Cerpen Kompas, 3 Juni 2012 - oleh N Mursidi
LELAKI
itu berdiri di dekat jendela. Temaram lampu kamar, membingkai bayangannya
seperti setengah memanjang. Sesaat, aku hanya menangkap nuansa kesedihan di
wajahnya. Wajah yang menyiratkan selaksa kepucatan yang membentang seperti
iring-iringan awan melingkupi langit. Dia lebih banyak diam, mendengarkan
dengan syahdu suara seseorang di seberang. Aku tahu, dia sedang mengangkat
telepon istrinya. Tetapi, aku tak mendengar dengan jelas: suaranya pelan
setengah berbisik, seperti dengung serangga. Sesekali, ia mengangguk-angguk.
Aku
masih meringkuk dibalut selimut. Tapi tiba-tiba, kulihat segumpal warna serupa
sisa badai yang menggumpal di sudut matanya. Mata yang membuatku bergidik menatapnya
lebih lama. Tak sampai semenit, dia mematikan handphone, kemudian berjalan ke arahku.
”Aku
harus pulang,” suaranya datar tidak terlalu mengejutkanku. Seperti hari-hari
yang lain, dia tidak selalu mengungkapkan satu alasan pun sebelum pergi dari rumahku.
”Apakah
istrimu tahu kalau malam ini kau di rumahku?”
Dia
menggeleng. Sorot matanya kelabu dan ganjil serasa meninggalkan bekas luka
pedih bagai timbunan kardus kumal yang teronggok di tempat sampah. Lama, kami
bersitatap pandang. Matanya mendidih, serupa air yang dijerang di atas tungku.
Aku ingin bertanya..., tetapi genangan hitam di sudut matanya itu membuatku
beringsut. Dan, malam itu, dia benar-benar seperti orang asing yang baru
kukenal.
Dia
buru-buru berpakaian. Aku hanya menatapnya dengan diam, bahkan ketika ia pergi
dengan tergesa dan meninggalkanku yang masih meringkuk setengah telanjang dalam
balutan selimut.
***
IA
tidak tahu, betapa aku bergidik takut tatkala istriku meneleponku. Meski itu
bukan kali pertama istriku tiba-tiba meneleponku saat aku tidur di rumahnya,
tetapi malam itu aku serasa digulung ombak berlipat-lipat: hanyut dalam
gelombang yang hampir menenggelamkanku. Setelah aku mengangkat telepon, istriku
langsung menangis tersedu. Tangisnya pecah, membuat telingaku serasa basah.
Kutunggu lama, hingga tangisnya reda. Hening sejenak, sebelum kemudian istriku
memintaku pulang. Anakku sakit.
Kabar
itu, sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Tapi, aku merasakan tiba-tiba
menggigil. Tangis istriku bagai gerimis yang turun seketika meninggalkan
kepekatan yang membentang di cakrawala serupa kerlip lampu di sepanjang jalan
yang mati tiba-tiba dan membuat seluruh kota tergeragap. Seberkas cahaya
memudar, berganti gelap. Kesunyian meruncing. Dalam perjalanan pulang, hawa
dingin terus menjalar ke seluruh tubuhku. Setibaku di rumah, aku membuka pintu
rumah dengan gugup, seraya mencium aroma parfum yang masih tertinggal di
tubuhku—sekadar menepis kecurigaan istriku sebelum aku menerabas masuk ke
kamar. Tatapan istriku tak menaruh curiga, ketika aku berdiri di ambang pintu
kecuali ia terlihat gugup. ”Sejak satu jam yang lalu, panasnya tak kunjung
turun,” tukas istriku.
”Kenapa
kau tak langsung membawanya ke dokter...” ujarku tak sedikit pun merasa
bersalah.
Kupegang
kepala anakku. Panasnya cukup tinggi.
Tetapi,
istriku tak segera menjawab. Lama, ia menatapku dengan heran. ”Tapi, anak ini
butuh ayahnya. Ia tidak hanya membutuhkanku di saat sakit seperti ini.
Sayangnya, ayahnya seperti tidak pernah tahu.”
”Jika
kau tahu aku sibuk, kau seharusnya tak perlu menungguku sampai pulang untuk
sekadar membawanya ke dokter,” tukasku, sambil membopong buah hatiku, bocah
mungil yang baru menginjak 1 tahun itu. ”Ayo kita berangkat, sebelum semuanya
terlambat dan tambah parah!”
Dalam
dekapanku, anakku menggeliat. Kemudian, ia membuka mata. Mata itu, entah
kenapa, tidak lagi dingin meneduhkan, melainkan berubah seperti nyala api
unggun mata seorang hakim yang mendakwaku dengan tuduhan berat....
***
MATA
lelaki itu kemerahan, bagai hamparan jalan di malam hari yang diterpa gemerlap
lampu. Dan, sejak kali pertama bertemu laki-laki itu, aku seperti
ditelungkupkan pada seraut kenangan. Aku tak tahu, mengapa aku tiba-tiba
seperti direnggut perasaan aneh dan ganjil. Aku seketika jatuh cinta. Apa yang kusuka
dari lelaki itu? Jujur, ia mengingatkanku akan masa laluku—dua tahun
lalu—tatkala aku lulus dari kuliah. Aku masih luntang-lantung, belum
mendapatkan pekerjaan layak, dan kerap tidur di rumah teman.
Hingga
akhirnya, kehidupanku berubah setelah aku bertemu dengan seorang lelaki yang
benar-benar asing bagiku—lelaki yang kemudian menjadikanku istri simpanan. Ia
hampir memberiku apa yang aku butuhkan kecuali kepastian.... Ia bisa datang
satu minggu sekali, kadang bisa satu bulan sekali, atau bahkan dua bulan
sekali. Ia datang ketika butuh, dan ia tidak pernah datang ketika aku sedang
membutuhkan kehadirannya pada satu malam tertentu. Hingga semua itu berakhir
ketika istrinya tahu keberadaanku.
Dan
lelaki ini, tiba-tiba datang dari balik keheningan. Aku tak tahu, bagaimana
semua itu bermula. Ia tiba-tiba duduk di sebelahku, ketika aku sedang berpangku
tangan di sudut cafe. Ia tersenyum, lalu mengajakku bercengkerama. Di
hadapannya, aku seperti hilang.... Ia lelaki biasa, tapi tatapan matanya
membuatku luruh. Dalam sekejap, persendianku seperti dialiri getaran aneh yang
menjalar ke setiap pori-pori. Mata lelaki itu seperti hamparan laut, tenang dan
meneduhkan. Setiap kali aku melihatnya, aku serasa ingin menyelam ke
dalamnya....
Aku
tidak bisa berkata-kata dan ketika lelaki itu menawarkan kebaikan untuk
mengantarku pulang, aku tak kuasa menolak. Sejak itulah, aku sering jatuh sakit
ketika ia lama tidak mengunjungiku....
***
SETELAH
mengantar perempuan itu, aku pulang ke rumah dengan raut penuh tanda tanya. Istriku—yang
biasanya anggun—menyambut kedatanganku dengan cemberut. Tidak seperti biasanya.
Ia kali ini tidak tersenyum, tak membawakan tasku—apalagi mau melepaskan
dasiku. Sejak ia membuka pintu, ia hanya diam—menatapku dengan mata yang aneh.
Aku sudah hafal. Pasti ada peristiwa yang tak ia sukai dan ia memprotesku
dengan diam.
Aku
meninggalkan istriku yang masih berdiri kaku di balik pintu. Ia menutup pintu,
menguncinya dan mengikuti langkahku.
”Noura
sakit...,” akhirnya ia buka suara.
Aku
berbalik, menatapnya dengan raut tak percaya. ”Sakit apa?”
”Demam...
Tadi, badannya panas. Aku sudah membawanya ke dokter...”
”Gimana
sekarang?” tanyaku penasaran, seraya merangsek ke kamar.
Putriku
tertidur, meringkuk dalam balutan selimut. Entah kenapa, aku selalu menemukan
setangkup ketenangan yang selalu menelusup dalam hatiku, ketika mataku menatap
bola mata mungilnya. Tapi, kali ini putriku terpejam. Aku menempelkan tangan di
keningnya. Kening putriku tidak lagi panas.
”Aku
tadi menghubungimu berkali-kali.... Tapi sia-sia! Handphone-mu tidak aktif,” ucap istriku.
Aku
tidak menanggapinya. Ia semakin cemberut bahkan kesal. Aku menciumnya putriku
pelan-pelan, tak ingin bangun. Tapi, harapanku kandas. Putriku terjaga. Matanya
biru, menatapku. Aku merasa tatapan mata putriku... entah kenapa, tidak lagi
dingin meneduhkan, tetapi berubah seperti nyala api unggun yang membuatku
bergidik takut....
Dan
beberapa saat kemudian, ia menangis.
***
DI
mataku, tak ada yang istimewa pada lelaki itu. Ia biasa saja—seperti umumnya
lelaki lain. Hanya saja, mata lelaki itu selalu memukau dan membuatku serasa di
tepi danau. Setiap aku menatapnya, aku seperti melihat hamparan air yang
tenang. Bahkan, ketika aku sudah lama tidak bertemu dengannya, aku.... entah
kenapa bisa jatuh sakit.
Aku
tidak tahu, kenapa semua bisa tak masuk akal. Dan ketika ia menjengukku,
perlahan sakitku pulih. Meski ia datang hanya diam, tak pernah banyak bercerita
dan bersenda gurau. Tetapi, kedatangannya telah membuatku bisa tersenyum. Ah,
lelaki ini benar-benar aneh.
”Aku
ingin pergi ke sebuah danau...,” ucapku memecah keheningan.
Lelaki
itu diam, dan seperti tidak mau mendengar apa yang aku katakan. Dan aku tahu,
dia tak sanggup untuk memenuhi permintaanku. Aku, entah kenapa, merasakan telah
meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa ia penuhi. Selama ini, memang tidak
pernah ada kesepakatan antara kami. Apalagi, setelah aku tahu ia lelaki yang
sudah beristri. Itulah yang membuatku tak pernah menuntut apa pun... Tapi, dia
tiba-tiba membuatku melambung.
”Besok
jika kamu sudah sembuh, aku akan mengantarmu ke pantai...” ucapnya pelan,
seraya mencium keningku.
”Sekarang
aku sudah sembuh.”
Lelaki
itu terbaring tepat di sisiku, kemudian menyibak selimut dan meringkuk bagai
sepotong daging dalam kulkas. Tubuhnya dingin dan hampa. Tetapi semua berjalan
cepat. Lelaki itu selalu mengerjakannya dengan kilat, sekejap kemudian ia sudah
tersengal Aku mendengar lenguhan panjang dan setelah itu, ia berbaring lemas di
balik selimut.
Hingga
kemudian, seperti yang sudah-sudah, dering telepon selalu membangunkan tidur
nyenyaknya. Ia terbangun, buru-buru menyibak selimut, meraih handphone dan berjalan dengan gugup ke
arah jendela. Kulihat sisa embun meruapkan basah di sebagian lempeng kaca
jendela saat ia mendengarkan dengan syahdu suara di seberang. Aku tahu, dia
sedang mengangkat telepon dari istrinya. Tapi aku tidak mendengar jelas:
suaranya pelan setengah berbisik.
Setelah
hening, lelaki itu berkata pendek, ”Aku harus segera pulang.”
Aku
tak mungkin mencegahnya pergi. Aku tahu, pasti ia pulang lantaran anaknya
sakit. Ia pernah bercerita, setiap kali habis menemuiku, pasti anaknya jatuh
sakit...
***
Dalam
perjalanan pulang, aku benar-benar merasa bergidik dan disesap rasa takut. Itu
karena, aku tidak ingin kehilangan anakku. Kalau kulanjutkan hubunganku dengan
perempuan itu, aku tak tahu apa yang terjadi dengan anakku. Lama-lama, anakku
bisa sakit menahun....
Tiba
di rumah, kubuka pintu dengan gugup. Lebih gugup lagi tatkala yang menyambutku
bukan istriku, tapi ibu mertuaku. Aku mencium tangan wanita yang telah
melahirkan istriku itu dengan takzim, ”Kamu boleh sibuk bahkan kerja
mati-matian, tapi jika karena kesibukanmu, justru anak-istrimu sakit, rasanya
kesibukanmu akan membuat hidupmu hampa.”
”Ya,
Bu...,” jawabku.
Hening
sejenak.
”Tapi,
bagaimana dengan Noura?” tanyaku gugup.
”Noura
tak apa-apa, justru sekarang yang sakit istrimu.”
Aku
tercekat. Jadi ia berbohong ketika tadi meneleponku? Ah, kenapa aku sekarang
ini tidak peka? Aku langsung menerabas masuk kamar dan menemukan istriku
terbaring dengan tubuh lemas. Aku duduk di tepi ranjang. Kulihat istriku
menggeliat, menatapku dengan aneh.
”Kenapa
tadi kau meneleponku mengatakan Noura yang sakit?”
Istriku
diam.
”Kenapa
kau berbohong?”
Lagi-lagi,
istriku diam. Setelah itu, ia menatapku tajam. Dan mata istriku... entah kenapa
tak lagi dingin meneduhkan tapi berubah seperti nyala api unggun yang membuatku
bergidik. Mata istriku, kulihat seperti sepasang mata malaikat yang tak henti-henti
menuduhku; bahwa akulah yang sebenarnya berbohong.
Jakarta, 2012