yang dirasakannya setiap malam untuk menghidupiku. Meskipun aku adalah
PeRek tapi bukan berarti aku selalu lupa untuk melaksanakan ibadah. PeRek ya
PeRek Iman ya Iman.
Aku
pun melangkahkan kakiku keluar rumah untuk menerima panggilan, namun seperti biasa
aku selalu diludahi dan dicacimaki.
“Hey....
pekcun... neraka udah menunggu loe , dasar rumput liar... tumbuh di mana-mana,”
cela tetanggaku yang umurnya telah mendekati maut, akupun menghampirinya dan sorot
wajahnya tampak terkejut karena tak biasanya aku meladeninya menghinaku.
“Bukannya
rumput liar itu tumbuh dimanapun dia mau dan sulit untuk dicabuti? Seharusnya Anda
bisa lebih menghargai kekuatan rumput liar dari pada bunga yang tumbuhnya di
taman bunga,” ujarku dan langsung pergi meninggalkan wanita tua beruban itu.
Lagi-lagi
aku menangis karena mengingat apa kata Mbah Putri. Ketika aku tidur aku
bermimpi, di dalam mimpiku aku melihat Mbah Putri bertengkar hebat dengan
seorang wanita sebayanya sebelum kecelakaan yang menimpa Mbah Putri terjadi, tapi
mimpi itu menjadi petunjuk bagiku. Tuhan... untuk kesekian kalinya aku
berterimakasih padamu.Wajah wanita itu sepertinya tak asing lagi bagiku... dan
sepertinya dia ada sangkut pautnya dengan kematian Mbah Putri.
Untuk
memastikan mimpiku tadi malam aku sengaja datang lebih awal ke operator PeRek
yang biasa ku datangi, menurutku wajar kalau aku tak menemukan wanita atau
mobil itu karena memang aku datang terlalu awal dari biasanya. Aku duduk di
sofa depan jendela. Begitu semangatnya aku ketika melihat mobil itu berparkir
tak jauh dari pandanganku, akupun tersenyum sinis. Lihatlah apa yang akan
terjadi… Ketika pintu mobil itu terbuka yang kulihat bukanlah wanita yang ada
di mimpiku melainkan Pria berubanlah yang keluar. Aku merasa heran dan
penasaran, sesaat pria tua itu pergi akupun menghampiri mobilnya dan memastikan
tulisan yang tertera di jendela belakang mobilnya… Jendela belakang mobil itu tertera
tulisan ‘butterfly in the night’ tak salah lagi inilah mobilnya. Ketika aku
ingin mengambil spidol dalam tasku untuk
mencoret-coret
mobil ini, tiba-tiba…..
“Hey...”
Pak tua itu menegurku dan mencurigakanku. “Sedang apa kamu?” tanyanya mulai
mendekatiku.
“Siapa
pemilik mobil ini?’’ tanyaku.
“Kenapa
kau tanyakan hal itu?” tanyanya kembali .
“Siapa?”
bentakku.
“Ya...
sayalah, memangnya siapa lagi?” jawab pak tua itu.
“Kalau
begitu siapa mendung itu?” tanyaku dan dia terlihat salah tingkah.
“Darimana
kau mengetahui nama itu?”
Tanpa
menjawab pertanyaannya akupun langsung menancapkan pisau ke bahunya dan dia
mengaduh kesakitan tak tahan.
“Kenapa
kau melakukan hal ini?” tanyanya dan aku tersenyum sinis.
“Karena
kau telah membunuh Mendung… Nenekku,” akupun langsung melangkahkan kakiku dan
meninggalkannya.
“Bukan…
bukan… aku yang… Mem…bunuh men…du..ung..,” ucapnya terpatah-patah akupun
menoleh ke arahnya dan memasang wajah bertanya.
“Istrikulah
yang melakukannya,” kata pria tua itu menahan sakit.
Di benakku
sempat ada rasa bersalah dan kaget namun aku berusaha menutupinya. Dengan aku
membunuh pria tua itu berarti aku membunuh suami yang sangat disayanginya
seperti dia membunuh Mbah Putriku yang sangat kusayangi pula dan anggaplah itu
balasan dariku dan biarkan wanita itu merasakan apa yang kurasakan, lalu dalam
waktu tak lama ini kau akan merasakan apa yang dirasakan oleh Mbah Putri.
Akupun
melanjutkan langkah kakiku tanpa memperdulikan pria tua malang itu. Beduk do’a
telah berkumandang dan akupun segera melaksanakan shalat maghribku. Siapakah
istri dari pria tua itu? Bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dengannya, Bodoh..
kenapa aku tak tanyakan hal itu pada pria tua tadi? Kalau sekarang mungkin dia
sudah mati.
***
Matahari
telah bersinar, kembali aku melangkahkan kakiku menuju ke operator PeRek yang
biasa kudatangi. Tidak seperti biasa, tetanggaku yang biasa menghinaku kini tak
kunjung menghinaku bahkan batang hidungnyapun tak tampak... Aku melihat bendera
merah terpasang di tiang listrik dan ibu-ibu berbusana serba hitam pun lewat
dan aku bertanya kepada mereka bahwa siapa yang meninggal? Dan ternyata wanita
tua yang biasa mencacikulah yang telah meninggal, innailahi wa’inna ilahi
raji’un. Tak pernah terbesit sedikitpun di dalam hatiku bahwa aku ingin wanita
tua itu cepat mati tapi yang namanya hidup dan mati hanya Tuhan yang tahu.
Akupun
sampai di rumah operator PeRek dan melihat bahwa parkiran tersebut disegel garis
polisi, dipenuhi oleh orang banyak dan terdengar suara jerit isak tangis
seseorang. Aku tak sabar melihatnya. Ketika aku mulai mendekati suara tangisan itu
ternyata tak salah lagi, dialah wanita yang ada di dalam mimpiku. Ingin
menghampirinya tapi dikiri-kanannya terdapat dua polisi yang menenangkannya. Lihatlah
betapa sedihnya wanita tua itu, menderita dan merasa bahwa dadanya telah retak
akibat tragedi yang menimpanya.
Kurasa
hampir 7 jam dia menangis dan menjerit sembari menyebut-nyebut kata ‘suamiku’. Bahkan
hal itu pun masih tidak sebanding dengan apa yang kurasakan, wanita tua itu memiliki
dua anak lelaki, mertua, ipar dan lain sebagainya. Sedangkan diriku? Aku 16
tahun sebatangkara tanpa siapapun akibat wanita sialan itu.
Hampir
sampai pukul 08.00 malam aku menunggunya. Akhirnya wanita tua itupun
menjalankan mobilnya dan kurasa ia menuju rumahnya, akupun mengikutinya dengan
menaiki Taxi. Apapun cara akan kuhalalkan untuk memenuhi pesan dari Mbah Putri.
Mobil itu berhenti di sebuah rumah yang mewah. Kurang ajar, ternyata selama ini
hidupnya dipenuhi dan dikelilingi harta yang berlimpah sedangkan diriku? Aku
sudah cukup menderita setelah wanita tua itu menghilangkan nyawa Mbah Putriku.
Setelah
ia masuk kedalam rumah aku menunggunya sampai beberapa jam lamanya hingga rumah
itu gelap dan akupun mulai mengendap-endap masuk, seperti yang kuduga, rumah ini
dikunci rapat. Tentu aku tak kehabisan akal, akupun menyongkel lubang kunci
dengan kawat. “Percuma rumah mewah kalau pintupun mudah dibuka dengan kawat
kecil ini,” ucapku dalam hati.
Dengan
perlahan aku masuk dan mencari kamarnya. Kubuka pintu yang lebih besar dari pintu
yang lainnya kurasa kamar Tuan dan Nyonyalah yang paling mewah, kubuka dengan perlahan
dan penuh hati-hati. Aku ternganga tak menyangka dan kembali menutup pintunya.
Ternyata
kematian suaminya membuat dia lebih dari gila. Akupun tak perlu menghabisinya. Karena
cairan merah segar telah bercecer kemana-mana.
—TAMAT—