Cerpen Waspada, 17 Juni 2012 – ole Epi Nurlinda
Namaku
Syahdu. Syahdu Meiliza Garla. Kata orang-orang aku adalah anak emas, orang
tuaku sangat menyayangiku. Walau aku bukanlah anak semata wayang. Aku anak
bungsu dari empat bersaudara. Tiga saudaraku berjenis kelamin laki-laki, maka
akulah perempuan bungsu itu.
Aku
dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Ibuku hanya sebagai ibu rumah tangga
biasa, ia juga nyambi membuka toko di rumah dan ayahku sebagai karyawan di
perusahaan swasta. Aku adalah anak dalam doa yang dikandung sembilan bulan tanpa
mengonsumsi makanan selain obat-obatan yang dianjurkan dokter. Ibuku merindukan
sosok anak perempuan di keluarganya, maka hadirlah aku untuk memenuhi harapnya.
Semenjak
aku lahir, aku dijaga seperti emas. Tidak bisa lepas dari pandangan mereka. Aku
bukannya diajarkan manja, keterbatasan ekonomi membuatku sadar harus bagaimana aku
bersikap. Tapi aku dilindungi dari perantara-perantara yang akan menggangguku.
Jika kusakit mereka akan membawaku kemana saja untuk kesembuhanku. Mungkin jika
nyawa menjadi taruhannya, orang tuaku rela menjadi tumbalnya. Didukung lagi
dengan ketiga abangku yang siap menjadi pengawalku kemana aku pergi.
Sejak
kecil aku memang patuh pada kedua orangtuaku. Aku juga tidak tahu, kenapa Tuhan
menciptakan hati yang baik untukku. Hingga tumbuh remaja pendapatku mulai
bertolak belakang dengan orangtuaku. Aku tidak suka hidupku diatur, dari
penampilanku, pergaulanku serta keterampilanku. Mereka terlalu mengekangku. Mengatur
semua hidupku. Aku tidak menjadi diri sendiri, padahal aku adalah remaja yang mencari
jati diri. Bukan menjadi diri orangtuaku. Tapi aku tetap mematuhinya, karena
aku tahu akan berdosa jika tidak melayani kata-katanya.
Satu
lagi, tidak ada sembarang orang yang akan pergi bermain denganku. Hanya dengan teman
yang statusnya lengkap dengan orang tuaku mengenal anak dari siapa, tahu
rumahnya, dan kebajikan keluarganya. Menempuh perjalanan dari rumah lima belas
menit saja kadang aku harus bertengkar kecil dulu dengan orang tuaku. Hingga di
usiaku yang menginjak dua puluh tahun ke ataspun harus tetap menjadi
pengawasan. Sungguh orang tuaku mengkhawatirkanku secara berlebih-lebihan. Mungkin
jika bisa aku dikurung di lemari kaca yang dikunci untuk menjadi perhiasan mata
mereka. Tapi aku perhiasan yang hidup, yang butuh dunia untuk menjalani
kehidupanku.
Bukan
hanya itu, kuliahku juga mereka yang menentukan jurusan apa yang harus aku
ambil. Aku ingin menjadi perawat atau psikolog, tapi mereka menyuruhku menjadi
guru saja. Aku tidak tahu terbuat dari apa hatiku, sehingga perkataan orang tua
adalah kewajiban yang harus dipenuhi selama aku menjadi anak. Walau profesiku menjadi
guru sekarang adalah pilihan orang tuaku. Tapi aku masih bisa menikmatinya dan menerima
itu semua.
Kini
aku tumbuh menjadi seorang gadis matang. Orang-orang memujiku kagum. Kulit kuning
langsat, mata lebar, pipi tembam, mempunyai lesung pipit, menambah manis
senyumku. Sungguh serasi di wajahku, semua itu layak untuk dipuji. Baik, ramah,
periang, sabar, ya itulah aku kata mereka. Mungkin karena itu tidak sedikit laki-laki
yang berusaha mencoba mencuri hatiku. Tapi aku memang tidak suka menerima laki-laki
sembarang untuk singgah di hatiku.
Ada
lelaki yang mampu mencuri hatiku ketika aku duduk di bangku kuliah. Aku sangat mencintainya.
Hingga ada sesuatu hal yang membuat kami harus berpisah. Ada janji yang kami
rajut untuk bertemu di saat usia sudah mapan. Dan aku benar-benar menantinya untuk
datang melamarku.
Di
usiaku yang sudah mapan kini. Lelaki itu juga tidak datang untukku. Aku
menunggu janjinya. Hingga suatu saat, ibuku gelisah karena anak emasnya tidak
kunjung menikah. Cantik, baik, pintar, dan bersarjana. Lelaki yang datang untuk
memintakupun harus diabaikan. Karena aku memang tidak mencintainya dan tetap
setia pada lelaki yang merajut janji denganku.
Ibu
tidak tahan mendengar kicauan tetangga yang selalu menanyakan pasangan hidupku.
Akhirnya ibu campur tangan menjodohkanku dengan lelaki pilihannya. Bara
namanya. Aku tidak tahu, serta-merta saja ibu menerima lamarannya untukku. Sepertinya
ibu sudah cukup lama mengenal Bara. Hingga ia menjaminkan hidupku untuk menetap
ke tulang rusuknya. Karena aku tahu, ibu tidak sembarangan memilihkan laki-laki
untukku.
“Ibu,
apa-apaan ini, Ibu menjodohkanku?”
“Ibu
memilihkan yang terbaik untukmu.”
“Tapi
aku tidak mengenalnya, Bu.”
“Ibu
sudah mengenalnya.”
“Kenapa
Ibu tidak membicarakannya terlebih dahulu denganku?”
“Untuk
apa dibicarakan, ibu sudah setuju kok. Bara laki-laki yang baik.”
“Ibu
boleh mengaturku dari kecil sesuka hati Ibu, tapi jangan cintaku. Hati ini
milikku, Bu.” Mataku mulai berkaca-kaca. Berharap ia meralat kembali kata-katanya.
“Tidak
Syahdu, Ibu tidak akan membiarkan anak ibu jadi bahan ceritaan ibu-ibu di luar sana.
Dua bulan lagi kamu menikah dengan Bara.”
“Tapi
aku menanti orang yang mencintaiku di seberang sana, Bu.”
“Kenapa
dia tidak datang untukmu, Syahdu. Lihatlah sudah berapa umurmu sekarang, kamu
hampir menginjak kepala tiga Syahdu, ibu tak mau kamu menjadi perawan tua.
Apakah ibu harus berdiam diri dengan semua ini. Ibu sudah bosan menanti lelaki
yang kamu cintai itu, toh sampai sekarang tak tampak batang hidungnya. Ibu
sudah memilihkan calon suami yang pantas untukmu.” Ibu meninggalkanku yang
meratap.
***
Aku
mencari Bara. Sebelum terlambat aku harus menyatakan perasaanku padanya. Aku mendapatinya
di tepi pantai yang sungguh indah untuk mereka yang sedang memadu kasih. Tapi
bukan untukku. Aku duduk di sampingnya. Dia tahu kedatanganku, tapi dia tetap menatap
pantai, seolah dia tahu ada masalah yang harus dibicarakan. Kencangnya angin
pantai membuat rambut panjangku berkelibat lembut di wajahnya. Dan kulihat dia
sangat menikmatinya.
“Lepaskan
saja aku, Bara. Aku tidak mencintaimu.” Aku mulai membuka pembicaraan.
“Tapi
aku mencintaimu, Syahdu.”
“Bagaimana
Kamu menikahi wanita yang tidak mencintaimu?”
“Aku
akan membuatmu mencintaiku.”
“Aku
tidak bisa, Bara. Aku menanti lelaki yang ku cintai di seberang sana.”
“Aku
akan tetap menikahimu, Syahdu. Aku mencintaimu.”
“Jangan
lakukan itu Bara. Aku tak mau Kau menyesal.”
“Aku
tidak akan menyesal Syahdu. Menikahlah denganku.”
“Tolong
jangan lakukan itu Bara, aku mohon, aku tidak bisa.”
“Tidak,
aku akan tetap menikahimu! Kau tak tahu seberapa lama aku mengharapmu, walau
kau tak mengenalku, Syahdu.”
Aku
pergi meninggalkannya. Ku berlari sambil meminta keadilan Tuhan. Di mana letak keadilan-Nya
jika cinta harus dipaksa? Ku tersungkur dalam jutaan pasir putih di pantai,
meminta agar Tuhan mengubah rencana-Nya. Aku tidak meminta aku terlahir menjadi
anak emas untuk dijodohkan. Aku juga tidak meminta ragaku, rupaku dan hatiku
menjadi nikmat di mata orang untuk memilikiku.
***
“Yul,
apakah ibumu member tahu ketika kamu hendak dilamar?” Aku mendatangi rumah sahabatku,
yang kebetulan menjadi tetanggaku.
“Iya,
aku dengar kamu akan menikah ya?”
“Tapi
ibuku tidak memberi tahuku.”
“Sepertinya
kau bersedih Syahdu?”
“Iya,
aku tidak mencintai lelaki pilihan ibuku, Yul. Apa kau tahu sakitnya hatiku?”
“Aku
tahu Syahdu, kamu pasti bisa menghadapinya.”
Aku
berniat minggat dari rumah. Tapi aku tidak tega jika ibu harus kehilanganku.
Apakah aku juga harus menerima ini semua? Malam ini aku berdiri di pinggir
pantai, di atas bebatuan yang berbaris di bibir pantai. Berharap pujaan hati
yang kunanti berlabuh untuk melepaskanku dari perjodohan ini. Angin malam juga
tidak membawa kapal berlabuh di dermaga ini. Kemana kau pujaanku, tidakkah kau
mendengar jeritan hatiku di seberang sana. Malam semakin dingin menembus kulit
yang ku balut dengan kain rajut. Air pantai bercampur lebur dengan air mataku
yang menetes. Tangisanku dikalahkan dengan suara deru ombak. Tidak ada yang melepaskanku
dari perjodohan ini. Tidak juga Tuhan. Jika dia tidak datang, tidak ada
keadilan cinta untuk hidupku. Kenapa Tuhan tidak mencabut saja nyawaku. Hingga
aku tidak akan merasakan sakit ini.
Terbesit
aku melihat senyumnya dalam kenangan. Kebahagiaan yang pernah kami lalui. Tatap
matanya yang selalu membuat damai hatiku. Berjalan di kerlap-kerlipnya lampu kota.
Menggenggam tangan sambil tertawa lepas. Seolah cinta akan membuat kami bersatu
untuk selamanya. Merajut janji untuk bersama. Memintaku untuk menjadi
permaisuri hatinya. Membingkai cinta dalam pernikahan yang suci dengannya. Hanya
itu harapan cerita cinta sederhana yang abadi di hatiku. Memiliki keluarga
kecil yang bahagia, ditemani anak-anak mungil dan lucu. Semua itu sudah
kurencanakan jauh sebelum aku mengenal Bara.
“Dik,
pulanglah. Ibu mencarimu.” Kakak iparku mengetahuiku ada di sini.
“Aku
sedang menunggu pujaan hatiku, Kak.”
“Besok
hari pernikahanmu, toh lelaki yang
kau bilang pujaan tak pernah datangkan. Sudahlah, dia sudah lupa dengan
janjimu, jika dia niat denganmu, pasti tidak membiarkanmu seperti ini.”
“Aku
tidak tega jika suatu saat nanti dia datang aku sudah bersama lelaki lain Kak,
itu berarti aku mengkhianatinya”
“Alah... ibu sudah memberikan yang
terbaik untukmu. Apakah kamu masih mengharap lelaki yang tak jelas itu. Tak ada
tanda-tanda kedatangannya, mari kita pulang.” Kakak menarik lenganku dengan
paksa.
Musnah
semua harapanku. Kupandangi ujung pantai itupun tidak ada tanda-tanda kapal akan
melabuh. Suara ombak makin menambah perih hatiku. Bulan purnama menambah indah
pemandangan pantai ini. Seakan memang tidak sebutir pasirpun yang mendukung hatiku.
Malam terperih dalam hidupku.
***
Ku
buka mataku. Gincu merah telah menggores bibirku. Baju pengantin kebaya juga telah
menyelimuti ragaku. Aku sudah siap untuk dinikahkan, tapi tidak untuk hatiku.
Ini adalah beban terberat dari orang tuaku seumur hidup. Menikah dengan lelaki
yang tidak kucintai. Kemana lelaki yang kucintai itu, kenapa sampai sekarang dia
tidak datang menjemputku. Bukankah pernikahan itu membahagiakan? Bukankah pernikahan
itu dilakukan oleh pasangan yang saling mencinta? Tapi kenapa tidak untuk
pernikahanku? Aku akan menyesal seumur hidupku.
Tirai
pintu kamarku terbuka. Kulihat Bara sudah siap. Dengan air mata yang terus menggenang.
Aku duduk di sampingnya. Sekujur tubuhku mengigil dan bergetar, kurasakan keringat
dingin membasahi kulitku. Tiba-tiba semua menjadi gelap.
***
Anak
emas mati menganak air mata.