Cerpen Pikiran Rakyat, 3 Juni 2012 – oleh Adi Zamzam
TELAH
lama Danar memendam keinginan untuk membeli rumah baru lagi. Rumah baru yang bisa
memberinya kenyamanan dan ketenteraman batin. Tak harus besar dan megah, yang
penting rumah itu bisa memberinya kedamaian.
Sering
Danar membayangkan, di rumah baru itu nanti ia akan di istimewakan lagi.
Pelayanan yang menyenangkan, perhatian yang lebih, cinta yang kembali muda,
pokoknya semua yang kini telah hilang dari rumah lamanya akan kembali ia dapat.
Yang
rnengganjal dalam pikirannya kini adalah: kelima anaknya pasti takkan menyetujui
pilihannya ini, semua mata di luaran juga akan memandang buruk, semua mulut
akan menjadikannya menu lezat dalam setiap pergunjingan, dan mungkin juga, ia
pun akan kehilangan kelima anaknya jika tak bisa memberikan penjelasan mengapa ia
begitu membutuhkan sebuah rumah baru.
Tentu
nanti takkan mudah untuk memberikan penjelasan kepada kelima anaknya. Di
samping umur mereka yang masih belia, yang pasti butuh waktu panjang untuk
dapat memahami kondisi ayahnya-pastilah mereka juga takkan rela jika ayahnya
menjadi seorang pengkhianat.
“Yang
tertua pasti akan jadi pemimpin adik-adiknya untuk menjadi pembela ibunya
kelak,” Danar mengungkapkan kegalauannya kepada Indra, seorang teman yang juga
mempunyai nasib serupa dirinya.
Pertemanannya
dengan Indra dimulal ketika mereka sama-sama limbung dan ingin menghibur diri
di sebuah kafe. Dari keakraban yang semakin terjalin, kini Danar tahu bahwa
Indra telah bertindak lebih cepat daripada dirinya. Pengusaha properti itu telah
memiliki sebuah rumah baru tanpa sepengetahuan istri dan anak-anaknya.
“Cari
saja secara diam-diam, Nar. Daripada kamu tersiksa lama-lama,” Indra menanggapi.
“Tapi
lambat laun kan pasti ketahuan, Ndra?”
Lelaki
tambun di hadapannya itu malah tertawa keras, “Kalau enggak berani ketahuan, ya
enggak usah mikir ke sana lah. Kamu kok lucu sekali, Nar,” mengejek.
Danar
terdiam. Ucapan Indra ada benarnya juga. Dibutuhkan keberanian untuk memilih
keputusan itu. Ini juga bukan persoalan rasa tega semata. Ini adalah persoalan
kebutuhan untuk dirinya sendiri.
**
Malam
telah merangkak ke puncak. Danar baru saja pulang dari pekerjaan besar yang
amat melelahkan. Hal pertama yang terbayang dalam kepalanya adalah istrinya
telah menyiapkan air hangat untuk mandinya. Disusul pijatan ringan di atas
tempat tidur sekadar untuk menghibur tubuhnya yang telah disergap Ielah dan
penat. Atau kemesraan-kemesraan kecil sekadar untuk mengusir jenuh yang membuntutinya
seharian tadi.
Namun
hawa itu nyatanya masih saja tercium ketika Danar keluar dari mobil yang telah
ditepikannya di garasi. Dan aromanya semakin kuat tercium. Mbok Jum yang
membukakan pintu untuknya. Sepi. Ia tertegun sejenak di ambang pintu.
“Ada
apa, Pak?” tanya perempuan paruh baya, yang telah dua puluh tahunan mengabdi
kepadanya.
Perempuan
yang telah dlanggapnya sebagal pengganti mendiang ibunya itu mungkin saja juga
sudah mencium kemelut yang mengepung hatinya. Terlihat dari perhatiannya yang
belakangan tampak berlebih, seolah Danar adalah anak kandungnya sendiri. Namun
tetap saja semua itu tak bisa mengurangi sepi yang terus-terusan menguntit
Danar belakangan ini.
“Tak
apa-apa, Mbok. Tidurlah. Terima kasih,” ia melangkah dengan perasaan tak nyaman.
Tiba-tiba
saja ia merasa seperti telah tersesat masuk ke dalam sebuah hutan belantara. Sepi
dan ngelangut mengepung. Dingin. Menyeramkan. Danar ingin lari saja dari tempat
itu. Tapi lari ke mana?
**
Semuanya
seperti lintasan-lintasan mimpi dalam kepala Danar.
“Meski
kecil dan sederhana, aku yakin kamu pasti akan suka dan betah tinggal di
dalanmya.”
Indra
yang menunjukkan rumah itu. Mungil, sederhana, jauh dari hiruk-pikuk kota, dan
terasa sejuk di mata. Tak butuh waktu lama untuk memutuskan. Rumah baru itu ia
beli tanpa sepengetahuan anak istrinya. Bahkan untuk menikmati kenyamanan yang
telah lama diimpikannya itu, Danar pun rela berbohong kepada istri pertamanya
dengan berbagai macam alasan.
Rasanya
seperti kembali muda lagi. Suasana dan pelayanan di rumah baru mengingatkannya
pada masa-masa awal berumah tangga. Semangat hidupnya tumbuh berlipal-lipat. Semua
urusan berat dalam pekerjaan bukan lagi menjadi siksaan. Hari jadi penuh pelangi.
Dua puluh empat jam dalam sehari jadi terasa kurang.
“Bagaimana
rasanya?” tanya Indra suatu ketika.
Danar
hanya tertawa. Tentu saja Indra tak membutuhkan jawaban dari pertanyaan itu,
karena ia juga memiliki dua rumah tanpa pengetahuan istri pertamanya.
Saat
kembali bermalam di rumah lama, semua benar-benar terasa berbeda. Tak ada lagi lolongan
kesepian saat semuanya telah dibekap malam. Tak ada lagi jenuh yang selalu
berusaha membunuhnya diam-diam, karena malam-malamnya telah kembali terisi mimpi-mimpi
penuh wama. Cinta yang baru mekar membangunkan apa-apa yang semula membeku. Meski
anak-anak telah besar dalam dunia mereka sendiri. Meski istri tuanya tak lagi
memperhatikan detail perasaannya dan lebih suka sibuk sendiri mengurusi anak-anaknya.
Kini,
tujuh hari Danar jadi terbagi. Empat hari di rumah lama, tiga hari di rumah baru.
Selama beberapa minggu ia sanggup bertahan seperti itu. Namun, lama-lama
akhirnya ada perasaan sayang yang membuatnya ingin lebih lama menikmati
kenyamanan rumah baru.
Bukan
hanya soal suasana baru yang membuat betah. Betapa banyak hal-hal baru lainnya
yang ia dapati di rumah baru, yang tak pernah ia dapati di rumah lama.
Perhatian, keromantisan, segala suasananya seakan membuatnya muda kembali.
**
TELAH
lima hari Danar tinggal di rumah barunya. Ia tinggalkan alasan seperti biasanya
di rumah lama; urusan kerja. Tentu saja kerja untuk menyenangkan diri sendiri.
Telah lama ia menginginkan hal ini. Sesekali memanjakan diri sendiri. Toh
keluarganya tak pernah ada yang peduli menyangkut hal itu.
Hari
keenam ia pikir akan berhasil menyudahi kemalasannya meninggalkan rumah baru.
Namun ternyata tak, Danar malah semakin nyaman dan semakin enggan beranjak dari
segala yang memanjakannya. Cinta, perhatian, kehangatan, dan suasana di runah baru
benar-benar mengembalikan kemudaannya lagi. Hingga hari ketujuh berlalu, dan terlintaslah
sebuah pikiran nakal dalam benaknya; ia akan memberikan lebih banyak harinya
untuk rumah baru saja. Toh pulang ke rumah lama rasanya seperti pulang ke
kuburan.
Namun
alangkah terkejutnya Danar pagi itu. Ketika ia bercermin sehabis mandi, sama
sekali tak ia dapati bayangannya. Seolah ia tak memiliki tubuh yang dapat
ditangkap oleh cermin itu!
Ia
meraba-raba tubuhnya sendiri. Jemarinya masih bisa menemukan tubuhnya itu. Tapi
mengapa cermin tak bisa menangkap bayangannya?
“Cintaa…!”
setengah teriak Danar memanggil istri mudanya.
“Coba
sentuh tubuhku, raba, peluk, apakah jasadku ini nyata?” perintahnya setelah istri
mudanya tergopoh-gopoh datang.
“Bagaimana?
Apakah tubuhku in nyata?”
Perempuan
muda itu berkerut-kerut keningnya.
“Cermin
itu tak menampakkan bayanganku,” mengajak istri mudanya menatap cermin.
“Lha
itu bayanganmu. Iiih...., Mas Danar aneh-aneh saja,” menunjuk bayangan lelaki di
sampingnya dalam cermin.
“Benarkah?
Mana?” masih juga tak bisa melihat bayangannya dalam cermin.
Merasa
dikerjai lelakinya, perempuan muda itu pun meninggalkan lelakinya sambil ngedumel.
Kembali kepada pekerjaannya di dapur.
Sementara
itu Danar masih saja merasa aneh dan cemas. Ia merasa, sepertinya jasadnya masih
tinggal di rumah lama. ***
Kalinyamatan – Jepara, 2012