Cerpen Inilah Koran, 24 Juni 2012 – oleh Ana Marliana
DEBURAN
ombak yang saling berkejaran dihempas angin seolah sepasang sejoli yang sedang
memadu cinta di malam pertamanya. Mereka berpadu dengan mesra. Saling berjabat,
saling menyentuh, bersenda gurau, tertawa riang, bahkan seolah berbaring
bersama dan masuk dalam mimpi indah bersama-sama pula.
Di
bibir pantai senja itu, terdampar sebuah perahu nelayan. Perahu yang ikut
menari kala tubuhnya terhempas ombak. Di ujung badan perahu kayu itu berdiri
seorang anak perempuan berusia 7 tahun yang ikut pula menari bersama perahu
yang ditumpanginya. Seorang anak berambut ikal sebahu, dengan kaus berwarna
biru langit, memakai rok kuning selutut dengan motif bunga di sekelilingnya
sesekali ikut menari, terhempas angin. Tubuhnya menghadap laut yang luas, matanya
menerawang, seperti sedang mencari dan membayangkan tentang keberadaan ujung
laut di hadapannya kini.
“Ree…,”
sahut bocah lelaki dari bibir pantai.
“Reee…,”
merasa tak ada respons, bocah laki-laki itu kembali menyahutnya.
“Reee…,”
sahutan itu terlempar kembali pada anak perempuan yang sejak tadi hanya berdiri
kaku di ujung perahu, tanpa gerakan sedikit pun dari
tubuhnya.
Bocah
laki-laki itu pun memilih naik ke atas perahu dan menghampiri anak perempuan
itu. “Reee..,” sapanya, kali ini tangan bocah lelaki itu menyentuh pundak
Kayre.
Seolah
sebuah patung, Kayre tidak merespon sedikit pun. Kemudian bocah laki-laki itu
memeluk tubuh Kayre. Tubuh bocah lelaki itu lebih tinggi dari Kayre. Benar
saja, tubuh Kayre seperti beku. Masih tanpa respons sedikit pun.
“Ree,
semalaman kamu di sini?” bisik bocah laki-laki itu tepat di samping telinga
Kayre. “Aku khawatir padamu,” lanjutnya. Kemudian, mengecup pelan rambut Kayre.
“Aku benar-benar khawatir.”
Kayre
dan bocah lelaki itu berayun di atas perahu nelayan yang masih menari di tepian
pantai. Mereka sama-sama menatap jauh ke ujung laut biru, ditemani terpaan
angin dan riakan ombak.
“Kakak…”
suara lirih teralun dari mulut Kayre.
Pelukan
bocah lelaki itu seketika terlepas, dan wajahnya menatap ke arah Kayre.
Memastikan yang bersuara benar-benar Kayre.
“Kakaak,”
ulangnya kembali.
“Iya
Ree, ini Kakak,” jawabnya sigap. Tangannya menyentuh pipi Kayre.
“Kakaaak…,”
sahutnya lagi, kali ini air matanya meleleh.
“Kenapa
menangis?”
“Apakah
ibu ada di ujung laut itu, Kak?” keluhnya.
“Ibu?”
tanya bocah lelaki itu. ”Ibu siapa?” tanyanya lagi dengan suara pelan, seperti
tak ingin ada orang lain mendengarnya.
“Ibu,”
jawab Kayre singkat.
“Ayah
tak mencarimu?” tanya bocah lelaki itu.
“Ayah?”
Kayre terdengar bingung. Matanya masih menatap ujung laut yang tak bertepi
dengan air mata yang masih sesekali menetes.
Bocah
lelaki itu pun kembali memeluk tubuh Kayre, kali ini pelukan itu begitu erat.
Tubuh Kayre tenggelam dalam pelukan bocah lelaki itu. Kayre masih teguh dengan pandangannya,
begitu pun bocah lelaki itu.
***
Suasana
malam di laut memang sangat indah. Itu tergambar dari rona wajah Kayre. Saat
ini anak perempuan pemilik rambut ikal gantung dan mata sayu itu berbaring di
tepi laut. Kakinya menjulur ke arah air laut, dan sesekali tersapu ombak. Namun
senyum yang terpancar dari bibirnya, menandakan kali ini dia sedang berbahagia.
Wajahnya menghadap ke langit bertabur bintang yang saling berkerlip.
“Ibu..”
sesekali mulutnya menyuarakan kata hatinya.
“Apa
ibu ada di sana? Menjadi salah satu bintang di langit sana?” dia bertanya lagi.
Kemudian
ujung bibirnya tersenyum tipis. Matanya mengernyit, memandang bintang seolah
ingin terlihat lebih dekat. Sesekali jari telunjuk dan ibu jarinya disatukan
hingga membentuk lingkaran, lalu dijadikannya teropong untuk menerawang bintang-bintang
yang bertebaran di langit luas.
“Aku
senang kalau ibu jadi salah satu bintang di sana,” katanya, kemudian tersenyum
lagi. “Nah…, bintang yang itu kan, Bu?” tanyanya.
“Re..,”
sapa bocah lelaki yang tiba-tiba terbaring di sampingnya.
“Kakak?”
jawabnya kaget.
“Lihat
deh Kak, bintang itu. Itu ibu, Kak,” ucapnya penuh kerinduan terhadap ibunya.
Jari telunjuknya yang mungil masih menunjuk satu bintang di langit.
“Re,”
ucap bocah lelaki itu terhenti. “Ibu siapa?” tanyanya lagi dengan suara yang
benar-benar pelan.
“Ibu,
Kak…,” jawab Kayre yakin, matanya menoleh sekejap ke arah bocah lelaki di
sampingnya.
Bocah
lelaki itu hanya menatap Kayre dengan mimik bingung. Kemudian matanya beralih
ikut memandang bintang di langit.
***
Suasana
riuh, gaduh dan ramai menepi di bibir pantai. Banyak orang berkumpul di bibir
pantai. Suasana yang terjadi musiman, karena hari ini adalah awal musim melaut.
Suara orang bercampur baur dengan deburan ombak yang terdengar bergemuruh.
Orang-orang saling berteriak, mengobrol dan tertawa. Suara senda gurau
anak-anak kecil yang saling berlarian di pinggir pantai sedang bermain ombak
dan pasir ikut meramaikan suasana pagi itu.
“Kay
di mana?” seorang lelaki paruh baya bertanya pada seorang pemuda yang sedang
melepaskan ikatan perahunya dari samping bibir pantai.
“Tidak
tahu,” jawab pemuda itu singkat.
“Kaaaay…
Kaay..!” lelaki itu berteriak di tengah kerumunan orang di pinggir pantai.
“Lihat
Kay?” tanyanya pada seorang wanita. Juga pada pada seorang anak yang sedang
bermain bola pantai.
“Tidaaak,”
jawab anak laki-laki itu, kemudian berlari mengejar bola yang sudah dilempar
kawan bermainnya.
Laki-laki
itu berdiri putus asa. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Napasnya masih
terengah-engah, dan kedua tangannya memegangi pingggangnya.
“Ke
mana anak itu?” ucapnya kesal. “Dia tahu ayahnya akan melaut, kenapa tidak
datang?” lanjutnya dengan kesal dan tersendat-sendat.
“Ayaaaaahh..”
tiba-tiba Kayre berteriak di balik badan ayahnya.
“Kay,
ayah mencarimu, kamu dari mana saja?” seru ayahnya, sambil memegang bahu Kayre
dengan sentuhan yang agak kencang.
“Ayo
cepat, ayah belum menyiapkan perahu kita, Kay,” ucapan ayahnya kali ini
menghalus.
“Maaf
Ayah,” jawab Kayre dengan wajah tertunduk.
“Lain
kali bilang dulu kalau kamu mau pergi. Supaya ayah tidak susah mencarimu,” ucap
ayahnya, menghiraukan Kayre yang tertunduk menangis.
“Maaf...,”
ucapnya pelan dan lirih.
“Ayo
cepat!” tangan ayahnya menarik tangan Kayre yang mungil.
Kayre
mengikuti ayahnya, dengan muka yang masih tertunduk.
“Ree!”
sahut bocah laki-laki yang berdiri tepat di samping perahu yang
terdampar
rusak.
Kayre
menoleh ke arahnya. Wajahnya lagi-lagi tanpa ekspresi. Mungkin kali ini karena
sedih dibentak ayahnya.
“Cepat,
Kay!” ayahnya kembali bersuara.
Kayre
memalingkan wajahnya dari bocah laki-laki itu dan kembali mengikuti ayahnya
berjalan di belakanganya.
Suasana
riuh dan gaduh tak mampu memengaruhi suasana hati Kayre, muram. Kali ini dia
akan ikut berpetualang menangkap ikan bersama ayahnya. Ini adalah kali pertama
dia berlayar di tengah terpaan angin kencang di atas perahu nelayan yang
mengapung di laut lepas. Seharusnya Kayre merasa senang, karena dia akan
berlayar. Namun sepertinya tidak, matanya sayu dan mukanya cemberut.
“Kay,
ambil dayungnya!” perintah ayahnya yang lebih dulu naik ke dalam perahu
layarnya.
Kayre
meraih dayung yang bersender di samping badan perahu, kemudian tangannya meraih
pinggir perahu dan naiklah dia dengan lincahnya sambil melompat.
***
Berlayar
di tengah laut rasanya seperti bermimpi terbang di udara. Tubuh mungil Kayre
yang terduduk manis terombang ambing di atas perahu kayu. Sedangkan ayahnya sibuk
menebar jala seraya sesekali bersenandung beberapa lagu.
“Kenapa
dayung ini tak pernah dipakai, Ayah?” tanya Kayre yang kebingungan dengan
dayung yang tergeletak di sampingnya.
Ayahnya
dengan tak acuh tak menjawab pertanyaan Kayre. Dengan rona sedih, perempuan itu
menatap dayung bercat biru dan putih bergaris-garis. Tangan mungilnya kemudian
menyentuh garis-garis abstrak warna-warna cat di dayung itu, seraya sesekali
meneteskan air mata.
“Kay,
ayah lusa akan pergi melaut bersama kawan-kawan, mungkin selama seminggu ayah
tidak pulang,” ujarnya dengan ekspresi yang datar.
“Ayah..?”
nada suara Kayre bertanya, kemudian tetes air matanya berjatuhan.
Tangannya
kali ini bukan hanya menyentuh garis-garis cat di dayung, tetapi dayung itu
benar-benar digengggamnya. Meskipun tak akan pernah mampu tangan mungilnya menggenggam
dayung sepenuhnya.
Tak
sedikit pun ayahnya menyentuh pundak Kayre. Jangankan menyentuh badannya,
mendekati anaknya saja seolah enggan. Tubuh Kayre gemetar seperti menggigil
kesakitan menahan luka dalam hatinya. Dia hanya bias melamun, sementara dari
matanya tak henti meneteskan air mata.
***
Senja
sore ini berwarna merah bersolek dengan warna kuning tua dan matahari yang
hendak pulang ke tempat peristirahatannya. Wajah Kayre masih sama seperti 10
tahun yang lalu, saat dia berdiri di ujung perahu kayu yang menepi seraya menatap
tepi laut, di bibir pantai. Kali ini yang berdiri adalah sesosok gadis remaja,
dengan rambut ikal gantungnya sampai di pinggang. Dia mengenakan kaos yang
masih tetap berwarna biru langit dan dilengkapi rok hitam semata kaki.
Tangannya
menggenggam dayung berwarna biru bergaris-garis putih, kali ini dayung itu
dapat digenggam sepenuhnya. Sore ini, dia benar-benar menanti bocah lelaki yang
sering menghampirinya dulu, dan memanggilnya “Ree”. Kayre benar-benar ingin mengetahui
siapa bocah lelaki itu. Hanya bocah itu yang memiliki panggilan berbeda, semua
orang memanggil dirinya “Kay”, bukan “Ree”.
Ujung
laut yang tak pernah bertepi, mengingatkannya pada sosok ayah yang tak pernah
ditatapnya lagi semenjak 10 tahun lalu. Kini Kay benar-benar merindukan
ayahnya, bahkan sepertinya rindu bentakannya. Saat ini, ujung laut itu
memberikan dua gambaran, yang satu muncul dan satu tenggelam.
Kini
bukan lagi ibunya yang dia nantikan muncul di ujung laut itu. Kay tahu bahwa
sosok ibunya adalah sebuah bintang yang bernaung di langit, yang setiap malam
sejak dulu selalu dipandang dan ditunjuknya.
Suasana
hati Kayre remaja itu terlihat tak menentu. Beberapa orang kini sedang
dinantinya.
“Ree,”
sesekali Kayre menirukan suara bocah lelaki itu. Namun tak pernah ada jawaban.
“Reee,”
ulangnya kembali memanggil dirinya sendiri. Dan tetap tak pernah ada jawaban.
Ombak
menghempas perahu Kayre dengan begitu kencang, dan mengajaknya menari. Angin
pun datang menghampiri rambut dan baju Kayre dengan maksud yang sama,
mengajaknya menari. Kayre tersenyum pada ujung laut yang seolah menopang senja
cantik sore itu. Seketika
dayung di genggamannya mulai bergerak berputar di bawah jari jemari Kayre,
seolah ikut pula menari bersama senja sore itu.
Mata
Kayre berbinar, merekam setiap piksel warna senja sore itu. “Aku masih menanti
di sini,” lirihnya pada sinar matahari yang perlahan hilang dengan senyum
lebar. (*)