Cerpen Pikiran Rakyat, 24 Juni 2012 – oleh Absurditas Malka
Malam-malam
di desa Bonai, tak lagi tenang. Selalu ada desing yang mendesau di pucuk sepi,
diakhiri sebentuk suara letus dan jeritan mengerang. Kemudian malam kembali
sunyi bersama sebersit pertanyaan.
“Jangan
kau keluar malam-malam. Di luar ada orang jahat menyerang.”
Pinta
Elias kepada pacarnya, Matius.
“Eli,
tenang sajalah tidak akan lama aku berada di luar.” Matius melerai genggam
tangan Elias. Ditempuhnya pekat kota Bonai, ditepisnya segala kabar risau dan
kacau, Matius tidak ingin mati di dalam kegelapan.
Berita
di televisise sedang gencar menyampaikan peristiwa penembakan misterius
terhadap warga kota Bonai. Pelaku penembakan sudah menjatuhkan banyak korban,
aparat kepolisian selalu kehilangan jejak, tak mampu mengusut kebenaran.
“Sepi
sekali ini kota.” Matius bergumam, ditatapnya lampu jalan. Cahaya berlari di atas
aspal, kesepian. Sebuah motor melaju perlahan di kejauhan.
“Hoi!”
Seseorang berteriak dari motor.
“Ada
apa manggiI-manggil?” Matius menatap pengendara motor.
“Cari
mati kau! Cepat pulang. Bonai sedang kacau. Sebaiknya kamu tidak keluyuran malam-malam.”
Lelaki itu entah siapa, di belakangnya terlihat lelaki lain. Tidak berkata
apa-apa, hanya menatap.
“Ada
perlu, nanti juga aku pulang.” Matius menatap sekitar. Tidak ada orang.
“Awas
kau, berhati-hatilah.”
Motor
kembali melaju perlahan, menyisir sepi di sepanjang punggung aspal. Matius masih
harus berjalan, menempuh 5o kilo meter kesunyian untuk bisa sampai di beranda
rumah Esteban, pamannya Eiias.
Di tempat
lain, di sebuah rumah kayu. Esteban gundah menunggu, ditatapnya mulut jalan,
hanya kekosongan dan kegelapan yang terlihat sejauh tatap mengular.
“Ke
mana kau? Lama sekali.” Esteban berpindah tempat duduk. Ditengoknya lagi mulut
jalan. Peristiwa penembakan kembail berputar dalam ingatan.
“Matius...”
Diselidiknya sosok bayang yang bergerak di pinggiran jalan. Senyum rekah di bibirnya,
sosok itu memang Matius yang ditunggunya.
“Syukurlah,
akhirnya kau datang. Esteban menarik lengan Matius, membawanya masuk ke dalam ruangan.
Bruuuggh... Matius roboh bersimbah darah.
“Matius!
Matius!” Esteban menjerit-jerit.
Punggung
dan perut Matius berlubang, darah bersimbah di beranda rumah. Suara rintih dan erang,
melompat dari mulut Matius, lalu hilang berpendar di kesunyian.
***
MALAM-MALAM
di kota Bonai semakin cekam. Di antara sederet pertanyaan, Elias melarungkan
kesedihan. Betapa butir-butir peluru bisa begitu acak, merenggut hidup dan
tubuh seseorang. Betapa tangan-tangan di balik pelatuk, teramat sulit untuk
ditemukan.
“Matius...”
Elias menjerit di dalam hati. Angin berkesiap sepi, menebar sunyi di
sudut-sudut kota Bonai.
“Aku
harus menghentikan pembunuh itu.” Elias bergumam.
Diraihnya
selembar kain hitam. Atas nama perasaan yang paling rawan. Elias menempuh
dendam. Dicarinya tempat-tempat paling misterius di keluasan kota Bonai,
dicarinya sumber-sumber desing yang semakin menabur kelam.
“Perempuan
bodoh! Pulanglah kau.”
Seseorang
berteriak di balik pintu rumah, Elias tidak menggubris, ditempuhnya jalan besar
di kesunyian kota Bonai.
“Keluar
kau pembunuh terkutuk!” Elias merutuk, tatapnya menjalar dari satu kelam ke
kelam yang lain. Tidak ada yang berkelabat, tidak ada yang terlihat. Di ujung
yang jauh, di bawah temaram lampu jalan, beberapa petugas polisi terlihat
berjaga waspada.
“Eiias,
aku percaya seteIah kegelapan pastilah ada terang.” Elias teringat pesan
Matius.
“Kota
ini, kelak akan seperti Jakarta. Ramai, maju, tidak terbelakang, bebas penindasan,
tidak lagi menjadi korban. Percayalah.” Mimpi Matius tentang perubahan Bonai
kembali berdesingan dalam khayal.
“Matius,
kota ini seperti kutukan. Hanya dihamparkan Tuhan untuk dijadikan ladang
kematian. Hanya untuk dihisap habis-habisan oleh tangan-tangan kekar.” Elias
berbisik kepada malam.
“Elias...
Elias...” Ada suara bisik, terdengar samar memanggil.
“Matius,
itukah kau?” Elias menoleh ke segala arah, dicarinya sumber suara.
“Elias,
pulanglah. Bisik semakin tegas terdengar.
Dari arah belakang, lelaki bertubuh tinggi
besar berkelabat mendekatinya. Elias terkesiap, ditatapnya sosok itu. Separuh
wajahnya tertutup kegelapan, separuhnya lagi tertimpa pudar cahaya lampu jalan.
“Siapa
kamu? Kenapa kamu mengenaliku?” Kesedihan sudah merenggut Elias dalam kegilaan,
keputusasaan. Seluruh kota Bonai adalah tempat asing yang terpinggir dari
ingatan. Hanya rasa kehilangan satu-satunya kenyataan yang paling dikenal.
“Aku
Esteban, pamanmu! Ayo, kita pulang.” Ditariknya lengan Elias.
“Tidak!
Tidak! Aku tidak mau pulang! Pembunuh itu harus dihentikan!” Elias menjerit,
memecah malam.
“Esteban!
Cepat kau amankan Elias. Bawa dia pulang!” Teriak seseorang di balik kegelapan.
“Tenang
saja kawan, aku akan membawanva pulang.”
“Matius,
Matius, Matius.” Elias terus memanggil-manggil.
“Elias...
Sadarlah, Matius sudah tiada. Ayo, kau harus pulang.” Esteban mendekap Elias,
membawanya pulang.
“Hoi!”
Dari kejauhan terdengar sapaan.
“Siapa
itu?” Esteban menoleh ke arah belakang.
Sekilat,
terdengar suara desing, diikuti semacam letusan. Suara jerit yang samar segera
hilang, dihisap kesunyian malam.
Esteban
berdiri beku, bersama sekian banyak pertanyaan.
***
“SEORANG
lelaki ditemukan tewas di tempat...”
Elias
menatap layar kaca, terjadi di salah satu tempat di kota Bonai. Gambar di layar
kaca kembali memperlihatkan wajah perempuan pembawa berita, “Sampai saat ini kasus
penembakan misterius belum bisa diselesaikan.” layar kaca berganti tampilan, terlihat
orang-orang berkerumun, petugas kepolisan dan sederet pertanyaan.
“Matius...”
Elias
terdengar merintih, matanya kosong menatap berita.
Bulir
bening di sudut mata, jatuh membelah wajahnya.
Bandung, 12 Juni 2012