Cerpen Inilah Koran, 3 Juni 2012 – oleh Ismail Kusmayadi
SETIAP
menjelang senja, Darmaji duduk berselonjor di atas bale-bale depan rumah
kayunya. Darmaji menatap matahari yang perlahan ditelan garis bumi dan mulutnya
mulai meracau.
Darmaji
menyemburkan kata-kata yang terlihat bagaikan pancaran warna gemerlapan di
tengah kegelapan. Darmaji terus meracau menyemangati malam yang suntuk dan
dingin. Angin menyelinap di balik papan rumah yang mulai renta dimakan usia.
Rumah yang dulu begitu ceria oleh kebahagiaan sebuah keluarga, sekarang tinggal
cerita. Hampa dan kosong. Sehampa dan sekosong hati Darmaji.
Itulah
kisah hidup Darmaji setelah sembilan puluh tahun menggelandang di muka bumi
ini. Lembar-lembar cahaya yang menyelimuti tubuhnya mulai rontok sejak dia
berpaling dari Tuhan. Dia mulai menegak minuman keras pada usia 40 tahun. Usia
yang seharusnya semakin ingat bahwa dirinya semakin senja.
Begini
kira-kira ceritanya: Darmaji di kampungnya dulu pernah bergelar haji. Dia
satu-satunya warga kampung yang beruntung dapat menunaikan ibadah haji. Sebagai
pejabat pemerintah yang rajin ibadah, sangatlah layak dia diberi penghargaan
untuk dapat menunaikan ibadah haji.
Bersama
istri tercintanya, di usia 32 tahun, dia menunaikan ibadah haji. Saat itu dua
anaknya sudah mulai tumbuh dewasa. Mereka tumbuh dalam bimbingan yang harmonis.
Namun, keadaan yang tenang dan harmonis itu tidak dapat berlangsung lama. Satu
persatu, istri dan dua orang anaknya itu, memilih meninggalkan Darmaji. Terutama
setelah Darmaji mulai meninggalkan mereka.
Sifat
Darmaji berubah seratus delapan puluh derajat. Dia menjadi pemarah dan serakah.
Istri dan kedua anaknya sudah tak dia pedulikan
lagi.
Darmaji asyik sendiri dengan kehidupannya, dan sekarang tak layak lagi menyandang
gelar haji. Tak pantas lagi baginya. Kedatangannya ke tanah suci jadi sia-sia belaka.
Orang-orang pun mulai curiga, jangan-jangan berangkat ke tanah suci itu tidak
dengan niat ikhlas. Atau jangan-jangan menggunakan uang haram.
Awal
dari kehancuran Darmaji itu dimulai sejak pertemuannya dengan seorang janda.
Tiba-tiba saja Darmaji tergoda seorang janda yang cukuplah molek dan agak centil
kelakuannya itu. Ratu, nama janda itu. Sangatlah cocok perempuan itu bernama
Ratu, karena dia memang seorang ratu penakluk yang mampu meluluhkan hati para lelaki,
termasuk Darmaji.
Entah
berapa susuk yang dia pasang di antara dua sisi mukanya, belahan dagunya, dan
ujung hidungnya. Sebab, setiap lelaki yang meliriknya pastilah jatuh hati.
Karena susuk pulalah mungkin janda itu ditumpangi ribuan setan, genderewo,
dedemit, kalong wewe, dan sejenisnya sehingga mampu merontokkan keteguhan dan
keimanan yang telah dibangun Darmaji selama puluhan tahun.
Darmaji
segera saja menjadi lupa ayat-ayat suci yang selama ini dilantunkan di surau
miliknya. Dia menjadi lupa tata cara salat dan kikuk ketika harus menjadi imam.
Dia cepat lapar kalau sekali saja berniat puasa. Tubuhnya telah lacur dan
terbelah-belah. Tangannya menggenggam harta dan kesenangan birahi yang merasuk tiada
henti. Kakinya kaku kalau ke masjid dan bergerak cepat kalau ke diskotik. Dan
mulailah dia menegak minuman keras tepat pada usianya yang menginjak 40 tahun.
Mulailah
orang-orang bersikap nyinyir. Tidak ada lagi gelar haji pada sebutan namanya.
Para tetangganya cukup puas dengan menyebutnya si Darmaji. Orang-orang mulai
mencibir, memenjarakan Darmaji dari kehidupan sosial. Tapi apa yang dirasakan
Darmaji tidak seperti itu. Dia merasa senang kalau orang-orang membencinya. Dia
bahagia jika semua orang tak mau lagi mendekatinya. Ini berarti Darmaji tidak
akan pernah terganggu lagi oleh ocehan orang-orang tentang dirinya. Cukup hidup
berdua saja dengan Ratu yang telah memberi kesenangan lahir dan batin. Darmaji
akan menghabiskan semua sisa hidupnya untuk kesenangan ini.
“Bagaimana
pun juga, hidup jangan disia-siakan. Hidup hanya sekali ini saja,” katanya
sambil menegak minuman di rumah janda molek itu.
“Ha…
ha… selama kau di sini akan kulayani terus sampai titik darah penghabisan,”
tawa Darmaji bercampur dengan kepulan asap rokok yang meliuk-meliuk ditimpa
cahaya remang-remang.
Mulai
dari sini kepala Darmaji seakan terbelah. Otak kirinya merangkak
di
antara tong-tong sampah, mengais-ngais sisa harta yang mungkin masih ada. Jika tidak
ditemukan, dia akan merangkak menuju pelataran
kantor
pemerintahan, menaiki tangga jabatan dan menangkup uang yang berserakan di atas
kasur dengan sprei merah darah. Kesenangan tubuh Darmaji bagian ini melebihi
apa pun di dunia ini.
Suatu
kali, otak kiri Darmaji yang sedang serakah mengumpulkan uang kepergok petugas
keamanan. Dia dituding telah menggelapkan uang negara. Pentungan petugas
keamanan itu hampir saja menusuk dan memburaikan jalinan saraf di otaknya. Namun,
dengan tenang Darmaji berkata, “Hai sobat. Apakah di rumahmu baik-baik saja?
Apakah si Pulan anakmu itu sudah bayar uang SPP sekolahnya? Bagaimana dengan
keinginan istri dan anakmu selama ini, sudah tercukupi?”
Si
petugas keamanan terdiam bagai batu. Hening sejenak. Udara menjadi basah karena
cucuran keringat petugas petugas keamanan itu. Tubuhnya pun mulai retak. Terus,
terus, … dan terus retakan itu semakin panjang menjalar dan akhirnya terbelah.
Tangan kirinya terus
memaksa
mengambil uang yang disodorkan Darmaji, sedangkan tangan kanannya meronta-ronta
mencari pegangan untuk menahan bobotnya yang makin berat.
Akhirnya,
petugas keamanan itu pun berjalan tertatih-tatih dengan sebelah kaki, sebelah
tangan, dan sebelah kepala menuju rumah, sedangkan bagian lain mengekalkan diri
sebagai pengikut Darmaji yang setia, yang siap saling melindungi. Sampai detik
ini, amanlah persoalan yang dihadapi otak Darmaji.
Pada
bagian lain, di antara hiruk pikuk orang yang sedang mencari keadilan, otak
kanan Darmaji menyelinap. Dia menggeliat menebarkan racun yang membuat mereka lebih
garang dan kalap. Mereka tiba-tiba menjadi brutal dan anarkis. Mereka menerjang
barisan pagar betis dan memporak-porandakan gedung rakyat. Terjangan peluru dari
segala penjuru tak mematahkan kekalapan yang dibiuskan otak Darmaji. Melihat
semua itu, otak Darmaji beringsut pergi menuju tempat yang lebih tinggi untuk
menyaksikan pemandangan ngeri yang mengharukan dirinya itu.
Dari
atas sebuah tugu pahlawan, Darmaji terkekeh-kekeh melihat mayat yang
bergelimpangan. Penyesalan mereka yang brutal tiada berguna. Akhirnya tubuh
para pencari keadilan itu menjadi retak dan terbelah. Bagian yang satu sujud meminta
ampun kepada Tuhan, sedang bagian lainnya terjerumus amarah yang tak
terkendali. Mereka pun menjadi manusia yang cacat dan jauh dari sempurna.
Mereka menggantungkan hidup pada bagian tubuh yang makin hari makin terbelah-belah.
“Bang,
kapan kita nikah,” bau alkohol menyeruak dari bibir Ratu.
“Tenang
saja. Lagi pula kita tak perlu menikah kan? Kamu senang kan dengan keadaan
begini, nikmati saja lah haha …. Lucu juga kedengarannya kalau kamu minta dinikahi,”
kata Darmaji sambil meraih
gelas
berisi minuman.
“Ya,
saya kan butuh status yang jelas juga, Bang.” rengek Ratu.
“Status?
Haha … Bukankah status kamu sudah jelas? Hubungan Abang dengan kamu sangat jelas,
kan? Sangat kamu sadari, kan? Abang sudah bertaruh banyak demi Ratu, termasuk
meninggalkan keluarga Abang sendiri. Sudah nggak usah ngomong status-statusan
segala.”
Malam
makin larut. Darmaji pun makin larut dalam dekapan Ratu.
***
Sebagai
manusia yang hidup menggelandang di muka bumi ini, Darmaji harus menerima
sebuah kenyataan pahit. Dia lupa bahwa dunia ini berputar. Tubuhnya yang sudah
terbelah-belah tak lagi dapat dipersatukan. Kesenangan yang selama ini
dinikmati oleh setiap aliran darahnya menjadi sebuah kegetiran. Sang janda
sudah lama meninggalkannya setelah Darmaji melarat dan keriput. Rambutnya memutih
lebih cepat dan tubuhnya tak lagi sekuat dulu.
Seperti
halnya sebatang pohon, mula-mula hijau menyegarkan, tapi lambat laun mulai
kecokelatan dan meranggas kering. Darmaji pun merindukan kembali keluarganya yang
sekarang entah di mana. Dia merindukan kembali kampong halamannya yang sekarang
sudah tak lagi mau merimanya. Jadilah dia sebatang kara dalam masa tua.
Mulutnya
kembali meracau diiringi tatapan yang kosong. Senja yang ditunggunya tak juga
mau akan menjemputnya. Darmaji akan meracau semakin hebat lagi ketika malam
tiba. Dia memanggil-manggil senja yang tak kunjung membawanya pergi.
Apalah
artinya hidup sampai setua ini kalau akhirnya Darmaji harus sendiri. Kakinya
yang sudah kaku tak lagi bisa membawanya pergi ke surau. Tangannya yang lumpuh
tak bisa lagi menghitung biji tasbih saat dzikir. Hatinya yang segelap darah
beku tak mampu lagi menerima cahaya ayat-ayat suci yang kadang terdengar dari
racauannya yang semakin kacau. Matanya buram dan lidahnya kelu. Darmaji tak
ubahnya seonggok daging di tengah padang rumput yang terik. Sewaktu-waktu dapat
menarik perhatian burung-burung bangkai yang siap melahapnya.
Sudah
hampir dua purnama, senja itu belum juga mau menjemputnya. Itulah yang
membuatnya semakin menderita, sebab apa yang diinginkannya sekarang ini
hanyalah mati! (*)
Kota
Kelahiran,
2005/2012