Cerpen Kompas, 24 Juni 2012 – oleh Sandi Firly
Sebelum
peristiwa malam itu - yang akan kuceritakan nanti, Idang dikenal sebagai
perempuan kurang waras. Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan
tentang mimpi-mimpinya yang aneh. Kepada orang-orang ia sering mengatakan, ”Ada
ular-ular besar menyusup dalam mimpiku. Ular itu bukan mimpi, tapi ular yang
menyusup dalam mimpiku. Dalam mimpi juga aku sering bertemu Ayah.”
Idang
memang tak seperti kebanyakan perempuan lainnya yang hidup di pegunungan
Meratus. Ia suka memanjat pohon, hal yang hanya pantas dan perlu kekuatan
seperti dimiliki anak laki-laki. Ia juga kerap melakukan perjalanan sendiri ke
hutan-hutan terdalam, hutan-hutan terlarang.
”Aku
banyak menemukan makhluk-makhluk aneh di sana. Mereka bersahabat,” ceritanya
kepada teman-teman sebaya, yang karena cerita semacam itu pula menyebabkan ia
perlahan-lahan dijauhi teman-temannya. Namun ia mengaku tak pernah merasa
kesepian. ”Teman-temanku di dunia lain jauh lebih banyak,” seseorang bercerita
kepadaku menirukan ucapannya.
Tabiat
ini kemudian dikait-kaitkan orang dengan almarhum ayahnya yang seorang balian,
seorang dukun kesohor. Ayahnya dikenal sebagai panggalung, dukun sakti yang karena karismanya sanggup memanggil,
mengikat, dan mendatangkan orang-orang dari kampung-kampung jauh. Ayahnya
meninggal kala ia usia 12 tahun. Ibunya lebih dulu tiada, tak tertolong saat
melahirkannya. Entah dari mana mulanya, kenyataan itu membuat Idang dianggap
sebagai pembawa kemalangan dalam hidup.
Dengan
hidup hanya ditemani nenek dari ibunya, Idang tumbuh menjadi perempuan pendiam,
penyendiri. Dan bila pun ia bicara dan bercerita kepada anak-anak sebayanya,
maka itu adalah cerita tentang mimpi-mimpi, tak jauh dari cerita tentang ular
dan ayahnya.
***
Balai
Atiran terang benderang. Orang-orang mulai berdatangan memasuki rumah besar
panggung itu. Enam keluarga yang berdiam di dalam balai, sudah sejak gelap
pertama duduk di depan pintu bilik masing-masing yang tampak gelap seperti goa,
hingga pintu yang terbuka itu layaknya kain hitam yang menempel di dinding
balai. Mereka menjamu, menjadi tuan rumah aruh yang dihelat di tengah-tengah
ruang balai yang malam itu berbilas cahaya dari lima lampu petromaks.
Barisan-barisan
tamu dari bukit-bukit jauh silih bergantian datang. Arak-arakan kecil itu
sebagian datang dengan berpenerang obor, sinter, atau hanya mengandalkan terang
langit di atas jalan yang membelah hutan pegunungan Meratus. Malam tak
berbulan.
Kaki-kaki
tak beralas menapaki jalan-jalan basah dibasuh sebelum menaiki tangga balai
sepuluh undakan. Tua muda, laki perempuan, dan anak-anak. Di antara mereka ada
yang membawa hasil kebun: kemiri, keminting, atau sayuran yang diberikan kepada
ibu-ibu dan dara-dara yang bekerja di dapur mempersiapkan jamuan. Ada dua ekor
babi yang telah dikorbankan untuk upacara, dan setengah karung beras dimasak di
dalam sebuah kuali besar.
Para
undangan sudah mulai memenuhi ruangan balai. Duduk berlapis-lapis membentuk
segi empat sepanjangan ruang balai yang polos, hingga mempertegas tiang-tiang
kurus ulin balai yang menjangkau langit-langit tinggi. Hanya ruang segi empat
kecil di tengah-tengah balai yang dibiarkan terbuka, dengan segenap
syarat-syarat upacara: menyan dan sebilah keris tua telanjang jangkung kehitaman.
Seorang lelaki tua namun terlihat penuh wibawa duduk bersila. Kepalanya dibebat
kain. Sementara mulutnya tak henti mengembuskan asap tembakau yang dilinting
kulit jagung kering. Dialah damang, yang konon usianya sudah lebih satu abad.
Wajahnya yang penuh kerutan waktu mengingatkan pada rekahan-rekahan batang
pohon tua dalam hutan terdalam. Damang Itat, begitulah orang-orang Meratus
memanggilnya, yang malam itu akan menjadi pemimpin upacara aruh.
Segala
berpusat pada lingkaran tari di tengah. Berputar-putar. Bergelombang. Menyedot
seperti kitaran angin limbubu. Diam yang mengalir dalam mantra-mantra dan
tarian purba. Pada apa kata menjadi sakti. Tiga lelaki terus bergerak. Kadang
seperti melayang, membayang, tak berpijak tanah, tak berpijak bumi, mengambung
dalam kisaran waktu yang terus beringsut susut.
Tiga
tubuh terus berputar-putar dalam tarian. Madah-madah dinyanyikan merasuk dalam
rampak tabuh gendang dan denting gelang. Seperti suara alam yang tak pernah
terduga. Mengentak. Melenting tajam menembus langit-langit balai. Menggetarkan
udara yang berkibar-kibar dalam satu ruang. Tubuh-tubuh liat lepas, tak
mengenal jeda, tak mengenal kantuk, tak mengenal tanah pijak. Mereka para
balian yang menjalankan ritual pengobatan untuk seonggok tubuh yang terkulai
layu di tengah-tengah balai, tempat segala sesembahan diluahkan.
Balai
itulah cahaya benderang satu-satunya di belahan hitam hutan Kalimantan Selatan
yang sebenarnya tak lagi perawan. Sebuah kampung kecil, yang malam itu
menghelat upacara ritual untuk si sakit.
Tubuh
kecil kurus anak usia empat tahun itu seperti kehilangan daging dan air. Hanya
tulang-tulang berbalut kulit kering layaknya kulit kayu tua mengerut keras,
yang cepat meretas seperti ilalang terbakar di musim kemarau yang mengerontangkan
ceruk kehidupan. Warna kulitnya kuning serupa kunyit. Hanya matanya masih
menyimpan kilat hidup, meski juga sudah meredup dalam napas yang beringsut
ingin melepaskan rongga dadanya yang tipis, membayangkan keretak kayu lapuk.
Jari-jari sapu lidinya menjentik pelan pada lantai beralas lampit, mengikuti
irama tari tiga balian.
Diisap
buyu, penyakit menakutkan yang mengakrabi tubuh kecil tergolek di tengah-tengah
balai. Tubuh yang diisap buyu adalah seperti merentangkan hidup di antara
kematian. Darah, daging, dan air yang menjadi sumber tubuh menjadi tercemar dan
kering, serupa hutan kehilangan keperawanannya menjadi ranggas dimakan
hantu-hantu besi bernama buldoser dan gergaji dengan sang kendali pemakan
segala; manusia.
Sudah
satu bulan tubuh kecil itu tak berdaya dalam pagutan buyu. Sudah tiga hari tiga
malam tiga balian seolah terbang menari-nari mengusir sang buyu yang betah
menghuni tubuhnya. Sebuah pengobatan yang dipercaya turun-temurun dapat
mengusir roh jahat dalam tubuh si sakit. Namun, sudah tiga hari tiga malam
ritual pengobatan dijalankan, roh jahat di tubuh si anak tak jua pergi. Segala
permohonan dan doa telah dihaturkan para balian kepada sang ilah. Segala
syarat: gula, beras, ayam, bubur, kopi, menyan, telah dipersembahkan. Si sakit
tetap terkulai. Dingin tubuhnya, terkatup matanya. Tinggal jari sapu lidinya
menjentik-jentik lantai.
Tiga
balian masih menari beriringan, berputar-putar dalam rampak gendang dan denting
gelang yang tiada sepi.
Seorang
ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk lemas di sudut belakang balai.
Kantung matanya menebal, rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak
tersisir tangan dan dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini
nyawanya tengah di awang-awang dalam pertolongan para balian yang terus menari
dan merapalkan mantra-mantra. Kepala perempuan itu terkulai miring ke kiri
bersandar pada bahu seorang ibu yang menjaganya. Sang ayah, yang duduk di
antara para pria di dekat lingkaran upacara, sesekali menengok kepadanya. Hanya
karena ia seorang ayahlah yang membuat lelaki itu tetap tegar mendampingi anak
semata wayang mereka didera penyakit tak berampunan. Walau jauh di lubuk hati,
ia sebenarnya telah mulai memupuk kerelaan bila sewaktu-waktu sang anak diambil
sang ilah.
Seperti
menyibak kegelapan malam, meredam guruh gemuruh suara gelang dan mantra tiga
balian, seorang perempuan muda tiba-tiba menghambur ke tengah upacara,
menari-menari. Mulutnya merapal mantra-mantra yang tak pernah terbaca oleh
balian mana pun juga, dengan diiringi denting gelang di kedua tangannya. Tiga
balian lelaki terhenti. Orang-orang tersihir, terpaku menatap dalam keheningan.
Hanya perempuan itu, ya, hanya perempuan itu yang menjadi pusat segala gerak,
segala hidup. Ia terus berputar-putar, menari, merapalkan mantra dan
mendentangkan gelang-gelang berat di kedua tangannya yang kurus panjang.
Aduhai,
Naik Kuda Sawang, sayang
Dibelai angin *)
Tak
ada seorang pun yang tergerak menghentikan perempuan itu. Hingga akhirnya
perempuan muda berambut panjang itu tersungkur ke lantai balai. Seluruh
tubuhnya kuyup oleh peluh. Bersamaan itu pula, anak lelaki yang menjadi pusat
pengobatan di tengah balai pelan-pelan bergerak seolah ingin bangkit.
Orang-orang menyaksikan, kulit sang anak yang semula kering layaknya kulit kayu
tua berubah seolah di bawahnya telah mengalir air kehidupan. Butir-butir peluh
membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Kuning kunyit kulitnya pun memudar.
Perlahan matanya terbuka, bercahaya. Bibirnya, yang meski masih tampak kering,
perlahan berucap, ”Ayah....” Panggilannya pelan namun jelas.
Seketika
saja, orang-orang menghambur ke depan, mendekati tubuh kecil itu. Sang ayah dan
ibu langsung memeluk dan menciuminya. ”Anakku... anakku... anakku..,” ucap
keduanya sembari menangis dalam kegembiraan mendapati sang anak telah terlepas
dari maut.
Seolah
tersadar, orang-orang kemudian mengalihkan perhatian kepada sosok perempuan
muda yang masih tersungkur tak sadarkan diri di lantai. Sekejap saja
mulut-mulut bergeremeng seperti sekumpulan laron terperangkap dalam botol.
”Siapakah
dia?”
”Dari
mana asalnya?”
Tubuh
itu tetap sepi, tertelungkup dengan rambut panjang tergerai masai. Satu dua
orang kemudian tergerak menghampiri, lantas diikuti yang lain, lalu mengangkat
tubuh perempuan itu ke salah satu bilik balai dan merebahkannya ke atas kasur
tipis.
***
Orang
sekampung tidak pernah melupakan malam itu. Seorang perempuan terbilang muda
tiba-tiba menjadi balian, menjadi dukun. Tidak pernah sebelumnya, sejak nenek
moyang, seorang perempuan menjadi balian. Paling tinggi ia hanya menjadi
pinjulang, pembantu dukun laki-laki.
Tapi
malam itu, Idang, seorang perempuan muda yang dianggap gila, menyeruak ke
tengah-tengah upacara. Menari-nari, menyanyi, merapalkan mantra-mantra yang
sebelumnya tidak pernah dibaca para balian.
”Ini
menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan, apalagi perempuan itu
dianggap gila, bisa menjadi seorang balian. Ini alamat mendatangkan bencana,”
ucap seorang lelaki tua di warung kepada dua lelaki yang lebih muda. Aku, yang
meski berseberangan meja dengan mereka, masih dapat mendengarkan ucapan itu.
”Tapi
ia telah berhasil menyembuhkan anak itu,” sahut salah satu lelaki muda sembari
mengisap rokok.
”Betul,
Pak. Saya ikut menyaksikan malam itu,” timpal yang seorang lagi setelah meneguk
kopi hitamnya.
Dengan
wajah agak memerah, orang tua itu berucap, ”Kalian anak muda ini, tahu apa
kalian tentang balian. Kalian lihat saja nanti, hutan dan kampung kita ini
nantinya akan ditimpa bencana. Dan itu karena perempuan gila yang hendak
menjadi balian.” Setelah membayar kopinya, lelaki tua itu pun pergi
meninggalkan warung sambil menggerutu, ”Celaka... celaka... celaka.”
Setelah
lelaki tua itu agak jauh, seorang dari lelaki di warung berucap, ”Mungkin ia
kecewa dan malu karena tak mampu menyembuhkan anak itu, meski diupacarai selama
tiga malam.”
Aku
melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap pergi meninggalkan warung.
Aku harus segera memulai perjalanan sebelum matahari meninggi. Tugasku selama
dua minggu melakukan penelitian, termasuk menyaksikan upacara balian, sudah
berakhir.
Selama
perjalanan meninggalkan kampung di pinggiran hutan pegunungan Meratus itu,
benakku terus dihantui cerita tentang Idang perempuan balian, dan lelaki tua di
warung yang mengabarkan akan datang bencana di kampung dan hutan mereka.
Entah,
makna apa yang harus aku pahami. Namun aku tahu, sebentar lagi hutan tak jauh
dari kampung itu akan dibongkar oleh sebuah perusahaan besar untuk mengeruk
emas hitam dari perutnya.
*)
Kutipan ”Syair Induang Hiling” dalam buku ”Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan”
karya Anna Lowenhaupt Tsing, yang sekaligus mengilhami cerpen ini.