Cerpen Jawa Pos, 10 Juni 2012 – oleh Aris Kurniawan
SEJAK
kamu pergi, aku menunaikan janji itu: menyayat urat nadi pergelangan tanganku
menggunakan pisau yang biasa kamu pakai mengupas apel untuk kita makan bersama.
Kurasakan dingin gagang pisau itu pada genggaman tanganku sedingin matanya yang
berkilat mengincar urat nadiku.
Cahaya
senja yang oranye membias dari balik gorden. Masih sempat kutatap kesibukan di bawah.
Mungkin kamu salah seorang yang berada di sana. Tapi, sebaik apa pun aku mengenal
tubuhmu, tak mungkin dapat menengaraimu di tengah keramaian itu, dari jarak
yang begitu jauh. Memang bukan jarak itu benar yang memisahkan. Sebab, sejauh
apa pun jarak jika hatimu masih utuh untukku, semua bukan halangan untuk kurengkuh.
Warna biru gorden terlihat makin pekat.
Maka,
bagiku inilah jalan paling ampuh untukrnembebaskanku dari rasa hampa
kehilanganmu. Orang-orang akan mengetahui kematianku berhari-hari kemudian, setelah
mencium bau busuk yang menguar dari jasadku. Mungkin kabar kematianku tidak akan
sampai padamu. Tapi seandainya sampai, aku tahu kamu tak akan berbuat apa-apa
selain tertegun sebentar untuk kemudian menangis sejenak sebagai bentuk permintaan
maaf pada dirimu sendiri. Atau bisa jadi kamu tidak peduli sama sekali. Sama
seperti mereka yang sibuk mengurusi pekerjaan masing-masing.
Kamu
tak akan mencari jasadku, apalagi meraung untuk meminta maafku. Kalaupun kamu
melakukannya semua sudah terlambat, dan tak memberi secuil pun manfaat, baik
untuk memupus rasa sesalmu maupun jalan lapang bagi perpindahan rohku. Kematianku
memang bukan untuk tujuan itu. Melainkan semata sebagai pembuktian kesungguhan
cintaku. Aku tahu, apa pun alasanku, seperti orang-orang, kamu pun pasti akan
menganggap jalan yang kutempuh adalah sebuah kecengengan dan ketololan yang tidak
dapat dimaafkan. Tapi, siapa yang butuh permaafan untuk kasus ini?
Jika
kelak kamu atau siapa pun, menuliskan cerita tentang kematianku, mungkin akan
dianggap sebagai cerita tak bermutu. Lantaran kalian tak menemukan motif kuat
dan masuk nalar yang melatari peristiwa tersebut kecuali patah hati. Oh patah
hati, ini alasan yang dianggap terlalu sentimentil untuk mendorong orang
melenyapkan diri. Begitulah. Fakta boleh tak masuk akal, tetapi cerita fiksi
harus berdiri pada logika yang kuat.
***
Mungkin
sempat terlintas di benakmu pertanyaan bagaimana aku menahan kesakitan saat
mata pisau itu merobek kulit dan memutus urat nadiku. Saat darah memancar deras
seperti bendungan jebol. Rasanya memang sangat pedih. Tapi tetap tak seperih
dikhianati orang yang paling dicintai. Sudahlah, aku jauh lebih bahagia
sekarang. Di mana pun kamu berada saat ini bukan lagi persoalan bagiku.
Percayalah, tidak ada cara mengenangmu sebaik sekarang. Kalau boleh berharap,
tentulah aku hanya berharap ada orang yang mengajarimu menulis puisi secara lebih
baik dan sabar, membacakan dengan suara lebih lembut novel Norwegian Wood Haruki Murakami yang murung itu.
Perlahan-lahan
kesadaranku menguap seiring dengan darah yang terus mengalir menggenangi
tubuhku yang menggelepar dan perlahan-lahan mengerut di bak mandi. Kata
orang-orang, detik-detik kematian itu amat menyakitkan. Tapi bagaimana aku
merasakan kesakitan jika kesadaranku meredup bersamaan dengan cahaya meremang,
hitam. Tak ada lagi bayang wajahmu yang menghantuiku. Segalanya memudar dalam
kekosongan yang tak memberi rangsangan apa pun. Aku percaya kegelapan hanya
sebentar menghalangi mataku. Sesudahnya aku akan memasuki ruangan terang
benderang. Pada saat itu aku bahkan bisa melayang-Iayang. Lantas mengejarmu,
kalau mau tentu, menemukanmu sibuk meracik jus jambu di dapur warna abu-abu.
Sebelum
aku benar-benar menjadi bagian dari ketiadaan, baiklah akan kuungkapkan betapa
aku telah lama mengendus pengkhianatan itu. Cahaya senja bulan Februari yang
redup itu berpendar menyiram ikal rambutmu saat kamu beranjak pergi dari kamar
apartemen kita untuk menemui lelaki itu. Tanpa kamu sadari aku membuntutimu. Ini
bukan pekerjaan gampang mengingat kamu seperti dianugerahi insting untuk selalu
mencurigai gelagat apa pun dl sekelilingmu. Tapi aku sudah sekian lama
mengenalmu, tahu bagaimana cara mengelabuimu. Dari balik kaca mata hitam aku mengawasimu
memasuki kedai kopi itu. Duduk di sana, mengambil majalah dari balik jaket
kulit buaya yang kubelikan dari Singapura. Kamu membaca majalah sambil menunggu
segelas espresso dingin dating diantar pelayan. Ketika pesanan datang kamu
membiarkannya sekian menit, mungkin ada artikel yang lebih menarik perhatianmu.
Sesekali kamu menatap ke arah pintu. Seperti adegan yang kerap muncul dalam
novel-novel pop, kamu tengah menanti seseorang muncul dari sana. Kamu menjumput
telepon genggammu di kantung jaket, bercakap-cakap sebentar, mendengus kesal.
Memanggil pelayan.
Kamu
mematikan rokok putih yang baru beberapa detik kamu bakar ujungnya, menutup
majalah, lantas mengangkat gelas espresso mendekat ke mulutmu. Lidahmu
menghapus buih espresso di bibir secermat kakimu mengayunkan langkah
meninggalkan kedai. Menyusuri lorong yang dipenuhi warung kaki lima yang
menggelar aneka dagangan yang tak pernah menarik minatmu untuk sekadar melihat-lihat
atau menanyakan harganya. Kamu anak kampung yang mendadak keranjingan barang-barang
bermerek dan menganggap sampah barang-barang kaki lima. Perilaku yang sejatinya
amat kubenci tapi bibir mungilmu membuatku tak pernah mampu mengungkapkannya.
Di
mulut gang kamu berhenti, menyetop taksi yang lewat. Kendaraan itu bergerak
seperti terengah dikepung kemacetan. Aku mengawasimu dari balik punggung tukang
ojek yang kusewa mengikuti perjalananmu. Dia menurunkanku di sebuah tikungan
jalan. Beberapa blok dari sana taksi berhenti. Kamu keluar dari sana dan
bergegas masuk ke sebuah gedung yang kukira apartemen, menemui lelaki itu.
Kamu
hanya membisu menghadapi letupan kemarahanku. Memohon maaf sambil tersedu,
kejujuranmu mengakui pengkhianatan itu patut kuhargai, tapi aku tak mampu
menahan hatiku yang pecah seperti agar-agar yang jatuh ke tanah. Kamu tahu, aku
tak kuasa menyakitimu lantaran cinta yang begitu besar padamu.
“Maafkan
aku, Jim.” Sekali lagi, tak ada yang dapat kulakukan selain menerima permintaan
maafmu. Aku bahagia saat kau berjanji meninggalkan lelaki itu. Menghiburku
bahwa semua kekhilafan belaka. Tapi seperti telah kuduga, itu tak berlangsung
lama. Gelagat pengkhianatanmu mulai kuendus lagi. Aku kerap menangis diam-diam
pada malam-malam yang berongga. Kamu selalu berkilah tentang tugas yang
menumpuk di tempat kerja setiap pulang terlambat.
Sampai
suatu malam kamu melontarkan kalimat menakutkan itu. “Jim, sebaiknya kita
berpisah. Kita sudahi sampai di sini kisah ini. Nada suaramu terdengar patah-patah
namun artikulasinya jelas. Seketika ketakutan menghadapi hari-hari tanpa dirimu
makin nyata menghantuiku. Aku ingin meraung. Tapi kamu hanya melihatku tertunduk
lesu, melihat air mataku berlinang tanpa suara.
***
Sebenarnya
sejak awal pertemuan kita di stasiun kereta itu, aku tahu kata-kata menakutkan itu
akan telontar dari bibir mungilmu. Tapi aku telanjur terbius cara mata sayumu menatapku,
gerak-gerik, serta desah suara manjamu. Tak akan pupus dari ingatanku, ketika
kamu mengatakan, “Anda baik sekali. Malaikat memang dikirimkan Tuhan secara
tidak terduga-duga,” saat kali pertama kamu masuk ke apartemenku. Usiamu baru
19 waktu itu.
“Aku
boleh tinggal di sini. Jim? pertanyaanmu itu bahkan kucatat baik-baik di buku
harianku. Juga tentang penggal masa kanak dan remajamu yang Ienyap disesap
getirnya perceraian kedua orang tuamu lantaran kemiskinan.
Lima
tahun kamu tinggal di sana menerbangkan kesendirian dan ketakutanku. Kamu tak
ubahnya doa-doa yang dikabulkan Tuhan. Kamu pasti tahu dari pancaran sorot
mataku. Saban petang kamu dengan setia menungguku pulang, menyediakan kopi yang
kerap tak kuhabiskan lantaran aku memang tidak begitu menyukai kopi dan lebih
suka minuman ringan bersoda.
“Kamu
tahu, Jim. Minuman bersoda membuat tulangmu rapuh,” katamu bak ahli gizi.
Aku
geli mendengarnya. “KaIau makan mie bagusnya dicampur sayuran, Jim.” Ah... kenyinyiran
yang amat kusukai.
“Banyak
sekali buku di sini. Buat apa buku sebanyak ini?” Katamu saat melakukan tugasmu
membereskan buku atau majalah yang berserakan usai kubaca.
“Mereka teman baik untuk menghalau kesepianku
dulu. Bacalah novel itu. Sangat menarik pasti kau suka.”
Sayang,
kamu tak pernah gandrung pada novel-novel itu, apalagi menulis puisi. Kamu
hanya mau aku membacakannya dengan lembut, perlahan-lahan sampai kamu tertidur.
“‘Aku
bosan di rumah terus, Jim. Aku ingin bekerja seperti kamu dan orang-orang. Kita
bisa sewa pembantu untuk menyiapkan nasi goring dan kopi di pagi dan petang
hari.” Kamu merajuk seperti yang sudah-sudah, aku tak pernah kuasa menolak
keinginanmu.
***
“Sudahlah,
Jim. Tak perlu bersedih. Kamu pasti segera mendapat yang lebih baik dariku.”
Aku
tak tahu pasti apakah itu caramu menghiburku atau sebaliknya. Yang jelas aku
merasa begitu pilu saat kau lontarkan kalimat itu dengan begitu enteng seperti
saat kamu memesan nasi goreng. Ini memang agak sulit dimengerti, karena kamu
juga berjakun. ***
Gondangdia, April 2012.
Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24
Agustus 1976. Menulis cerpen, reportase, esai untuk sejumlah Penerbitan.
Bukunya yang telah terbit Lagu Cinta untuk
Tuhan (Logung Pustaka, 2005) Lari dari
Persembunyian (kumpulan puisi, Komunitas Kampung Djiwa, 2007).