Cerpen Suara Merdeka, 3 Juni 2012 – oleh Manaf Maulana
PROYEK
pembangunan waduk yang menelan dana hampir satu triliun rupiah sudah rampung.
Kini waduk itu sudah menampung air hujan. Luas waduk itu belasan kilometer
persegi. Banyak bekas kawasan persawahan di sejumlah desa kini digenangi air di
sepanjang tahun.
Menurut
penjelasan sejumlah pejabat pemerintah daerah, tujuan pembangunan waduk itu
untuk mencegah kekeringan yang selalu melanda setiap musim kemarau. Konon,
dengan adanya waduk itu, krisis air bakal terhindarkan, sehingga banyak kawasan
persawahan tetap subur ijo royo-royo sepanjang tahun sehingga pendapatan
pertanian yang notabene pendapatan asli daerah bakal meningkat.
Karena
tujuannya dianggap baik, tak ada pihak yang menolak atau menentang proyek
pembangunan waduk itu. Tapi karena rumahku berada di dekat waduk itu, aku
selalu khawatir jika suatu saat nanti waduk yang penuh dengan air itu tiba-tiba
jebol dan kemudian rumahku dan semua rumah di desa kami diterjang air bah.
Kekhawatiranku
muncul setiap kali aku teringat tragedi jebolnya Situ Gintung yang menelan
banyak korban beberapa waktu lalu. Kemudian aku memutuskan untuk menjual
rumahku, lantas uangnya akan kubelikan rumah baru di desa lain yang jauh dari
waduk. Bagiku, lebih baik menjauh dari ancaman maut daripada pasrah
menghadapinya meskipun maut bisa datang kapan saja dan di mana saja.
Tapi
istriku menentangku. Dia tidak mau pindah rumah. Alasannya, hidup dan mati
sudah ditentukan oleh Tuhan. ‘’Aku tidak mau meninggalkan desa ini, Mas,
kecuali jika semua orang di desa ini juga pindah rumah.’’
Aku
kemudian berusaha membujuk tetangga-tetangga untuk segera pindah rumah.
Kujelaskan bahwa desa kami posisinya berada di bawah waduk. Permukaan tanah di
desa kami sama rendahnya dengan dasar waduk. Jika tanggul waduk jebol, desa
kami yang akan habis diterjang air bah dibanding desa-desa lain.
Tetangga-tetanggaku
ternyata bersikap sama dengan istriku. Mereka tak mau pindah dengan alasan
menghindari ancaman maut. Kata mereka, di mana pun kita berada, kalau maut
sudah saatnya tiba maka kita akan mati. Mereka juga tidak mau pindah rumah
karena berharap bisa mengambil keuntungan dari waduk. Misalnya, mereka akan
bisa memancing ikan setiap hari di waduk untuk lauk pauk sehingga tidak perlu
belanja ikan di pasar. Mereka juga akan menanam sayur-sayuran di sekitar rumah
yang diperkirakan bakal lebih subur karena air waduk akan merembes membasahi
semua permukaan tanah di desa kami.
***
SETELAH
gagal membujuk istri dan tetangga-tetangga untuk pindah rumah, akhirnya aku
memilih ikhtiar yang lebih sederhana untuk menghindari ancaman terjangan air
bah jika tiba-tiba tanggul waduk itu jebol. Yakni dengan memugar rumah menjadi
berlantai tiga. Semula rumahku berlantai satu.
Kubayangkan,
jika tiba-tiba tanggul waduk jebol dan air bah menerjang desa kami, aku dan
keluarga bisa naik ke lantai tiga sehingga tidak akan ikut hanyut menjadi
korban sia-sia. Pokoknya, segala upaya harus dilakukan agar tidak sewaktu-waktu
hanyut diterjang air bah dari jebolnya tanggul waduk itu.
Istriku
ternyata setuju. Uang tabungan kemudian kuhabiskan untuk memugar rumah menjadi
berlantai tiga.
Di
lantai satu sengaja kubangun ruang tamu dan dapur dengan pertimbangan keamanan.
Misalnya, selama di ruang tamu dan di dapur aku dan istriku tidak akan tertidur
sehingga jika tiba-tiba tanggul waduk jebol bisa langsung menyelamatkan diri
dengan naik ke lantai tiga.
Di
lantai dua sengaja kubangun ruang keluarga dan ruang kerja. Pertimbangannya, di
ruang keluarga dan di ruang kerja aku dan istriku bisa saja mengantuk dan jika
tiba-tiba tanggul waduk jebol kami pasti akan terbangun lalu segera
menyelamatkan diri ke lantai tiga.
Dan
di lantai tiga, sengaja kubangun kamar-kamar tidur dan gudang untuk menyimpan
barang-barang berharga termasuk uang. Pertimbangannya, jika tiba-tiba tanggul
waduk jebol pada tengah malam ketika aku dan istriku sedang tidur, kami akan
selamat dari terjangan air bah. Pertimbangan ini kuanggap logis, karena tanggul
waduk tingginya hanya sekitar empat meter, atau lebih rendah dibanding lantai
tiga rumah yang umumnya berketinggian minimal enam meter.
Setelah
rumah selesai kupugar menjadi berlantai tiga, tetangga-tetanggaku ternyata
banyak yang iri dan kemudian ikut-ikutan memugar rumahnya menjadi berlantai
tiga. Bahkan yang punya banyak uang kemudian memugar rumahnya menjadi berlantai
empat. Kini tak ada lagi rumah berlantai satu dan berlantai dua, karena
ketinggian lantai dua hanya sekitar tiga meter yang berarti lebih rendah
dibanding ketinggian tanggul waduk.
Pemugaran
rumah-rumah di desaku betul-betul menguntungkan bagi mereka yang membuka toko
bahan bangunan. Mereka bisa menjual banyak semen, besi cor dan bahan-bahan bangunan
lain dengan harga tinggi. Diam-diam aku mencari tahu siapa sebenarnya pemilik
toko-toko bangunan itu. Ternyata mereka kerabat keluarga pejabat-pejabat.
***
SUATU
malam, ketika aku sedang ditraktir seorang teman di restoran, aku melihat istri
bupati bersama istri-istri pejabat daerah sedang makan malam bersama. Aku
mendengarkan mereka berbincang tentang proyek pembangunan waduk yang ternyata
menimbulkan kekhawatiran banyak warga desa-desa di sekitarnya.
‘’Sudah
diperkirakan oleh suamiku, jika proyek waduk sudah rampung, pasti segera muncul
banyak proyek pemugaran rumah. Sekarang kalian untung besar, karena bisa
menjual banyak bahan bangunan dalam waktu cepat.’’
‘’Ya,
Pak Bupati memang cerdas dan pintar membagi rezeki dengan membangun waduk itu.
Kabarnya Pak Bupati yang paling untung. Banyak yang bilang Pak Bupati mendapat
komisi puluhan miliar rupiah dari kontraktor.’’
‘’Ya,
itu betul, dan sudah seharusnya. Maklumlah, kontraktornya juga untung besar.
Dan mereka layak mendapatkan untung besar, karena pada waktu kampanye pilkada
mereka telah menyokong dana kampanye yang cukup besar.’’
‘’Oya,
kabarnya Pak Bupati malah untung sehabis menang pilkada dulu, karena semua dana
kampanye berasal dari bantuan para kontraktor.’’
‘’Begitulah
kenyataannya. Jadi kalau rakyat menduga kami menghabiskan banyak uang untuk
meraih kemenangan pilkada, itu keliru. Kami sama sekali tidak mengeluarkan
uang. Kami tidak mau rugi besar jika sekiranya kalah di pilkada.’’
‘’Apa
betul Pak Bupati nanti akan mencalonkan diri pada pemilihan gubernur? Ada kabar
Pak Bupati bakal menjadi calon gubernur, karena sudah punya banyak modal yang
didapatkan dari keuntungan pembangunan waduk itu.’’
‘’Ya,
memang ada rencana suamiku mau jadi gubernur. Kalau nanti dana kampanye
pemilihan gubernur memang ditanggung semua oleh para kontraktor, suamiku pasti
maju menjadi calon gubernur.’’
‘’Apa
sudah punya rencana membuat proyek besar jika nanti Pak Bupati bisa menjadi
gubernur?’’
‘’Ya,
tentu dong. Misalnya, suamiku akan membuat proyek waduk terbesar di Pulau
Jawa.’’
“Wah,
pasti untungnya sangat besar jika proyek waduk terbesar di pulau Jawa bisa
dikerjakan. Untungnya mungkin bisa untuk modal menjadi calon presiden.’’
‘’Ya,
mudah-mudahan suamiku akan bisa menjadi presiden, setelah menjadi bupati dan
gubernur tentunya, karena disokong banyak kontraktor.’’
***
SETELAH
mendengar perbincangan mereka, aku tiba-tiba ingin mengubah nasib. Jika selama
ini aku hanya bertani sambil berdagang beras, aku ingin mencoba juga menjadi
mandor proyek. Aku punya bekas teman sekolah yang sekarang menjadi mandor
proyek. Mungkin dia bersedia menbantuku untuk ikut menjadi mandor proyek.
Namanya Dargo.
Lalu
aku menemui Dargo di rumahnya di desa lain.
‘’Aku
ingin belajar menjadi mandor proyek seperti kamu,’’ ujarku tanpa basa-basi.
Dargo
tiba-tiba bersungut-sungut. ‘’Urungkan keinginanmu itu, karena sekarang aku
sudah tidak menjadi mandor proyek lagi.’’
‘’Kenapa?’’
Dargo
kemudian bercerita tentang pengalamannya sebagai mandor proyek, terutama ketika
menggarap proyek pembangunan waduk itu. Sebagai mandor proyek dia bertugas
memimpin rombongan pekerja proyek dan menentukan jatah bahan bangunan yang
dibutuhkannya. Berkaitan dengan tugasnya itu, dia diharuskan untuk melaporkan
jumlah bahan bangunan dan jumlah pekerja proyek dengan cara menggelembungkan
angka.
Misalnya,
jika bahan bangunan yang dihabiskan sebulan berjumlah satu gudang maka harus
dilaporkan berjumlah lima gudang. Begitu pula jika jumlah pekerja proyek hari
ini 100 orang maka harus dilaporkan berjumlah 1.000 orang. Penggelembungan
angka-angka laporan proyek harus dilakukannya. Jika dia menolak, maka sama
artinya mundur dari tugasnya.
‘’Jadi,
kamu tidak lagi menjadi mandor proyek karena tidak mau terlibat korupsi?’’
tanyaku.
‘’Begitulah.
Aku tidak mau terus menerus dibayang-bayangi perasaan berdosa. Gara-gara
korupsi dalam proyek waduk itu, aku sekarang selalu khawatir jika tiba-tiba
tanggul waduk itu jebol dan kemudian banyak desa diterjang air bah lalu banyak
warga desa tewas menjadi korbannya.’’
Aku
mengangguk-angguk dengan wajah sedikit lega karena sudah memugar rumah menjadi
berlantai tiga yang kuperkirakan bakal aman kuhuni bersama keluarga.
‘’Sebaiknya
kamu segera pindah rumah. Rumahmu bisa dijual lalu uangnya untuk membeli tanah
atau rumah di tempat lain yang jauh dari waduk itu. Aku menduga, jika tanggul waduk
bobol, seluruh rumah di desamu akan hanyut diterjang air bah.’’
‘’Tenang
saja. Aku sudah memugar rumahku, sekarang sudah berubah menjadi rumah berlantai
tiga yang tidak akan tenggelam jika tanggul waduk tiba-tiba jebol.’’
Dargo
tersenyum kecut. ‘’Kamu jangan salah perhitungan. Menurut prediksi sejumlah
konsultan yang ikut mengawasi proyek pembangunan waduk itu, jika suatu ketika
tanggul waduk itu jebol, tidak akan ada bangunan di desamu yang selamat. Semuanya
akan hanyut diterjang air bah dengan kekuatan dorong yang sangat besar. Jadi
sebaiknya kamu sekeluarga pindah secepatnya. Kalau bisa ajak juga semua
tetangga untuk pindah.’’
Tubuhku
langsung gemetar. Wajahku tentu terlihat pucat di mata Dargo.
‘’Kamu
harus segera mengajak keluarga pindah ke desa lain yang lebih aman. Memang,
maut pasti akan datang jika sudah tiba saatnya, tapi manusia wajib berikhtiar
untuk mempertahankan hidup di lingkungan yang aman.’’
***
KATA-KATA
Dargo membuatku makin gemetar. Lalu aku pamit pulang. Setibanya di rumah, aku
menemui istriku yang sedang menyeterika pakaian di lantai tiga. Aku langsung mengajak
istriku untuk pindah rumah. Musim hujan sebentar lagi tiba. Dari jendela kamar,
kulihat permukaan air waduk sudah cukup tinggi, sehingga ketinggian tanggul waduk
kelihatan tinggal dua meteran saja.
‘’Kamu
jangan terlalu cemas, Mas. Bukankah kamu pernah bilang, kalau tanggul waduk itu
jebol, kita pasti selamat berada di lantai tiga ini?’’
‘’Aku
salah perhitungan. Semula aku yakin, dengan memugar rumah menjadi tiga lantai
seperti ini akan selamat dari terjangan air bah jika tanggul waduk itu jebol.
Tapi sejak tadi bertemu Dargo di rumahnya, keyakinanku itu langsung sirna. Tadi
Dargo menyarankan kita segera pindah ke desa yang lebih aman, karena jika tanggul
waduk itu jebol tidak akan ada bangunan di desa ini yang mampu menahan terjangan
air bah.’’
‘’Dargo
pasti hanya ingin menakuti kamu, karena kamu memang tampak penakut, Mas.’’
‘’Kalau
kamu tidak mau pindah, aku akan pindah sendiri.’’
Istriku
tergelak. ‘’Kamu mau tinggal di mana, Mas? Kita sudah tidak punya uang. Siapa
yang mau membeli rumah berlantai tiga ini, kalau semua orang khawatir diterjang
air bah akibat tanggul waduk itu jebol? Sudahlah, jangan terlalu mencemaskan
nasib, Mas. Kita berdoa saja semoga kita selalu selamat di sini dan tanggul
waduk itu tidak akan jebol.’’
Aku
tak bisa berdoa seperti istriku, karena aku tahu telah terjadi korupsi
besar-besaran dalam proyek pembangunan waduk itu. Bahkan malam-malam berikutnya
aku selalu tak bisa tidur dengan nyenyak karena terus menerus dibayang-bayangi jebolnya
tanggul waduk yang tidak cukup kuat karena jatah semen dan batu serta besinya
banyak disunat.
Selepas
tengah malam, ketika terbangun dari tidurnya dan melihatku belum juga tidur,
istriku tiba-tiba memberiku saran yang sangat logis. ‘’Mungkin kamu bisa tidur
nyenyak, tidak dibayang-bayangi jebolnya tanggul waduk itu, kalau kamu tidur di
dalam perahu. Jadi sebaiknya tempat tidur ini diubah menjadi seperti perahu,
Mas.’’
Aku
segera melaksanakan saran istriku. Segera aku mengubah tempat tidur kami
menjadi perahu yang bentuknya mirip dengan peti jenazah. Dan sejak tidur di
atas perahu di lantai tiga rumahku, aku sering bermimpi sudah mati di dalam
peti jenazah yang terapung-apung bersama ribuan jenazah yang diterjang air bah
akibat jebolnya tanggul waduk.
Pondok Kreatif, 2011-2012
Manaf Maulana, menulis prosa, puisi,
esai dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, tinggal di Grobogan.