Cerpen Jawa Pos, 3 Juni 2012 – oleh Zelfeni Wimra
I
EMBUN
jantan sudah turun. Pertanda malam segera beralih jadi pagi. Burhan meraih pena
dan buku tulis, tebal tiga ratus halaman. Ia pun mulai menulis: Ini masih mengenai sunyi, Bu. Bukan sunyi penjara
yang memancing menung-murung; sunyi yang membuat mata seorang tahanan cembung
dan pipinya cekung. Bukan. Ini perihal sunyi yang berdenyut hangat di urat
leherku. Rentakkan tenaga yang menjalar-menukik ke pucuk jantung. Bersama sunyi
itu, bersama tenaga itu, sejalan guliran hari, aku masih ingin memacu tungkai
ini berlari. Biar aku kayuh lagi udara dengan kedua daya di tangan. Sekalipun
masih harus muncul-menghilang pada satu lapis dimensi, lalu menyeberang ke
lapis dimensi yang lain lagi. Tetapi, Bu, bagaimana akan berlari, badan
sebatang penyimpan denyut yang masih menjalar melintasi urat leherku ini kini
sedang terkurung…
Burhan
menutup buku catatannya itu dan menaruhnya di bawah bantal. Itulah catatan
untuk ibunya. Sekalipun ia tahu, ibunya tidak mungkin bisa membacanya. Paling
tidak, ia telah mengeluarkan segenap perasaan yang masih tergantung tak bertali
untuk ibunya. Seterusnya, ia pun mencoba untuk masuk ke dimensi tidur.
II
Seperti
sering diucapkannya, hidup laki-laki 42 tahun itu seolah hanya mengenal dua
dimensi. Pertama, kenyataam. Kedua, kemayaan. Ia berada dalam
kenyataan ketika dirinya pulang ke sebuah rumah di sudut Kota Tua, tidak jauh
dari Emma Haven, sebutan pelabuhan sebelum nama dan tempatnya dipindahkan ke
Teluk Bayur. Kerumah batu bergaya kompeni itu ia akan mengusung letih di badan,
mengetuk pintu, lalu seorang ibu muncul membukakan. Ibunya yang buta sudah
sangat hafal dengan tempo dan bunyi ketukan pintunya. Seperti biasa, setelah
pintu terbuka, Delima, sang ibu, akan segera meraih kepalanya ke dalam pelukan.
Meraba dan mengusap wajahnya seakan mengukur jejak kenangan yang menyisa di
situ. Kata sang ibu, ia masih bisa merasakan bahwa wajah itu sangat mirip
dengan wajah mendiang suaminya.
Rasa
hangat pada urat lehernya juga tekanan napas yang berembus di hidungnya juga
sama dengan urat leher dan napas sang ayah. Menurut ibunya, itu bukan semata
karena dirinya adalah darah daging sang ayah. Tetapi, hidup yang ia pilih dan
yang sang ayah lakoni pun ada kesamaan: sering tidak pulang karena mengurus
pekerjaan. Sekalipun mampu membelanjai keluarga dan hidup dalam kecukupan,
pekerjaan itu pun tak pernah jelas. Pekerjaan itu tidak ada namanya.
Sering
diceritakan ibunya, kalau setiap kali pulang ia suka menempelkan telapak
tangannya di urat leher ayah, menjatuhkan kening di pangkal lengan ayah, dan
merasakan hangat napas ayah mengembus ubun-ubunnya. Bila sudah demikian,
pertanyaan yang pertama kali ditanyakan ibu pada ayah, juga yang menjadi
pertanyaan pertama padanya: bagaimana keadaan di luar?
Hanya
jawabannya yang berbeda. Jawaban ayahnya: Di luar tak pernah aman, Puan.
Titik-titik perbatasan sudah dikepung tentara pusat. Sementara tentara yang
dianggap memberontak tidak mau diajak berunding. Perang sulit dielakkan. Aku
sudah yakinkan pihak pusat, pernyataan tentara yang dianggap memberontak itu
hanya bentuk ketidakpuasan. Lebih tepatnya bukan pemberontakan. Hanya
koreksian. Sayang seribu sayang, agen-agen asing telah lebih dulu menggelar
dagangan mereka; menebar provokasi ke kepala setiap orang. Kepada teman-teman
di daerah ini, aku juga sudah sampaikan keberatan, ongkos revolusi itu mahal.
Korbannya tidak sedikit. Sayang beribu sayang, agen-agen asing, dengan motif
yang sama: menjual senjata, sudah mendahului niatku.
“Sekarang
bagaimana lagi?” Itu pertanyaan ibu untuk ayah berikutnya. “Istrimu ini buta,
tidak bisa dengan terang melihat kenyataan dan memberimu pendapat.”
“Kita
dilahirkan tidak untuk mengeluh. Kehidupan tidak menerima para pengeluh. Selalu
ada jalan keluar. Aku saja yang belum menemukannya!” tanggap sang ayah.
Kalau
pertanyaan yang sama disampaikan pada Burhan: bagaimana keadaan diluar, jawab
Burhan: Di luar selalu tampak aman, Bu. Tetapi sesungguhnya, negara ini di
ambang kehancuran. Bom terror diletuskan dengan agama sebagai kambing hitam.
Penyakit ditebar setelah obatnya siap diperdagangkan. Korupsi yang kecil
dibongkar untuk menutupi korupsi yang besar. Sengketa perizinan dan penguasaan
tanah antara pribumi dan asing sengaja tidak diselesaikan agar selalu ada isu
untuk menyangkutkan ketergantungan rakyat kecil terhadap penguasa.
Perang
sesungguhnya sedang berlangsung sengit. Tapi perang zaman ini tidak sama dengan
perang zaman ayah, Bu. Zaman ayah, perang dengan peluru. Zaman saya ini, perang
siasat dan tipu muslihat. Satu pihak menciptakan kesusahan bagi pihak lain yang
tidak disenanginya. Pihak yang satu lagi senang melihat lawannya susah. Semua
itu mereka tebarkan melalui media informasi. Mereka kuasai informasi. Itulah
sebabnya, mengapa ibu saya sarankan tidak usah terlalu sering mendengarkan
berita di radio atau televisi. Segalanya telah disusupi pihak-pihak yang ingin
mencelakai kemurnian berpikir kita dan ujung-ujungnya menguras kekayaan tanah
air kita ini. Ketimpangan yang memantik saling tidak senang itu biasanya
digelar dan dijual dari gelombang radio, monitor televisi, dan jejaring
internet….
“Sekarang
bagaimana lagi?” Pertanyaan sang ibu berikutnya, persis pertanyaan untuk
ayahnya dulu. “Ibumu ini buta. Mungkin tidak bisa memberimu pendapat dengan
terang. Sejak rumah ini digempur secara mendadak, entah batu entah peluru
menghancurkan kaca jendela yang sedang ibu bersihkan. Serpihannya menyusup ke
dalam mata ibu yang kanan. Belakang kepala ibu terbentur benda keras. Ibu buta
sebelah. Namun, lambat laun penglihatan yang kiri pun mulai rabun. Hanya hati
ibu yang mudah-mudahan masih bisa membaca cahaya. Melihat kenyataan hidup kita
dengan terang. Pesan ibu, kalau memang benar pekerjaanmu untuk bela negara, ibu
merestui berjuang. Silahkan. Ikuti jejak ayahmu. Hanya saja, kurangilah
kedekatan dengan partai politik itu. Kalau menurutmu memasuki salah satu partai
untuk menggali informasi tidak apa-apa, tapi jaga jarak, Nak. Apalagi partai
penguasa. Ibu nyaris susah bernapas setiap kali mendengar berita di radio dan
televisi mengenai tingkah parta yang banyak itu….”
III
Hiruk-pikuh
di luar yang jarang sekali ia rasakan mencerahkan hati, sesampai di rumah,
seketika hatinya sejuk kembali. Apalagi setelah telapak tangan ibu menyentuh
urat lehernya. Seketika, tanpa ditarik pun, kepalanya akan jatuh di pelukan
ibu. Kepala itu seakan ingin berlama-lama di sana. Seakan ingin kembali
merasakan damai masa menyusu. Merengek menggeliat di timangan ibu.
Namun,
belakangan ada satu pertanyaan ibunya yang selalu membuat kepalanya mendadak
tegak: Kapan, ya, ibu punya menantu? Sekenanya, dia akan cepat menjawab: Ketika
jodoh anak ibu ini sudah ditemukan, saat itu ibu pasti punya menantu….
Sebenarnya,
dia ingin mengadu pada ibunya, betapa rumitnya menemukan jodoh yang cocok
dengan kehidupannya. Betapa sering pekerjaan yang digelutinya membuat dia
kehilangan waktu untuk memikirkan itu. Tapi, tidak kunjung jadi. Dia masih
merasa mampu menyelesaikannya sendiri.
Pranita,
perempuan yang sudah didekatinya beberapa tahun belakangan dan sudah dikenalkan
pada ibunya, belum sepenuhnya berhasil menguatkan hatinya untuk segera
meminang. Apalagi, ibunya justru bertingkah ganjil kalau bicara soal Pranita.
“Apa
tidak ada perempuan lain, selain jurnalis itu? Katamu, teman-teman
seorganisasimu, para relasimu banyak. Ada guru, dokter, bidan. Kenapa belum ada
yang diperkenalkan pada ibu?
Sembari
itu, ibu sarankan, carilah pekerjaan yang tetap. Pekerjaanmu yang serabutan itu
tetap aneh menurut ibu. Kadang-kadang bekerja sama dengan para penambang batu
bara, dengan perusahaan minyak. Pada kesempatan yang sama bergabung pula dengan
jamaah pendakwah; dengam misionaris. Lama-lama kamu bisa tidak menemukan waktu
yang cukup untuk meyakinkan perempuan yang ingin kamu nikahi bahwa dirimu
adalah laki-laki yang bisa dijadikan tempat berlindung.
Kamu
pernah bilang, kalau kamu sedang mengabdi pada negara meski tanpa nomor induk pegawai atau kartu
anggota. Tapi kasat mata orang pertama kali tidak melihat itu. Banyak pun uang
yang bisa kamu dapatkan, tapi kalau tidak memiliki ketetapan, tidak jelas
sumbernya, bisa menimbulkan keraguan. Jangan-jangan kamu belum juga memutuskan
menikah hingga kini, gara-gara itu.
Ingat,
Han. Ayahmu dulu hilang tanpa tahu di mana rimbanya, mati tanpa tahu di mana
nisannya, juga karena keinginan yang sekarang sedang kamu pakai. Hal yang satu
itu, ibu harap jangan terulang. Kamu mau hilang tidak dicari, mati tidak
dihormati, hidup berkalang urat leher sendiri seperti mendiang ayahmu?
Jadi,
karena memang sudah waktunya, lekaslah berbini. Kalau Pranita, aduh, bukannya
ibu tidak restu, ibu hanya cemas kalau istrimu Pranita. Dia seorang jurnalis.
Kapan waktunya bagi seorang jurnalis benar-benar siap menjadi seorang ibu.
Kalau menjadi istri saja mungkin dia mampu. Kalau menjadi ibu? Entahlah. Ibu
sungguh tidak mampu untuk tahu….”
Dia
sebenarnya ingin memberi tanggapan. Mengenai Pranita yang sudah sangat dekat
dengannya kurang lebih enam tahun adalah perempuan baik. Ia juga punya
cita-cita yang sama dengannya: berbuat untuk kemajuan orang banyak. Pranita
perempuan optimis. Dia termasuk perempuan yang memahami kehidupan dan
pekerjaan. Pranita itu, cantik. Dia anak tentara. Dan seterusnya. Namun tidak
jadi, lantaran tidak ingin mengecewakan perasaan ibunya.
IV
Rincian
kisah mengenai Pranita mengabur setelah salah satu keluarga kerabat mendiang
ayah Burhan yang sejak PRRI merantau ke Pontianak pulang kampung. Sudah lama
mereka tidak berkumpul. Di sinilah Burhan diperkenalkan dengan salah seorang
cucu kerabat sang ayah. Evalisa, seorang dokter spesialis jantung yang oleh
para kerabat sering diperolok-olok ketika reuni keluarga besar itu; perawan tua
diperkenalkan dengan bujang lapuk.
Evalisa
sudah 39 tahun belum juga berjunjungan. Burhan, 42 tahun, juga belum berinduk
beras. Maka berdoalah seluruh kerabat: kiranya bereka berjodoh. Agar pulang
kampung mereka tidak terasa sia-sia. Akan terjalin lagi benang-benang yang
putus setelah perang saudara.
Ibu
Burhan terharu. Kepada Burhan dibisikkan: “Apakah doa ibu akan terkabul, Nak?
Ibu mau kamu menikahi Evalisa. Menurut ibu, jika hidupmu akan dihabiskan untuk
pekerjaan serabutan yang menurutmu mengabdi pada negara, seorang dokter rasanya
lebih siap menerima kehidupan macam begitu. Apabila dia segera mengurus
kepindahannya ke sini. Jadi….” Panjang lebar sang ibu memberi penjelasan.
Burhan
mengamini saja. Kebetulan, kejadian itu beriringan pula dengan kesibukannya
mengurus keterlibatannya dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan
beberapa perusahaan yang diberitakan menggelapkan uang Negara triliunan rupiah.
Ia tidak hirau lagi dengan rencana-rencana mengenai jodoh. Saat seperti inilah
yang ia namakan dengan dimensi kemayaan dari hidupnya. Masuk ke lingkaran
benang kusut dan carut-marut.
Sekalipun
tetap menjaga komunikasi dengan Evalisa, yang terjadi antara mereka setelah
berbulan menjalin komunikasi hanyalah perdebatan yang menegangkan urat leher.
Ini tak pernah ia beri tahu pada ibunya. Sungguh, bukan karena Evalisa dokter
atau dirinya seorang yang hidup di dua dimensi. Ini jelas karena watak
masing-masing. Burhan keras dengan prinsipnya. Evalisa pun kukuh dengan
pandangan hidupnya.
V
Suatu
kali Ia terilbat dialog panjang dengan Evalisa. Dengan nada tegas EvaIisa
menyerangnya. Pada prinsipnya, Burhan setuju argumentasi Evalisa, namun cara
Evalisa menyampaikan yang tidak ia sukai. lni terjadi setelah ia menjelaskan
pekerjaannya kepada Evalisa. Pekerjaan yang menurut ibunya sendiri adalah
pekerjaan serabutan yang mahaaneh. Pranita saja, yang sudah bertahun ia pacari,
tidak pernah berdebat soal pekerjaan dengannya. Yang dipahami Pranita, Burhan
itu seorang konsultan politik; aktivis kemanusiaan yang bertahan hidup dengan
kecakapan berkomunikasi. Tapi, respon Evalisa ía rasakan berlebihan.
“Sepertinya
kamu benar-benar telah membiarkan dirimu sama dengan mesin, Han,” demikian
kalimat Evalisa setelah Burhan menyampaikan keprihatinannya mengenai perangai
kapitalis di Indonesia.”Entah siapa, tanpa kamu tahu, telah memasukkan dinamo ke
dalam tempurung kepalamu. Setiap detil gerak pikiran dan perbuatanmu bergantung
pada arahan pengendara mesin. Menyibukkan diri karena ingin hidup nyaman dan
bebas dari ketakutan. Realistis, dong!
Kumpulkanlah
seluruh peristiwa hidup yang dilalui seseorang selama ia hidup. Sejak masih berbentuk
mani seorang bapak, kita sudah dimasukkan ke dalam lingkaran bayar-membayar
itu. Bagi yang sudah hidup dengan teknologi, bapak diminta ibu memeriksakan
kualitas spermanya ke laboratorium, memastikan apakah ia bisa membuahi atau
tidak.Ibu juga memeriksakan rahimnya. Apakah bisa dibuahi atau tidak?
Ibu
kita pun hamil. Peristiwa bayar-membayar pun terjadi. Hitunglah kira-kira
berapa biaya untuk perawatan diri selama mengandung. Kita pun lahir, rincikan
pula berapa uang yang harus keluar demi menyambut kelahiran kita. Kita dibesarkan,
disekolahkan ke TK, SD, SMP, SMA, kuliah, dan seterusnya.
Dalam
pekerjaanmu, yang kamu istilahkan dengan labirin tak berpintu itu pun tak luput
dari bayar-membayar, bukan. Sebaiknya, jangan munafiklah!
Pada
kondisi lain, kau tak ada bedanya dengan hantu. Bekerja dalam lintasan gaib: pada
dimensi yang rumit dan tidak bias dijelaskan secara indrawi. Kau terkurung di
sebuah Iabirin tak berpintu. Tidak kunjung bisa terlepas dari upah
mengupah. Mengapa sok idealis,
mengatakan profesimu itu berdasarkan panggilan kemanusiaan sedikit lebih
terhormat dari profesiku sebagai dokter yang hidup di atas nyawa pasien.
Sejahtera di tengah orang yang sekarat?”
Evalisa
terpancing untuk marah. Burhan merasa berhasil. Itulah yang diinginkannya.
Memahami seperti apa pemahaman Evalisa terhadap pekerjaannya, terutama terhadap
hubungan mereka.
VI
Selain
itu, Burhan juga ingin memancing sebuah dialog; tukar pikiran; bersilih
perasaan. Sekiranya doa ibu dan keluarganya terkabul, Evalisa jadi istrinya,
tentu harus ada komunikasi antara mereka. Itu saja. Namun Evalisa terpancing ke
perdebatan; bersitegang urat leher. Burhan hanya mengemukakan sejumlah
temuannya, betapa tidak berkutiknya profesi kedokteran di negara ini.
Kata
Burhan: Perhatikan saja beberapa kasus dari shampo sampai odol; dari makanan berpengawet
ke bahan kosmetik; dari pembalut sampai obat keputihan; perang bisnis farmasi
dengan perusahaan rokok. Apalagi obat kanker, diabetes, dan jantung, banyak
berasal dari kiriman asing untuk diperdagangkan di pasar kita. Dokter kita masih
berdiri di posisi konsumen!
VII
Bagi
Evalisa, Burhan terlalu ideal memaknai keadaan. Terlalu detail merinci persoalan.
Seperti ketika mendiskusikan apa yang sehari-hari terjadi. Dan lintasan rel kereta
api hingga ke sepak bola. Dan pencurian ikan di perbatasan sampai ke mafia
pelabuhan. Distribusi BBM ke permasalahan pupuk. Tarif dasar listrik sampai ke takdir
guru honorer di pedalaman yang lengang. Inilah yang terus bersengketa dalam
kepaIa dan dada Burhan. Inilah yang membuat Burhan tidak pernah diam dan
bekerja serabutan. Bagi EvaIisa, Burhan seperti filosof yang kesiangan
mengusung pertanyaan-pertanyaan klasik yang sudah Iebih dulu dilakukan orang
lain.
“Kepada
siapa nasib bangsa ini kelak diberikan? Apakah kepada para dokter yang
kuliahnya mahal minta ampun itu?” Ini pertanyaan Burhan pada Evalisa yang juga
membuat mereka bersitegang urat leher.
“Atau
kepada generasi lampu sorot yang bergoyang di bawah kerlap-kerlip lampu
panggung pop dangdut? Kau, begitu juga aku, sering menyaksikan sekumpulan anak
muda menyeka liur di sudut bibir melihat gemulai goyang penyanyi dangdut. Setelah
panggung usai, beberapa orang dalam sebuah acara di televisi mengaku, tidak tahan
untuk tidak onani. Goyangan pinggul penyanyi dangdut begitu lekat di kapala
mereka, memantik birahi. Namun apa daya, badan hanya sebatang bujang yang
malang.
Atau
kepada para calon sarjana yang berjuta banyaknya, menunggu diwisuda untuk kemudian
terkurung dalam kebingungan. Bingung dengan cara apa meneruskan hidup? Semetara
itu, adik-adik mereka di SMK sudah berbekal keahlian. Misalnya, bagi yang
mengambil jurusan otomotif sudah bisa merakit mobil.
Bagaimana
kalau kepada anak putus sekolah. Bisa juga anak yang memutuskan hubungan dirinya
dengan sekolah. Sekolah itu bagi mereka hanya pabrik. Sekolah hanya jelmaan
loket penagih utang. Di sana, di gedung yang telah dilokalisasi itu, yang
paling sering terjadi hanyalah peristiwa membayar dan dibayar, tidak jauh berbeda
dengan bank. Mereka yang memutuskan diri dari sekolah itu berpikir, tiada gunanya
menghabiskan umur di selingkaran pagar sekolah. Lebih baik umur dihabiskan
uniuk mengembangkan diri sepenuhnya di alam lepas. Tanpa sekolah, juga bisa
mengumpulkan uang sebanyak- banyaknya.”
VIII
Burhan,
tidak cukupkah belajar dari sejarah keluarga besar kita? Ibu bapak kita lahir
dan besar sepanjang perang saudara bergejolak. Mereka hidup tanpa keinginan
bersama Iebih lama. Sewaktu-waktu bisa saja salah seorang mereka mati mendadak.
Musim paceklik yang panjang. Jangankan beras, garam susah didapat.
Orang-orangkembali menanam ketela dan talas. Setiap kepala keluarga membuat
lubang di tebing-tebing bukit. Kalau ada pesawat tempur melintas setiap orang
bersiap bersembunyi ke dalam lubang itu. Kakek kita memilih jadi tentara. Nenek
kita tinggal di rumah, membesarkan ibu dan adik-adiknya. Kakek bergerilya dari
hutan ke hutan. Nenek berpindah dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung
menyelamatkan untung malang…”
Evalisa
tidak mau kalah. Sambil tersenyum tipis, ia beberkan pula alasan-alasannya. “Lantas,
kapan bisa menempuh hidup ini dengan nyaman kalau dalam pikiranmu itu melulu
persoalan?”
IX
Mataharl
meninggl. Embun jantan sudah lama menguap dan kembali pulang ke ruang yang tak tersigi.
Burhan duduk berhadapan dengan ibunya. Ini pekan ketlga dia jadi tahanan jaksa
Pengadilan Tipikor. Sudah dua kali ia disidang. Dimintai keterangan terkait
kasus yang melibatkan dirinya. Selaku aktivis partai politik ia diduga kuat ikut
serta menyalahgunakan anggaran pembangunan waduk yang akan dijadikan Pembangkit
Listrik Tenaga Air di perbatasan provinsinya. Dan ini kunjungan Dalima, ibu Burhan,
yang ketujuh. Dua kali ditemani Evalisa. Karena sibuk mengurus kepindahannya ditambah
perasaannya yang tidak begitu berempati, Evalisa tidak pernah lagi tampak
mengantarkan Dalima ke LP. Lima kunjungan berikutnya Dalima ditemani pengacara Burhan.
Tangan
ibunya tak pernah lepas dari Ieher Burhan. Masih dengan sentuhan yang sama, memeriksa
denyut yang merentak di situ.
“Sabar,
ya, Nak. Kamu anak tunggal ibu. Cita-cita ibu, cita-cita ayahmu, manunggaI
dalam dirimu.” Di sela isak, ibunya tampak berusaha tenang.
“Ibu
yang harus bersabar. Ibu tidak boleh sedih, ya. Mata ibu tidak boleh berair,” kata
Burhan sambil mengusap pipi ibunya. Membersihkannya dari guliran air tangis
yang merambat di sana. Tersentak pula keinginannya melekatkan tapak tangan ke
urat leher ibunya.
“Kamu
jangan khawatir. Denyut yang ibu miliki masih kuat. Karena ibu yakin, kamu
tidak bersalah. Sangat yakin!”
X
Pranita
bergegas mengejar Dalima yang berjalan hati-hati dengan bimbingan sebilah
tongkat dibantu pengacara Burhan meninggalkan ruang besuk LP. Selama Burhan
dipenjara, ini kali pertama Pranita sempat berkunjung. Dua bulan terakhir ia ditugaskan
ke luar kota. Pranita ingin sekali mewawancarai Dalima. Sebagai seorang jurnalis,
bukan sebagai seorang perempuan yang mencintai anaknya. Ia lngin mengungkap seputar
perasaannya sebagai seorang ibu yang anaknya sedang ditahan karena dugaan korupsi
triliunan rupiah.
“Bu,
tunggu sebentar. Saya ingin bersama dengan ibu.” Pranita Iangsung merebut
bimbingan tangan Dalima dari pengacara itu sambil memperkenalkan diri dan mohon
izin ditinggalkan. Ia bimbing Dalima ke mobilnya yang sengaja diparkir di
pekarangan belakang LP guna menghindari kejaran wartawan lain yang sudah berkumpul
di halaman depan. Ia ajak Dalima ke sebuah kafe yang tenang, jauh dari
keramaian dan hiruk-pikuk kota yang belum lama ini diguncang gempa bumi itu.
Di
kafe yang menyediakan menu minuman tradisional itulah Pranita menanyakan
hal-hal menyangkut perkara yang menjerat Burhan hingga terpaksa mendekam di
penjara atas dugaan melakukan tindak pidana korupsi. Dalima menjawab semua yang
ditanyakan Pranita. Mulai dari kebiasaan Burhan sejak kecil sampai kesenangan
Burhan setelah besar. Dari persamaan watak Burhan dengan ayahnya sampai ke
cita-cita Burhan menjadi seorang diplomat negara.
Mendengar
paparan Dalima, Pranita tampaknya merasakan ada keganjilan pada kasus Burhan.
Penjelasan Dalima tidak sedikit pun bisa dijadikan tanda bahwa Burhan adalah
seorang koruptor yang rakus sebagaimana diberitakan banyak media. Yang tergambar
hanyalah: Burhanuddin, seorang anak berkarakter baik. Seorang anak yang hormat
pada ibunya. Punya prinsip dan semangat kuat untuk memperjuangkan apa yang dianggapnya
benar Pranita termenung, agak lama. Ia dilamun tanya: ada apa di balik ini semua?
Dalima
sendiri merasakan ada kepuasan dapat menjawab seluruh pertanyaan Pranita. Ia telah
menyampaikan yang sebenarnya. Ia berharap berita yang nanti disiarkan Pranita bisa
membuka jalan terang atas kasus anaknya.
XI
Dalam
sel tahanan, ditemani buku tulis tiga ratus halaman. Burhan sering terlihat
menuliskan sesuatu sambil mengusap urat lehernya dan menggeIeng-gelengkan kepala.
Tidak ada tanda bersalah di wajahnya. Wajahnya adalah wajah orang tercengang.
Entah apa yang sedang membuat bibirnya kadang terenyum, kadang mengatup rapat dan
denyut di urat lehernya terasa mengencang. Satu hal yang ia sadari, inilah risiko
memilih pekerjaan yang menurut ibunya serabutan dan mahaaneh itu. Jika esok atau
lusa ibunya kembali berkunjung dan ia masih melihat raut kesedihan di wajah
ibunya, ia berniat akan memberi tahu bahwa dirinya, anak tunggal ibu, selama ini
bekerja sebagai intelijen negara. Ia ditugaskan untuk membongkar sindikat korupsi
di negeri ini. ***
Indonesia, minggu terakhir Maret
2012