Cerpen Republika, 3 Juni 2012 – oleh Irna Syahrial
Popor
senapanku terangkat. Mataku beradu dengan mata wajah polos di hadapanku. Rasa
benci tiba-tiba menjalari hatiku membalas tatapan kebencian bocah delapan
tahunan, yang mengacungkan batu sekepalan tangan ditujukan kepadaku.
“Dia
musuh masa depanmu, merampas tanah yang seharusnya hanya milikmu.” Suara Rabbi
Shahak seolah-olah berdesis di telingaku. “Antisemit dan primitif,” lanjutnya
berulang-ulang, hampir setiap hari sambil memperagakan gerakan mencium Tembok
Ratapan. Mungkin saat itu aku baru lima tahunan.
Suara-suara
mengejekku dari belakang seolah-olah aku tidak berani menghadapi bocah
Palestina ingusan ini, semakin memicu amarahku. Kukumpulkan rasa marah itu di
ujung pelatuk pistolku. Senapanku menyalak sebelum batu di tangannya bersarang
di mata kiriku. Aku masih sempat melihat peluruku begitu jitu menembus dada
kirinya. Darah segar muncrat membasahi seragam sekolahnya.
Anak
itu meneriakkan sepenggal kalimat bahasa Arab yang sering dikumandangkan di
masjid-masjid. Tak ada rasa takut sedikit pun dari suaranya. Seakan dia bangga
menjemput maut setelah mengadang tank kami di jalanan hanya dengan batu di
tangan. Sendirian!
Kepalaku
terasa berputar. Batu dari tangan bocah itu seperti membuat bola mataku pecah.
Rasa kebencian yang terpancar dari sorot mata bocah Palestina itu ternyata
mampu menghasilkan energi yang luar biasa dahsyat. Bocah itu telah lebih dahulu
rebah sebelum akhirnya aku juga terjerembap, bersimpuh memegang mata kiriku.
Sebelum
benar-benar gelap, sesosok bayangan wanita seperti melintasi pandanganku.
Tangannya berusaha menggapaiku. Namun, akhirnya dia jatuh tertelungkup menimpa
tumpukan tubuh di hadapannya. Kelebatan itu terlihat seperti nyata. Aku
menangis sekuat tenaga ditarik seseorang dengan keras menjauhi tumpukan tubuh
bermandikan darah. Sketsa mengerikan itu mengantarku ke dalam lengang.
Sesaat
kesadaranku hilang. Hanya terdengar suara gaduh, ingar-bingar yang jauh, lalu
diam. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Aku tersadar kembali saat
mendengar suara tembakan beruntun beberapa kali. Aku berusaha membuka mata
walau kepalaku terasa berat. Aku bergidik! Tubuh bocah kecil itu ternyata
sedang ditembaki beramai-ramai oleh rekan-rekanku. Tubuh bersimbah darah itu berkedut
beberapa kali setiap timah panas menembus tubuhnya, sampai akhirnya dia
mengejang. Sepertinya semua rekan-rekanku tak ingin kehilangan momen berharga
mengakhiri riwayat bocah kecil penggenggam batu yang berani-beraninya melawan
tentara Israel hanya dengan batu di tangan. Mungkin masih terlalu dini baginya
untuk tahu sepak terjang Stern, Irgun, dan Haganah dulu menghancurkan De’ir
Yasin (i).
Aku
tercekat dengan pemandangan mengerikan di hadapanku. Aku ingin berpaling, tapi
entah mengapa tangan Rabbi Shahak terasa seolah-olah mengelusku, memberi
kekuatan dan memberkati hari pertamaku bertugas dalam wajib militer.
Anggota
patroli yang belum semuanya kukenal baik kembali berlompatan menaiki tank-tank
dengan wajah terlihat puas sambil melempar joke penuh cemoohan kepada bocah Palestina
yang baru saja kami habisi. Perjalanan dilanjutkan untuk mengontrol pelaksanaan
jam malam yang sebentar lagi akan diberlakukan.
Aku
lebih banyak diam saat mata dikompres. Ada sedikit rasa shock di hatiku dengan pemandangan
yang baru aku alami dan aku terlibat langsung di dalamnya. Selama ini aku hanya
mendengar cerita dari teman-temanku yang ikut wajib militer.
“Jangan
terlalu dipikirkan, Daniel,” Mitchel Fisk, teman sefakultasku yang telah lebih dahulu
memasuki wajib militer menepuk bahuku.
“Saat
pertama kali ikut patroli aku juga mengalami shock yang sama sepertimu. Nanti juga
kau akan terbiasa,” Fisk menawarkan permen karet di tangannya. “Lumayan, untuk mengurangi
stres,” ujarnya. Aku terdiam sembari mengunyah permen karet. “Apa mungkin aku
nanti akan bisa terbiasa dengan kondisi ini?”
Tank-tank
kami melewati pinggiran kota, menyusuri tembok pembatas yang membelah Yerusalem.
Tembok sepanjang seratus tiga puluh kilometer dengan tinggi sepuluh meter yang
dulu dibangun atas inisiatif Perdana Menteri Ariel Sharon ini terlihat begitu
angkuh dengan sistem monitor canggih yang di pasang di atasnya.
Di
ujung jalan yang tidak bertembok pembatas, banyak warga Palestina sedang antre untuk
melewatinya. Para tentara Israel bersiaga di sana. Semua warga diperiksa, mulai
dari cek kartu identitas, digeledah, bahkan sampai ke pakaian dalam.
Aku
melirik jam tanganku. Tinggal lima menit lagi menjelang jam lima saat akan
diberlakukannya jam malam. Tapi, sepertinya masih banyak warga Palestina yang
belum menyadari percepatan jam malam kali ini. Karena, memang perubahan ini
diambil tiba-tiba saja tanpa alasan yang jelas oleh pimpinan IDF (ii) wilayah
Tepi Barat.
Ini
bukanlah kali pertama adanya perubahan jam malam tanpa sosialisasi. Walaupun
aku seorang Israel, tapi ini suatu yang kurang masuk akal dilakukan organisasi
sekaliber IDF. Tapi, aku tak punya waktu untuk berpikir lebih lanjut.
Di
ujung jalan, di persimpangan ke arah perumahan Ramat Shlomo, seorang laki-laki
berkafiyeh berjalan dengan arah menjauhi pemukiman.
“Wah,
ini jatah kita nih!” seru Tom Shlaim, perwira menengah yang duduk di bagian
depan tank tergelak senang.
Lewat
satu menit dari jam lima! Ini adalah kartu mati bagi warga Palestina yang masih
berada di luar rumah. Kami berlompatan ke depan pria berjanggut yang terlihat
kaget dengan kedatangan kami.
“Anda
melanggar jam malam,” komandan patroli kami Mayor Ehud Oron menodongkan
senapannya hanya berjarak sepuluh senti di depan kening lelaki itu. “Keluarkan
kartu identitas!”
“Geledah!”
suara mayor yang pernah ikut membuldoser orang-orang Palestina di lokasi
penampungan pengungsi sipil dalam Operasi Jenin pada 2002 itu menggelegar.
Serdadu-serdadu
berlompatan dari atas tank-tank seperti serigala lapar melihat rusa yang
terkepung, menyeringai siap menerkam. Mereka berlomba mendekati lelaki separuh
baya itu yang dengan tenang melirik jam tangannya. Sepertinya dia menyadari
telah ada perubahan jam malam yang dipercepat secara sepihak oleh Israel.
Laki-laki
itu tersenyum samar seperti paham dengan jebakan Israel kali ini. Senyumnya
ternyata justru membuat kemarahan serdadu Israel menggelegak. Bertubi-tubi
pukulan dan tendangan keroyokan mendarat di perut dan pelipis laki-laki itu.
Laki-laki itu terbungkuk menahan sakit. Tubuhnya sempoyongan. Darah segar
menghambur dari mulutnya.
Melihat
lawan makin tak berdaya, gerombolan pasukan Israel makin beringas menghajar
laki-laki itu tanpa ampun. Sungguh sebuah aksi tanding yang sangat tak
berimbang.
“Ayo
Daniel!” teriak Mitchell dengan isyarat tangannya agar aku ambil bagian dalam
aksi ini membuatku tergagap.
“Adalah
tugas mulia kita, menyediakan ‘tanah tanpa manusia untuk manusia tanpa tanah
(iii)’, ” teriak Mitchell lagi. Kalimat itu telah kudengar hampir setiap hari
saat aku melewati hari-hariku di Kibbutz (iv). “Yoshua datang dan memusnahkan
penduduk Jericho (v) adalah misi Tuhan! Tidak boleh ada satu orang pun dari
mereka yang tersisa!” jawaban seperti itu selalu diberikan Rabbi Shahak sambil
membuka Perjanjian Lama saat aku bertanya mengapa Israel harus terus-menerus menghabisi
Palestina.
Aku
masih terpaku saat tubuh laki-laki Palestina itu oleng. Aku tercekat ketika
sebuah hantaman keras senjata laras panjang seorang serdadu Israel menghajar
tengkuk lelaki itu yang membuatnya tersungkur di tanah. Rasa kagetku belum
hilang saat Letnan Moshe Ildad melompat ke atas tank. Berteriak menyuruh
pasukan Israel menghindar dari tubuh lelaki Palestina itu dan bersiap
menjalankan tank. Aku menahan napas di tengah sorak riang pasukan Israel
menyemangati Ildad. Tank bergerak seperti sebuah tarian maut yang gemulai,
menikmati setiap putaran rodanya menuju tubuh yang tergolek tak berdaya di
jalanan beraspal dan siap menggilasnya.
Aku
menutup mataku tak hendak melihatnya. Namun, pemandangan yang tak kalah
mengerikan hadir menggantikan. Di depan mataku, siluet tumpukan tubuh laki-laki
dan perempuan tumpang tindih. Dan, perempuan terakhir yang mencoba menggapaiku
tersungkur, berteriak keras melihat buldoser mendekat ke arahnya. Pemandangan
berikutnya tak dapat kusaksikan kecuali teriakan histeris perempuan itu serta
suara-suara jerit kesakitan yang menyayat, mungkin dari tumpukan tubuh manusia
itu. Aku tidak dapat menyaksikannya lagi, karena tubuhku ditarik seseorang dengan
keras dan dipalingkannya.
Aku
refleks membuka mata mendengar raungan keras keluar dari mulut laki-laki yang
setengah jam lalu masih berdiri gagah di hadapan kami, saat roda-roda tank
mulai menyentuh tubuhnya. Aku menahan napas melihat cairan putih berloncatan
keluar dari kepala laki-laki itu. Tubuh itu kini tak berbentuk. Serpihan daging
dan genangan darah membanjirinya. Aku menelan ludah pahit. Serdadu-serdadu
Israel bersorak dan bertepuk tangan menyalami Ildad, seolah mayor itu telah
berhasil melaksanakan sebuah misi penting. Setelah itu mereka kembali
berlompatan ke atas tank bersiap mengakhiri patrol hari ini.
●●●
Aku
mengempaskan tubuh di tempat tidur masih mengenakan seragam wajib militer. Rasa
pusing dan mual menyesaki perutku. Sungguh sebuah hari yang melelahkan pada
hari pertamaku menjalani wajib militer ini.
Aku
berusaha menutup mata. Namun, bayangan kejadian hari ini memenuhi pikiranku.
Anak kecil pelempar batu, tubuh laki-laki Palestina yang hancur, serta sebuah
bayangan perempuan yang berulang kali muncul, entah dari mana asalnya, berusaha
menggapaiku di tengah tumpukan manusia tumpang tindih dalam genangan darah.
Bayangan terakhir awalnya masih samar, namun makin lama terlihat semakin jelas.
Aku mengumpulkan segenap ingatanku untuk memahami bayangan itu. Sebuah tanya
bolak-balik menghantuiku. Siapa perempuan di tengah tumpukan manusia itu? Entah
mengapa perlahan-lahan ada perasaan dekat yang kurasakan saat aku kembali
membayangkan wajah perempuan itu. Lalu, mengapa pula aku ada di tengah tumpukan
manusia itu?
Aku
bangkit menuju ruang kerja Rabbi Shahak. Hari ini ada pertemuan penting di
Sinagog Khabaar dan Rabbi Shahak akan mengikutinya mungkin sampai pagi.
Tumpukan buku-buku terlihat memenuhi ruangan dan meja.
Seingatku,
selama aku diasuh Rabbi Shahak semenjak usiaku sekitar empat tahunan, baru
beberapa kali aku memasuki ruang kerja Rabbi Shahak ini. Walaupun Rabbi Shahak
terlihat sangat sayang padaku, namun sikapnya sangat tertutup. Banyak hal yang
sepertinya ingin disembunyikannya dariku, termasuk keberadaanku di rumahnya
sampai saat ini. Dia akan diam seribu bahasa kalau aku bertanya tentang masa
kecil dan asal-usul keluargaku. Rabbi Shahak hanya mengatakan bahwa aku adalah
“malaikat” yang dikirim Tuhan kepadanya untuk menjadi “pahlawan” bangsa Israel
membebaskan “Tanah Terjanji”.
Mataku
menyapu seluruh ruangan. Sebuah diary lama dengan sampul penuh debu yang
tergeletak di ujung lemari menarik perhatianku. Tak ada yang istimewa yang
tertulis di buku itu. Hanya seputar kegiatan harian Rabbi Shahak mengajar dan
memberikan ceramah di beberapa sinagoge dan pertemuan. Aku membolak-balik buku
itu tanpa minat. Beberapa halaman yang ditulis dengan tinta merah walaupun
buram menarik perhatianku.
15 November 1989
Akhirnya pagi ini dia menikahi wanita
Palestina itu dan menjadi Muslim. Dia memilih tanggal ini katanya untuk hadiah
ulang tahun kemerdekaan pertama Palestina bagi istrinya.
“Sekaligus hari kemerdekaan bagiku,” ujarnya
.
Dia telah menjadi Yahudi yang mengkhianati
dirinya sendiri.
“Paham Zionisme berlawanan dengan nurani
kemanusiaanku,” begitu alasannya. “Walaupun aku adalah Israel tulen”, lanjutnya
lagi.
“Tidak! Dia mengkhianati Israel, Tanah terjanji.
Tak kan kubiarkan!!!”
Aku
menahan napas. Mencari-cari tulisan bertinta sama.
15 Agustus 1990
Katanya anaknya sudah lahir. Aku tak tahu kapan.
Sebagai teman akrabnya dulu, aku ditanyai teman-temanku dan juga teman-teman lamanya
di sinagoge. Tapi, aku malah tidak tahu informasi itu. Apa yang bisa kulakukan?
Aku
mengernyitkan dahi. Teman akrab, siapa teman akrab Rabbi Shahak itu? Aku melanjutkan
membaca beberapa buku yang lain. Kondisinya hampir sama, berdebu dan buram.
Sebuah tulisan bertinta merah kembali menarik perhatianku.
23 Maret 1994
Aku ikut pasukan patroli. Mereka menyisir dan
“membersihkan” lokasi sekitar Al Quds. Itu tempat tinggalnya beserta istrinya.
Pasukan yang luar biasa. Mereka mampu “mengosongkan” penduduk wilayah itu
walaupun sebagian harus dengan buldoser.
Yang kucari akhirnya kudapatkan. Wajah bocah
itu sangat mirip dengan wajah ayahnya. Anak itu berhasil kupisahkan dari
ibunya. Kudekap dia agar tak melihat ayah ibunya dibuldoser.
Sekarang dia anakku. Tidak ada lagi Al Hamid
Ibrahimi. Kau sekarang adalah Israel Daniel! Akan kujadikan kau Yahudi sejati pengganti
ayahmu yang pengkhianat.
Israel
Daniel! Refleks aku melihat banner nama
di dadaku. Israel Daniel!
Aku
terduduk lesu. Beribu tanda Tanya memenuhi kepalaku. Bagaimana mungkin Israel Daniel
itu adalah Al Hamid Ibrahimi? Dan, itu adalah aku!
Bayangan
tumpukan manusia itu kembali hadir di mataku. Sekarang dapat kulihat dengan jelas
wajah kelebatan wanita itu. Wajahnya begitu panik menyadari aku terlepas dari tangannya
dan berusaha merebutku kembali dari tentara Israel yang telah merenggutku dengan
paksa dari sisinya. Dan, ternyata wanita itu adalah ibuku!
Kepalaku
terasa pusing. Bagaimana mungkin Rabbi Shahak yang selama ini aku hormati ternyata
memiliki andil yang sangat besar menghancurkan keluargaku, membuldoser ibu bapakku?
Begitu rapinya Rabbi Shahak menyimpan rahasiaku demi menjadikanku seorang Israrel.
Aku bingung dan tidak mampu memahami perasaanku saat ini. Rasa mual dan benci menyesaki
dadaku.
Aku
meraba gagang pistol di pinggangku. Aku mencabut banner nama di dadaku. Dalam lengang aku melihat bocah delapan
tahunan penggenggam batu dengan tubuh bersimbah darah itu menjelma dalam
diriku.
Bogor, 20 Juni 2010
Keterangan:
(i)
Pembantaian sangat keji di Desa De’ir Yasin oleh Israel pada 9 April 1948. Aksi
keji ini menewaskan lebih dari 360 orang dari total penduduk 600 jiwa.
(ii)
Tentara Nasional Israel.
(iii)
Semboyan kaum Zionis Israel untuk menjadikan tanah Palestina kosong sama sekali
sehingga dapat disediakan bagi bangsa Israel yang mereka anggap tidak punya
tanah.
(iv)
Tempat-tempat pemukiman kolektif di Israel dengan sistem kepemilikan bersama.
(v)
Salah satu kisah dalam Kitab Perjanjian Lama yang disitir secara salah dan
disalahgunakan Zionis sebagai pembenaran tindakannya membantai penduduk Palestina.
Penulis
berdomisili di Bogor, Jawa Barat. Ia tergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP)
Bogor. Aktivitas sehari-hari ibu tiga anak ini adalah menjadi guru PAUD.