Sabtu, 30 Juni 2012

KOTA LIVIA

0 komentar

Cerpen Koran Tempo, 24 Juni 2012 – oleh Pierre Mejlak

KALI ini Livia membangun sebuah kota. Ini kota pertama setelah sebelumnya dia membuat sebelas pulau berturut-turut yang kini dikumpulkannya di dalam sebuah wadah merah lembut yang dia ambil dari laci di samping ranjangnya ketika ayahnya pergi minum kopi pada petang hari meninggalkannya sendirian. Livia mengeluarkan sebuah peta dan menunjuk suatu tempat di dalamnya. Nah, kini dia sampai ke sebuah toko cokelat yang harum dan penuh bubuk cokelat. Lalu dia tiba di sebuah ruang santai yang dilengkapi televisi raksasa. Buru-buru dia melesat ke pintu depan sebelum mereka memergokinya dan mengiranya maling iseng. Terkadang, tahu-tahu dia sudah berada di tengah jalan raya, dikelilingi mobil dan sepeda motor.

Di kota itu kau akan menemukan apa pun yang mungkin kau pikirkan. Untuk anak-anak, ada sekolahan yang dikelilingi taman dan pepohonan apel. Untuk para remaja, ada sebuah kampus kecil yang dipenuhi para dosen. dokter. insinyur, dan arsitek. Untuk orang-orang sakit, ada sebuah rumah sakit. Untuk mereka yang ingin bekerja, ada pabrik-pabrik yang dikitari oleh Iadang-ladang dengan lahan terbuka yang memungkinkan perluasan untuk menambah lapangan kerja. Untuk para penyuka olahraga, ada lapangan sepak bola dengan beberapa arena kecil mengitarinya untuk berrnain bola voli, basket, dan tenis. Lalu ada sebuah gereja dan beberapa toko. Ada sebuah toko roti. Ada bengkel tukang kayu. Toko kelontong. Jalan-jalan dan jembatan-jembatan. Dermaga dengan perahu-perahu merapat ke tepi. Kantor bea cukai dan kantor pos. Kantor polisi. Tanah pertanian dan binatang ternak. Bandara, terminal bus. Dan yang utama. ada banyak rumah. Rumah-rumah kecil untuk mereka yang tinggal sendirian, Rumah-rumah susun bagi mereka yang tak mau atau tak mampu mengeluarkan banyak uang. Dan runah-rumah besar untuk orang-orang kaya dengan anggota keluarga yang banyak, dan di sana para Ibu dan Ayah menjalani kehidupan yang makmur sentosa.

Setiap kali dia menyelesaikan satu kota atau sebuah pulau, Livia akan mengangkatnya ke udara. Makin berat kertas itu oleh tinta biru dan pena, makin puaslah dia dengan strukturnya yang stabil. Dan terkadang, jika ukuran kota itu begitu besar, dia akan membalikkan kertas itu dan membangun sebuah kota lain di bawahnya. Sebuah kota bawah tanah, penuh dengan saluran gorong-gorong, pipa air, kabel-kabel listrik dan telepon, dan satu dua jalur kereta api bawah tanah. Lalu, dia akan menaruh kertas itu di depan sebuah bola lampu berwarna merah jambu dan cahaya yang terang akan memperlihatkan kota di bawahnya. Kau bahkan bisa melihat kilasan tikus got yang berlarian sepanjang gorong-gorong atau mobil yang melintas di jalanan dan cerobong yang menguarkan asap kelabu. Dia lalu memberi kota itu nama, menaruhnya di wadah merah, dan mulai berencana membuat kota lain.

Dan satu peta ke peta lain, dia akan terus menyempurnakan kota-kota dan pulau-pulaunya, memperkaya kehidupan para penghuninya. Jika dalam karya sebelumnya dia menempatkan, katakanlah, sebuah diskotik di seberang gereja (karena hanya itu ruang yang tersisa), kini dia akan menggabungkan diskotik dengan lapangan sepak bola dan membuat kawasan itu sebagai pusat rekreasi yang berjauhan dengan rumah-rumah. Dengan demikian, jika bola ditendang melewati lapangan, bola itu tak akan memecahkan kaca jendela, tapi hanya membentur dinding diskotik yang biasanya tak berjendela. Terkadang, jika sebelumnya dia menaruh pekuburan di dekat perumahan, kini dia menaruh pekuburan di tempat lain yang tak terlihat oleh orang-orang di kompleks perumahan. Dengan begitu, jika ada seorang gadis yang kehilangan ibunya menatap ke luar jendela pada sebuah malam yang menggelisahkan, dia tidak akan melihat nama ibunya terpahat di atas batu nisan.

Penciptaan sebuah kota atau pulau biasanya dimulai dengan sebuah lingkaran luar. Bagian pinggir itu, yang biasanya membundar, kemudian akan dia isi. Namun, malam ini Livia memulai dengan sebuah bar kecil tempat banyak orang berkumpul setiap malam dengan uap napas mereka meruapi jendela-jendela. Banyak orang, terutama para mahasiswa, setiap malam memesan minuman istimewa yang diracik oleh Livia, seorang gadis berkulit gelap dari Porto Alegre yang entah bagaimana terdampar di tempat itu dari Brasil. Yang istimewa dari setiap minuman yang diraciknya ialah rasanya tak terduga laksana sebuah bola lampu yang tiba-tiba padam di tengah malam gulita. Yang perlu dipesan adalah jumlah minuman yang kaumau. Satu. misalnya, jika kau sedang sendirian. Atau empat jika kau bersama tiga kawanmu. Namun. seperti apa minuman yang diracik, itu semua terserah Livia. Itulah keunikannva.

Livia meracik sendiri campuran minuman itu sesuai apa yang dirasakannya saat itu. Satu-satunya hal yang bisa kauminta secara khusus adalah apakah kau ingin dia memberinya cahaya atau tidak. Jika kau takut api, sebaiknya kau bilang kepadanya untuk tidak memberinya cahaya sama sekali. Kalau tidak, kau hanya akan mendapat sebuah gelas mungil yang sebelum meminum isinya kau harus menunggu nyala apinya mati terlebih dulu. Kecuali kalau kau orang yang suka petualangan. Jika memang demikian, kau boleh meminumnya saat apinya masih menyala atau bahkan kau bisa meminta Livia menyalakan cahaya di mulutmu. Jika kau sepemberani itu, dan kau menundukkan kepalamu sedetik sebelum nyala api padam, mungkin langit-langit mulutmu bisa terbakar—atau, dalam istilah Livia itu disebut il cielo dela boca. Dan semua orang menenggak minuman ini yang tidak mahal harganya karena takarannya sedikit saja dan tempat ini memang bukan untuk orang kaya.

Ya, semua orang meminumnya, kecuali seorang lelaki botak yang sudah beberapa hari tak mencukur brewoknya. Dia bersandar di sudut konter kayu, menyaksikan Livia dengan takjub karena gadis itu selalu menyajikan wama-warna baru, rasa baru, dan pemandangan baru. Bagaimanakah Livia dapat mengingat semua itu? Bagaimana dia tidak menjadi bingung karenanya? Bagaimana dia bisa tak menumpahkan setetes bir pun dan tidak satu botol pun meleset lepas dari tangannya saat dia meracik minuman? Bagaimana dia dapat selalu memadukan warna-warna minuman yang serasi? Dan bagaimana pula dia mampu membuat setiap minuman yang diraciknya memiliki citarasa yang luar biasa?

Setiap Livia menyelesaikan satu karya agungnya, si lelaki botak bertepuk tangan yang segera disambut tepuk tangan meriah para pengunjung lain hingga ke toilet bar. Dan ketika suara tepuk tangan itu mencapal titik paling riuh, si lelaki botak menyembunyikan rasa malunya di dalam saku celana jinsnya—yang biasanya benwarna biru—dan berteriak dengan suara serak,”Brava, Livia!”

Kini, Livia telah terbiasa dengan lelaki itu. Livia tahu dia tak perlu menghampiri lelaki itu untuk bertanya kepadanya apakah dia juga mau minum. Sebab, lelaki itu memesan minumannya kepada pemuda yang bertugas mengumpulkan dan mencuci gelas. Kopi hitam.

Di depan bar, Livia kini membangun sebuah air mancur kecil untuk menghiasi ujung jalan. Di tengah air mancur dia menaruh patung seorang gadis bermata lebar mengenakan mantel bulu dengan saku kecil tempat dia menyembunyikan telapak tangannya. Air mancur menyembur dari lima kancing mantelnya, luruh ke sebuah pinggan raksasa. Bila pintu bar Livia terbuka, gadis bermata lebar itu akan mendengar suara-suara dari dalamnya dan menyambut kehangatan yang menyelinap keluar.

Dan dari pinggan itu, dia bisa melihat mereka menyesap minuman mungil mereka. Terkadang mereka langsung meneguknya dan segera mengikutinya dengan sesendok minuman lain. Seakan-akan mereka sedang minum sirup obat. Kerap dia melihat seseorang menyeringai hingga seluruh minuman itu habis dari bibir mereka menyisakan segaris rasa jijik yang segera bertukar menjadi senyuman lebar. Lalu terdengar derai tawa dan semua orang pun bertepuk tangan. Dan si lelaki botak berteriak, “Brava, Livia!”

Gadis itu sungguh menyukai si lelaki botak, Namun, saat lelaki itu menyadari malam telah larut, melemparkan topi baret ke kepalanya dan menyampirkan syal melingkari lehernya untuk kemudian pergi, dia bisa melihat kesedihan yang bertumpuk sepenuh minggu tersirat di matanya. Livia terus memandangi lelaki itu saat dia berjalan menyusuri jalanan. Lelaki itu lalu menyeberangi sebuah lapangan kecil yang di tengahnya terdapat menara besar—dan dari puncak menara itu kau bisa melihat seluruh kota. Lalu dia memasuki sebuah jalan sempit dan terus berjalan hingga mencapai kawasan yang dipenuhi apartemen kecil. Dia masuk ke salah satu apartemen dan membuka pintu. Saat lelaki itu melepaskan mantel dan syalnya, serta menaruhnya di atas kursi di samping telepon di lorong, dia membuka pintu kamar tidur anak perempuannya untuk melihat apakah dia sudah tidur.

Biasanya, dia menemukan anaknya telah tertidur dengan lampu menyala. Lelaki itu perlahan mengambil selembar kertas dari tangan anaknya. Di atas kertas itu, separuh kota sudah dibangun dan separuhnya lagi telah direncanakan. Dia mencium kening anak perempuannya dan mematikan lampu merah jambu.


Pierre J. Mejlak adalah pengarang kelahiran Malta. Cerita di atas dialibasakan oleh Anton Kurnia berdasarkan terjemahan lnggris Antoine Cassar.
 
Baca selengkapnya →

MENARI DI DAYUNG SENJA

0 komentar

Cerpen Inilah Koran, 24 Juni 2012 – oleh Ana Marliana

DEBURAN ombak yang saling berkejaran dihempas angin seolah sepasang sejoli yang sedang memadu cinta di malam pertamanya. Mereka berpadu dengan mesra. Saling berjabat, saling menyentuh, bersenda gurau, tertawa riang, bahkan seolah berbaring bersama dan masuk dalam mimpi indah bersama-sama pula.

Di bibir pantai senja itu, terdampar sebuah perahu nelayan. Perahu yang ikut menari kala tubuhnya terhempas ombak. Di ujung badan perahu kayu itu berdiri seorang anak perempuan berusia 7 tahun yang ikut pula menari bersama perahu yang ditumpanginya. Seorang anak berambut ikal sebahu, dengan kaus berwarna biru langit, memakai rok kuning selutut dengan motif bunga di sekelilingnya sesekali ikut menari, terhempas angin. Tubuhnya menghadap laut yang luas, matanya menerawang, seperti sedang mencari dan membayangkan tentang keberadaan ujung laut di hadapannya kini.

“Ree…,” sahut bocah lelaki dari bibir pantai.

“Reee…,” merasa tak ada respons, bocah laki-laki itu kembali menyahutnya.

“Reee…,” sahutan itu terlempar kembali pada anak perempuan yang sejak tadi hanya berdiri kaku di ujung perahu, tanpa gerakan sedikit pun dari tubuhnya.

Bocah laki-laki itu pun memilih naik ke atas perahu dan menghampiri anak perempuan itu. “Reee..,” sapanya, kali ini tangan bocah lelaki itu menyentuh pundak Kayre.

Seolah sebuah patung, Kayre tidak merespon sedikit pun. Kemudian bocah laki-laki itu memeluk tubuh Kayre. Tubuh bocah lelaki itu lebih tinggi dari Kayre. Benar saja, tubuh Kayre seperti beku. Masih tanpa respons sedikit pun.

“Ree, semalaman kamu di sini?” bisik bocah laki-laki itu tepat di samping telinga Kayre. “Aku khawatir padamu,” lanjutnya. Kemudian, mengecup pelan rambut Kayre. “Aku benar-benar khawatir.”

Kayre dan bocah lelaki itu berayun di atas perahu nelayan yang masih menari di tepian pantai. Mereka sama-sama menatap jauh ke ujung laut biru, ditemani terpaan angin dan riakan ombak.

“Kakak…” suara lirih teralun dari mulut Kayre.

Pelukan bocah lelaki itu seketika terlepas, dan wajahnya menatap ke arah Kayre. Memastikan yang bersuara benar-benar Kayre.

“Kakaak,” ulangnya kembali.

“Iya Ree, ini Kakak,” jawabnya sigap. Tangannya menyentuh pipi Kayre.

“Kakaaak…,” sahutnya lagi, kali ini air matanya meleleh.

“Kenapa menangis?”

“Apakah ibu ada di ujung laut itu, Kak?” keluhnya.

“Ibu?” tanya bocah lelaki itu. ”Ibu siapa?” tanyanya lagi dengan suara pelan, seperti tak ingin ada orang lain mendengarnya.

“Ibu,” jawab Kayre singkat.

“Ayah tak mencarimu?” tanya bocah lelaki itu.

“Ayah?” Kayre terdengar bingung. Matanya masih menatap ujung laut yang tak bertepi dengan air mata yang masih sesekali menetes.

Bocah lelaki itu pun kembali memeluk tubuh Kayre, kali ini pelukan itu begitu erat. Tubuh Kayre tenggelam dalam pelukan bocah lelaki itu. Kayre masih teguh dengan pandangannya, begitu pun bocah lelaki itu.

***
Suasana malam di laut memang sangat indah. Itu tergambar dari rona wajah Kayre. Saat ini anak perempuan pemilik rambut ikal gantung dan mata sayu itu berbaring di tepi laut. Kakinya menjulur ke arah air laut, dan sesekali tersapu ombak. Namun senyum yang terpancar dari bibirnya, menandakan kali ini dia sedang berbahagia. Wajahnya menghadap ke langit bertabur bintang yang saling berkerlip.

“Ibu..” sesekali mulutnya menyuarakan kata hatinya.

“Apa ibu ada di sana? Menjadi salah satu bintang di langit sana?” dia bertanya lagi.

Kemudian ujung bibirnya tersenyum tipis. Matanya mengernyit, memandang bintang seolah ingin terlihat lebih dekat. Sesekali jari telunjuk dan ibu jarinya disatukan hingga membentuk lingkaran, lalu dijadikannya teropong untuk menerawang bintang-bintang yang bertebaran di langit luas.

“Aku senang kalau ibu jadi salah satu bintang di sana,” katanya, kemudian tersenyum lagi. “Nah…, bintang yang itu kan, Bu?” tanyanya.

“Re..,” sapa bocah lelaki yang tiba-tiba terbaring di sampingnya.

“Kakak?” jawabnya kaget.

“Lihat deh Kak, bintang itu. Itu ibu, Kak,” ucapnya penuh kerinduan terhadap ibunya. Jari telunjuknya yang mungil masih menunjuk satu bintang di langit.

“Re,” ucap bocah lelaki itu terhenti. “Ibu siapa?” tanyanya lagi dengan suara yang benar-benar pelan.

“Ibu, Kak…,” jawab Kayre yakin, matanya menoleh sekejap ke arah bocah lelaki di sampingnya.

Bocah lelaki itu hanya menatap Kayre dengan mimik bingung. Kemudian matanya beralih ikut memandang bintang di langit.

***
Suasana riuh, gaduh dan ramai menepi di bibir pantai. Banyak orang berkumpul di bibir pantai. Suasana yang terjadi musiman, karena hari ini adalah awal musim melaut. Suara orang bercampur baur dengan deburan ombak yang terdengar bergemuruh. Orang-orang saling berteriak, mengobrol dan tertawa. Suara senda gurau anak-anak kecil yang saling berlarian di pinggir pantai sedang bermain ombak dan pasir ikut meramaikan suasana pagi itu.

“Kay di mana?” seorang lelaki paruh baya bertanya pada seorang pemuda yang sedang melepaskan ikatan perahunya dari samping bibir pantai.

“Tidak tahu,” jawab pemuda itu singkat.

“Kaaaay… Kaay..!” lelaki itu berteriak di tengah kerumunan orang di pinggir pantai.

“Lihat Kay?” tanyanya pada seorang wanita. Juga pada pada seorang anak yang sedang bermain bola pantai.

“Tidaaak,” jawab anak laki-laki itu, kemudian berlari mengejar bola yang sudah dilempar kawan bermainnya.

Laki-laki itu berdiri putus asa. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Napasnya masih terengah-engah, dan kedua tangannya memegangi pingggangnya.

“Ke mana anak itu?” ucapnya kesal. “Dia tahu ayahnya akan melaut, kenapa tidak datang?” lanjutnya dengan kesal dan tersendat-sendat.

“Ayaaaaahh..” tiba-tiba Kayre berteriak di balik badan ayahnya.

“Kay, ayah mencarimu, kamu dari mana saja?” seru ayahnya, sambil memegang bahu Kayre dengan sentuhan yang agak kencang.

“Ayo cepat, ayah belum menyiapkan perahu kita, Kay,” ucapan ayahnya kali ini menghalus.

“Maaf Ayah,” jawab Kayre dengan wajah tertunduk.

“Lain kali bilang dulu kalau kamu mau pergi. Supaya ayah tidak susah mencarimu,” ucap ayahnya, menghiraukan Kayre yang tertunduk menangis.

“Maaf...,” ucapnya pelan dan lirih.

“Ayo cepat!” tangan ayahnya menarik tangan Kayre yang mungil.

Kayre mengikuti ayahnya, dengan muka yang masih tertunduk.

“Ree!” sahut bocah laki-laki yang berdiri tepat di samping perahu yang
terdampar rusak.

Kayre menoleh ke arahnya. Wajahnya lagi-lagi tanpa ekspresi. Mungkin kali ini karena sedih dibentak ayahnya.

“Cepat, Kay!” ayahnya kembali bersuara.

Kayre memalingkan wajahnya dari bocah laki-laki itu dan kembali mengikuti ayahnya berjalan di belakanganya.

Suasana riuh dan gaduh tak mampu memengaruhi suasana hati Kayre, muram. Kali ini dia akan ikut berpetualang menangkap ikan bersama ayahnya. Ini adalah kali pertama dia berlayar di tengah terpaan angin kencang di atas perahu nelayan yang mengapung di laut lepas. Seharusnya Kayre merasa senang, karena dia akan berlayar. Namun sepertinya tidak, matanya sayu dan mukanya cemberut.

“Kay, ambil dayungnya!” perintah ayahnya yang lebih dulu naik ke dalam perahu layarnya.

Kayre meraih dayung yang bersender di samping badan perahu, kemudian tangannya meraih pinggir perahu dan naiklah dia dengan lincahnya sambil melompat.

***
Berlayar di tengah laut rasanya seperti bermimpi terbang di udara. Tubuh mungil Kayre yang terduduk manis terombang ambing di atas perahu kayu. Sedangkan ayahnya sibuk menebar jala seraya sesekali bersenandung beberapa lagu.

“Kenapa dayung ini tak pernah dipakai, Ayah?” tanya Kayre yang kebingungan dengan dayung yang tergeletak di sampingnya.

Ayahnya dengan tak acuh tak menjawab pertanyaan Kayre. Dengan rona sedih, perempuan itu menatap dayung bercat biru dan putih bergaris-garis. Tangan mungilnya kemudian menyentuh garis-garis abstrak warna-warna cat di dayung itu, seraya sesekali meneteskan air mata.

“Kay, ayah lusa akan pergi melaut bersama kawan-kawan, mungkin selama seminggu ayah tidak pulang,” ujarnya dengan ekspresi yang datar.

“Ayah..?” nada suara Kayre bertanya, kemudian tetes air matanya berjatuhan.

Tangannya kali ini bukan hanya menyentuh garis-garis cat di dayung, tetapi dayung itu benar-benar digengggamnya. Meskipun tak akan pernah mampu tangan mungilnya menggenggam dayung sepenuhnya.

Tak sedikit pun ayahnya menyentuh pundak Kayre. Jangankan menyentuh badannya, mendekati anaknya saja seolah enggan. Tubuh Kayre gemetar seperti menggigil kesakitan menahan luka dalam hatinya. Dia hanya bias melamun, sementara dari matanya tak henti meneteskan air mata.

***
Senja sore ini berwarna merah bersolek dengan warna kuning tua dan matahari yang hendak pulang ke tempat peristirahatannya. Wajah Kayre masih sama seperti 10 tahun yang lalu, saat dia berdiri di ujung perahu kayu yang menepi seraya menatap tepi laut, di bibir pantai. Kali ini yang berdiri adalah sesosok gadis remaja, dengan rambut ikal gantungnya sampai di pinggang. Dia mengenakan kaos yang masih tetap berwarna biru langit dan dilengkapi rok hitam semata kaki.

Tangannya menggenggam dayung berwarna biru bergaris-garis putih, kali ini dayung itu dapat digenggam sepenuhnya. Sore ini, dia benar-benar menanti bocah lelaki yang sering menghampirinya dulu, dan memanggilnya “Ree”. Kayre benar-benar ingin mengetahui siapa bocah lelaki itu. Hanya bocah itu yang memiliki panggilan berbeda, semua orang memanggil dirinya “Kay”, bukan “Ree”.

Ujung laut yang tak pernah bertepi, mengingatkannya pada sosok ayah yang tak pernah ditatapnya lagi semenjak 10 tahun lalu. Kini Kay benar-benar merindukan ayahnya, bahkan sepertinya rindu bentakannya. Saat ini, ujung laut itu memberikan dua gambaran, yang satu muncul dan satu tenggelam.

Kini bukan lagi ibunya yang dia nantikan muncul di ujung laut itu. Kay tahu bahwa sosok ibunya adalah sebuah bintang yang bernaung di langit, yang setiap malam sejak dulu selalu dipandang dan ditunjuknya.

Suasana hati Kayre remaja itu terlihat tak menentu. Beberapa orang kini sedang dinantinya.

“Ree,” sesekali Kayre menirukan suara bocah lelaki itu. Namun tak pernah ada jawaban.

“Reee,” ulangnya kembali memanggil dirinya sendiri. Dan tetap tak pernah ada jawaban.

Ombak menghempas perahu Kayre dengan begitu kencang, dan mengajaknya menari. Angin pun datang menghampiri rambut dan baju Kayre dengan maksud yang sama, mengajaknya menari. Kayre tersenyum pada ujung laut yang seolah menopang senja cantik sore itu. Seketika dayung di genggamannya mulai bergerak berputar di bawah jari jemari Kayre, seolah ikut pula menari bersama senja sore itu.

Mata Kayre berbinar, merekam setiap piksel warna senja sore itu. “Aku masih menanti di sini,” lirihnya pada sinar matahari yang perlahan hilang dengan senyum lebar. (*)
 
Baca selengkapnya →

BUNUH DIRI

0 komentar

Cerpen Suara Merdeka, 24 Juni 2012 – oleh Kun Himalaya

Badrowi hendak bunuh diri. Sudah berkali-kali dicobanya. Sekali, hendak diputusnya kontrak kehidupan pada seutas tali. Sayangnya, dahan yang disangkanya liat tak kuasa menahan tubuhnya. Dahan itu patah menjadi dua. Lain waktu Badrowi meminum baygon. Ketika cairan mematikan itu telah mulus melewati kerongkongannya, istrinya memergoki. Istrinya histeris dan berteriak-teriak macam orang gila. Sambil menangis istrinya menelepon Rumah Sakit. Tak berapa lama, raungan ambulans membelah malam. Supir ambulans yang gila kecepatan, berusaha mengejar nyawa Badrowi yang sudah sampai di leher.

Sayang seribu sayang, Dokter terbaik di Rumah Sakit itu belum pulang meski malam telah larut. Dokter yang berdedikasi itu sekuat tenaga bernegosiasi dengan Malaikat Izrail memperebutkan nyawa Badrowi. Dokter itu berhasil. Badrowi muntah-muntah. Semua cairan mematikan itu keluar sudah.

Badrowi harus menerima kenyataan bahwa usahanya belum membuahkan hasil. Badrowi mulai percaya nyawanya rangkap tujuh layaknya kucing. Nahasnya, Badrowi jeri melihat darah yang mengucur. Apalagi bila darah itu keluar dari tubuhnya. Badrowi takut. Maka, tak heran, usaha yang melibatkan benda tajam yang nyata bisa membuat darahnya mengucur, amat sangat dihindari oleh Badrowi.

Akhir-akhir ini Badrowi sibuk. Menonton berita kriminal di televisi dan membaca koran menjadi jadwal rutin. Bukankah selalu ada berita tentang kehidupan yang berakhir di tayangan televisi dan lembar koran? Badrowi butuh inspirasi. Badrowi menghitung dalam hati: berapa kali sudah dicobanya usaha ini? Badrowi menentramkan hati dan tidak berputus asa. Setidaknya, jika benar keajaiban nyawa rangkap tujuh itu menempel padanya, Badrowi tinggal mencoba sekali lagi!

Tapi itu kian sulit. Sungguh! Sekarang ini, setiap orang siaga. Istrinya, anak-anaknya, kerabat istrinya yang bernama Bi Markonah itu, bahkan para tetangganya. Semuanya waspada. Istrinya sudah tak mengizinkannya mengendarai sepeda motor. Kuncinya sengaja disimpan rapat-rapat dan tak seorang pun yang mau memberitahu di mana kunci itu disimpan. Bagi Badrowi itu memang masuk akal dan bisa dimengerti. Jalanan di Indonesia lebih kusut daripada benang basah yang ruwet. Semahir apa pun pemakai jalan di Indonesia, sangat mudah tertimpa kecelakaan. Kalau tidak menabrak ya ditabrak....

Yang membuat Badrowi jengkel, orang-orang tidak memberinya kesempatan untuk menyendiri. Begitu Badrowi masuk ke kamar mandi, keluarganya langsung heboh. Bila dalam waktu lima menit Badrowi tidak keluar dari kamar mandi, mereka menggedor-gedor pintu. Bi Markonah mengancam akan mendobrak pintu kalau pintunya tidak segera dibuka. Semakin lama mereka seperti mata-mata!

Cih! Tahu apa mereka? Badrowi memang ingin mati. Tapi, mati di kamar mandi? Itu sungguh bukan pilihan bagi Badrowi. Kamar mandi itu tempat tinggal kecoak dan Badrowi benci sekali binatang bernama kecoak.

Badrowi menyadari bahwa kini dia mempunyai dua tantangan yaitu berusaha melepaskan diri dari intaian mata-mata, dan terus mancari cara untuk memecat nyawanya agar tak lagi menghuni raga. Badrowi memutuskan untuk menjadi lebih kreatif. Untuk itu, Badrowi memasukkan menu menonton sinetron! Banyak sekali tips dan intrik yang bisa Badrowi temukan dalam tayangan sinetron.

***
HARI masih pagi. Seperti biasa, rumah itu tampak sibuk. Anaknya yang pertama berteriak-teriak mencari kaus kaki, sebentar kemudian suaranya bungkam dan terdengar raungan GL-Pro menjauh. Terdengar suara Bi Markonah menyuruh anak kedua dan ketiganya sarapan. Istrinya, telah rapi dengan baju PNS, masuk ke kamar dan meletakkan sepiring nasi goreng di atas meja.

“Dokter Munawir akan datang menengok sampean, nanti jam 9,” kata istrinya pelan.

“Cih! Psikiater sok tahu itu? Yang menyangka aku sakit jiwa?! Yang merasa sudah mampu mengorek kebenaran dariku? Ahoi jauh panggang dari api. Uang saja yang dikejarnya!” umpat Badrowi dalam hati. Badrowi melarikan pandang keluar jendela. Badrowi enggan menatap istrinya.

“Aku berangkat dulu, ya...,” pamit istrinya sambil mencium punggung tangannya sekilas.”Jangan lupa nasi gorengnya dimakan....”

Badrowi acuh. Istrinya berlalu dan menutup pintu pelan. Begitu Supra Fit istrinya menjauhi garasi bersama celoteh riang anak kedua dan ketiga, Badrowi beringsut ke jendela. “Yah, batu itu masih di sana. Tangga itu juga masih berada di tempatnya,” batin Badrowi sambil tersenyum puas. Sejauh ini semua berjalan sesuai rencana! Badrowi akan meluncur bebas dari atas pohon dan membenturkan diri ke atas batu. Itu rencana hebat!

Badrowi melirik arloji yang tergeletak di atas meja. Pukul tujuh lima belas menit. Buru-buru Badrowi duduk di tepi tempat tidur. Diraihnya sepiring nasi goreng yang sedari tadi menghuni meja. Badrowi bersikap sebiasa mungkin. Jangan membuat curiga! Sebentar lagi, pasti Bi Minah akan membuka pintu untuk melihat keadaannya. Tidak menghabiskan sarapan, akan menjadi masalah besar. Nah, benar saja! Pintu kamar terkuak tanpa permisi. Wajah Bi Markonah yang tampak selalu sedih seperti buldog itu melongok ke dalam kamar. Sedetik. Kemudian terdengar langkahnya menjauh. Bi Markonah memang tak terlalu suka bicara pada Badrowi. Begitu juga sebaliknya. Bi Markonah menganggap Badrowi itu sinting.

Badrowi bersiul-siul. Terdengar pintu depan dibuka dan ditutup kembali. Bi Markonah akan pergi berbelanja ke pasar. Biasanya Bi Markonah pergi selama satu jam. Dan selama wanita itu pergi, Rokim, anak tetangga sebelah yang akan memata-matainya. Badrowi menyibak korden kamar untuk melihat keluar. Dari ambang jendela, Badrowi melihat Bi Markonah tengah berbicara kepada Rokim. Bi Markonah menyerahkan selembar uang ke tangan Rokim yang langsung disambut gembira. Rokim berlari riang menuju ke pintu rumah. Tuh, kan?

Terdengar pintu dibuka dari luar.

Badrowi segera menyambutnya. “Kamu sebaiknya nonton tv saja. Hari ini aku akan berbaring di kamar....” usul Badrowi sambil mengulurkan remote ke tangan Rokim.

Rokim kikuk. Dengan wajah takut-takut Rokim bertanya, “Maaf, Pak. Sebelum saya menonton televisi seperti yang Bapak suruh, bolehkah saya masuk ke kamar Bapak terlebih dahulu?”

“Untuk apa?!” bentak Badrowi tidak suka.

“Mm... mencari mainan saya, Pak. Sepertinya tertinggal di kamar Bapak kemarin...,” Rokim berkata pelan dan sedikit gemetar. Rokim takut Badrowi akan menyakitinya. Bagaimanapun, Badrowi tega menyakiti dirinya sendiri. Bukankah besar kemungkinan Badrowi juga setega itu pada orang lain?

“Baiklah. Tapi jangan lama-lama!” Badrowi bersungut-sungut. Hatinya sungguh tak senang.

Dengan takut-takut Rokim masuk ke kamar Badrowi. Rokim memeriksa tiap sudut kamar, di bawah tempat tidur, bawah meja dan almari, di bawah kasur. Semuanya. Tentu saja tidak ada mainan yang dicarinya. Rokim mencari botol, gelas kaca, pisau atau benda apa saja yang sekiranya diselundupkan Badrowi untuk melancarkan aksinya. Rokim tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Rokim tersenyum puas sambil melangkah keluar kamar.

“Lho, mana mainanmu?” bentak Badrowi.

Rokim plintat plintut. “Oh, saya baru ingat kalau mainan saya dipinjam teman....”

“Huh, dasar lidah manusia!” umpat Badrowi sambil masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.

Badrowi mengintip melalui lubang kunci. Aman. Rokim pergi ke kamar mandi. Hanya sebentar, setelah itu Rokim asyik menonton televisi. Badrowi hendak menyelinap keluar lewat jendela. Tapi...oh...Badrowi merasa ingin buang air kecil. “Ah... tak mengapa, ini kan buang air kecil yang terakhir...,” hibur Badrowi dalam hati.

Ketika Badrowi lewat, Rokim waspada. Rokim melirik jam dinding untuk memastikan Badrowi tidak terlalu lama di kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka. Badrowi segera melangkah masuk, tak disadarinya busa sabun tersebar di lantai. Badrowi terpeleset, tubuhnya kehilangan keseimbangan.

“Aaaaaahhh!!!!” Kepala Badrowi terbentur pinggiran bak. Darah mengucur. Badrowi jatuh terjerembab. Tubuhnya terlentang di lantai kamar mandi. Badrowi berusaha menggerakkan kepala, dan terlihat olehnya beberapa ekor kecoak berlari menjauh. Lantai kamar mandi memerah darah, membawa Badrowi ke rasa sakit yang menggila hingga gelap menghimpit!

***
AWALNYA, hidup Badrowi sempurna. Istrinya cantik dan sudah diangkat menjadi PNS. Istrinya seorang guru di sebuah SMP Negeri. Ketika SK turun dan mengharuskan istrinya pindah ke Kota Semarang, Badrowi rela meninggalkan pekerjaannya. Padahal saat itu posisi Badrowi di perusahaan itu sudah terbilang lumayan. Ketika itu, anak pertama mereka baru berusia tiga tahun. Di kota baru, Badrowi mencari pekerjaan. Namun, belum genap sebulan Badrowi bekerja, didapatinya sang istri menangis. “Pak, janganlah bekerja dulu. Rumah dan anak-anak telantar kalau kita berdua bekerja. Biarlah kita hidup dari gajiku dulu,” bujuk istrinya.

Badrowi amat menyayangi istrinya. Apalagi istrinya tengah mengandung anak kedua. Badrowi tak sanggup menolak keinginan sang istri. Maka, Badrowi mengalah dan tinggal di rumah. Badrowi belajar memasak, mencuci, membereskan rumah, dan mengurus anak. Ketika anak kedua lahir, Badrowi telah mahir. Segera saja, predikat Bapak Teladan melekat padanya. Para tetangga yang menjulukinya. Tapi Badrowi tahu pasti tabiat tetangganya. Di depan wajahnya orang-orang itu memuji, di belakang punggungnya, mereka menyebut Badrowi banci.

Badrowi mulai terusik. Dia merasa menjadi lelaki yang tidak sempurna. Lelaki yang bukan lelaki. Lelaki yang tak sanggup menafkahi istri. Lelaki yang seperti benalu, menggantungkan hidup dari gaji istri. Di dalam rumahnya tidak ada ibu rumah tangga, yang ada adalah dirinya, bapak rumah tangga!

Hidup Badrowi mulai limbung. Dan hidupnya hancur ketika didapatinya istrinya berubah. Cinta istrinya tak lagi utuh. Tak lama berselang, istrinya hamil lagi. Badrowi tak punya bukti, tapi Badrowi tahu kalau itu bukan benihnya. Akhirnya bayi mungil berwajah Tionghoa itu lahir. Sejak itulah, Badrowi kehilangan semangat hidup dan memvonis dirinya untuk mati!

***
BADROWI merasa tubuhnya seringan kapas. Sebentar kemudian, rasa berat seperti sebongkah batu menghimpit kakinya, terus naik ke perut dan menghimpit ulu hati. Kepalanya berdenyut hendak meledak. Napasnya panas. Sesuatu ditangkupkan menutup hidung dan mulutnya. Sejenak rasa sejuk menerpa, tapi panas gurun dalam sekejap datang kembali.

Badrowi ingin sekali membuka mata, tapi seolah ada baja yang mengganjal matanya. Bulir-bulir dingin menyusup pori-pori. Seleret cahaya putih berkelebatan.

“Dia sadar... dia sadar... lihat! Matanya sedikit terbuka...,” seorang suster tak sadar berteriak.

“Pak... Pak... ini aku! Pak... sadar....” Itu suara istri Badrowi.

“Ini kuasa Tuhan. Beliau telah empat minggu mengalami koma, tapi mampu bertahan...,” timpal Dokter yang tergopoh datang.

Di samping tempat tidur rumah sakit, istri Badrowi menangis tersedu-sedu.

Badrowi mengerjap. Pelan, air matanya mengalir. Semua yang terjadi ini, sungguh di luar rencana Badrowi. Badrowi memang ingin mati. Tapi Badrowi sama sekali ingin melakukan usaha untuk mati di kamar mandi. Badrowi memang ingin mati. Tapi, bukannya setengah mati seperti ini!

Badrowi merasa menjadi pesakitan. Hidupnya mengambang di antara hidup dan mati. Tubuh Badrowi lumpuh seluruhnya, hanya matanya saja yang bisa digerakkan. Itu pun hanya membuka, menutup dan melirik. Hidup Badrowi sepenuhnya bergantung pada peralatan medis.

“Pak... maafkan aku, Pak...,” tangis istrinya pelan.

Dulu, Badrowi hanya membisu bila istrinya berucap seperti itu. Badrowi mengunci hati. Kata maaf di penjaranya rapat-rapat di dalam amarah. Dijaganya jangan sampai keluar dari mulutnya. Kini Badrowi ingin menjawab, namun lidahnya seolah terikat. Badrowi ingin mengatakan kalau hatinya telah memaafkan! Tapi... Badrowi tak mampu bicara.

Dalam keterasingannya dari dirinya sendiri, Badrowi terpaksa mengakui bahwa kuasa Tuhan lebih berhasil daripada rencananya. Hatinya menyalahkannya kenapa dulu tak memaafkan saja ketika istrinya berkali-kali minta maaf. Dulu hatinya beku ketika istrinya berkali-kali menangis sambil bersimpuh di kakinya. Kini, keadaan menjadi terbalik. Hati Badrowi telah lunak, tetapi tubuh dan lidahnya yang kaku. Sekarang, jika nasi telah menjadi bubur seperti ini, semuanya berduka. Dan hanya setan yang tertawa terpingkal-pingkal. Menyaksikan kebodohan manusia mudah terjebak amarah dan merasa mampu menggenggam takdir.

Kun Himalaya adalah nama pena Tri Kundarni, ibu rumah tangga kelahiran Semarang, 3 Juni 1982, tinggal di Wonolopo Mijen, Semarang.
 
Baca selengkapnya →

LELAKI MASA SILAM

0 komentar

Cerpen Waspada, 24 Juni 2012 – oleh Ratna Sari Mandefa

Mungkin surat ini tak akan pernah sampai padamu. Mungkin pula tidak akan berarti apa-apa. Tapi biarlah kuungkapkan pada kelengangan di antara kita. Aku kian menyadari bahwa selama ini aku menggantungkan kebahagiaan di seutas tali yang amat rapuh.

Aku yang selama ini telah menggadaikan nafasku di bening matamu. Akhirnya harus tersungkur kehilangan arah ketika mata itu tak jua ku temui. Sebagai lelaki cacat bukan berarti tak punya kemampuan mengheningkan hati. Kau tahu dulu aku telah tidak perduli dengan kebahagiaan sentimental ini. Sampai kau datang mengguncang apa yang ku yakini, menawarkan hati, dan aku tak mampu tegak untuk tidak. Aku terlanjur menggantungkan hati dan kebahagiaanku. Cuma di hatimu, di matamu.

Cinta ketika saat ini datang, maka sesungguhnya aku telah menjemput kematian. Tidak ada yang ku sesali dari mencintaimu tapi badai datang tanpa menghitung kemampuan kakiku berdiri. Aku limbung, betapa aku masih ingin berkisah tentang rimbun daun hutan, sungai kecil, malam gelap yang gerimis. Keping-keping yang tak pernah kulepaskan dari ingatan. Cinta, aku begitu miskin dan tak nyata. Walaupun begitu aku tetap bertahan. Karena aku tahu cinta padaNya lebih baik. Karena hanya yang satu yang tahu terbaik untukku.  Tapi ini hanya kisahku, kisah yang tak lebih dari kenyataan. Kisah yang dilukis kembali lewat tulisan bukan hanya di gurat-gurat hati bertaburan.

***
Ternyata nama gadis itu Aghnia Kamila. Nama yang bagus nama yang berasal dari bahasa Arab yang artinya kekayaan yang sempurna. Semoga bukan arti nama saja. Tapi juga kaya hati.

Hari ini aku bergabung dengan Komunitas Penulis Anak Kampus yang disebut Kompak, sebuah komunitas penulis yang bertengger di Taman Budaya Jl.Perintis Kemerdekaan, Medan. Setelah dua minggu dalam rentang waktu untuk proses seleksi menjadi anggota baru. Menjadi penulis harus memupuk empati kita terhadap sesama. Menalar pada apa yang dilihat, dirasa dan yang dibaca. Kemudian menuliskannya dalam bentuk diskripsi, narasi, atau puisi.

Manifestasi dari tulisan mengajak agar terus menalar untuk merasakan sebuah keadaan yang dirasakan pengarang dan pembaca. Dikondisikan untuk menggugah hati dan merangsang pikiran yang simpati pada suatu karya.

Hari sabtu pukul 14.30 WIB aku tiba di Taman Budaya bersama sahabatku Ani. Pelataran taman yang indah, bangunan-bangunan sesuai budaya yang ada di Indonesia. Atap-atap bersimbolis sesuai ciri khas daerah. Seperti ciri khas Batak, Minang, Melayu dan lain-lain. Dan ukiran-ukiran dinding luar bangunan yang sangat bagus menurut pandanganku. Tiba-tiba sehelai daun asem Jawa jatuh di kepalaku.

“Kepalamu kotor!” kepala Ani di baluti jilbab berwarna brown.

Saat aku menepis daun yang mengotori kepala Ani. Tiba-tiba ada seorang wanita ingin mengendarai sepeda motornya, seperti mau pulang. Dengan langkah seribu aku dan Ani langsung menghampirinya.

“Maaf kak, Sekret Kompak di sebelah mana ya kak? “ tanya Ani.

“Lurus, belok kiri paling ujung dek.”

“Terima kasih kak.” Dengan serempak kami menjawab.

Sambil menunggu pengurus Kompak, aku dan Ani duduk di depan sanggar tari. Setelah sekian lama duduk berdiri, menerima telepon dari kawan, melihat suasana taman yang lumayan banyak penghuni atau pengunjungnya. Memang, jadwal yang ditentukan pukul 15.00 WIB. Aku dan Ani saja yang kecepatan. Karena kami takut terlambat ketinggalan informasi, dan kemungkinan besar semangat kami yang ingin masuk komunitas penulis bahkan nggak sabar menerima hasil kelulusan anggota baru.

Tiba-tiba ada di sampingku seorang gadis seperti setangkai bunga Lilium Albanikum, bunga bakum yang sedang mekar dan postur tubuhnya yang kontras dengan raut wajahnya yang manis. Terlihat cerah. Gadis yang mengenakan jilbab ungu kemeja garis-garis ungu, rok hitam.

“Anggota baru Kompak juga ya?”

“Iya mbak.”

Begitulah pertama kali aku menyapanya. Yang sebelumnya aku dan Ani hanya diam seperti orang bodoh. Sebenarnya, pendiam bukanlah tipeku. Akupun mengajaknya bercerita tantang mahkluk sosial yang ada di muka bumi ini yaitu sama di mata Tuhan. Aku orang yang terbuka dan sangat netral. Apalagi aku dan gadis manis ini masih asing di Taman Budaya.

“Suka warna ungu ya? ungu itu kan warna janda,” kata Ani.

Si gadis menjawab, “Suka. Banyak orang mengatakan ungu warna janda. Kenyataannya tidak. Ungu adalah warna yang bermakna kemenangan.” Senyum terlihat di bibirnya ketika menjawab pertanyaan Ani.

Dengan komunikasi yang baik aku akan mendapatkan informasi juga cerita yang memang dibutuhkan. Saling tanya menanya, cerita panjang lebar di antara aku dan si gadis manis. Bahkan aku dan dia sudah saling mengetahui nama. Ternyata dia berasal dari Mandailing. Sama denganku.

Perbincangan ini, mengingatkanku pada masa silam, tentang perjalanan 17 tahun yang mendayung sampan kehidupan dan hampir retak di tengah-tengah lautan kemiskinan. Menempuh perjuangan hidup sebagai penuntut ilmu di pesantren Musthafawiyah. Ada seorang yang sekian lama tertanam dalam ingatanku setelah enam tahun terpisah. Namanya Kholis Alfarisi. Adalah lelaki sindrom bawaan lahir. Sehingga tubuhnya menginjak dewasa masih seperti anak SD. Itulah suatu keajaiban yang diberikan Tuhan kepadanya. Dia sangat dikenal banyak orang. Apalagi kecerdasannya ibarat mata air yang mengalirkan air terus menerus tanpa henti.

Dia cacat, tapi dia tidak cacat hati tidak pula cacat pikiran. Penggemar dia banyak termasuk aku. Dia memang lelaki ada kekurangan tapi ada kelebihan. Aku mengenalnya ketika dia juara I pidato bahasa Arab dan Inggris yang diadakan di lapangan depan sekolah. Kadang aku ingin seperti dia, menjadi orang yang luar biasa. Akan tetapi setelah kurenungi, bahwa dalam kehidupan ini ada batas-batas untuk setiap yang dimiliki. Namun, ini bukan batas yang menghentikan langkah melainkan batas untuk memaknai arti hidup ini sehingga gerak-gerik langkah menjadi ringan.

Aku dengan Kholis tidak begitu kenal hanya dari pandangan jauh. Dan waktu yang bergulir cepat telah memberikan pelajaran sangat berharga bagiku. Walaupun sesaat itu dahulu aku melihatnya. Yaitu keberanian, semangatnya dalam memecah karang menyelami lautan menelusuri semenanjung dengan gemuruh ombak dan kembali lagi ke dermaga untuk berlabuh. Dan dia tak putus asa selalu berjuang seperti laba-laba yang terus berjuang membuat jaring. Walaupun diusik atau digusur manusia. Di putaran waktu cepat inilah aku tahu kalau untuk mendapatkan sesuatu harus rela menempuh resiko.

“Jadi dia abangmu?”

“Iya. Saudara sulung.”

Inilah saat dimana suatu hal yang tak disangka-sangka menjadi benar nyata. Si gadis manis adalah adik Kholis Alfarisi. Dan si gadis manis inilah Aghnia Kamila.

“Maka, tak ada sesuatu yang tak mungkin di muka bumi ini, kalau Allah menghendakinya.”
 
Baca selengkapnya →

HIKAYAT DALAM SAKU CELANA

0 komentar

Cerpen Sumatera Ekspres, 24 Juni 2012 – oleh Mashdar Zainal

PERTAMA kalinya, secara tak sengaja, ketika aku hendak mencuci celana kotormu, aku menemukan sebuah koin berkerak di saku celanamu. Untuk sebuah koin karatan seperti itu, tentu saja aku tak perlu meminta izinmu untuk mengalihkan hak kepemilikannya. Itu hanya koin yang mungkin hendak kau berikan pada pengemis lalu kau lupa (atau barangkali, malah kau yang mengemis koin itu dari seseorang?). Maka kualihkan saja tempat koin itu, dari saku celanamu ke saku dasterku. Lumayan, buat kerokan.

Pada kesempatan berikutnya—waktu itu aku memang sengaja meraba-raba—sebelum aku merendam celanamu dengan air sabun, dan di sana, di saku celanamu, aku temukan lagi, kali ini selembar puisi. Awalnya, aku mengira bahwa benda itu adalah selembar uang kertas yang terlupa, eh, ternyata selembar puisi. Tiba-tiba pikiranku melayang. Menebak-nebak sesuatu yang mungkin ada hubungannya dengan selembar puisi cinta itu.

“Kau bisa menjelaskan ini!?” Kataku ketus, sambil melemparkan selembar puisi itu ke arahmu. Kau hanya terkekeh.

“Cemburu?” kau malah menggoda.

Aku melengos.

Kau buru-buru mengejarku, “Itu puisi, kutulis sendiri, kukarang sendiri. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk istriku tercinta.”

“Kau pikir aku tak hapal tulisanmu?”

“Mau dicek? Itu benar-benar tulisanku.”

Aku mulai jinak. Tapi aku tidak percaya begitu saja, “memangnya sejak kapan kau bisa bikin puisi?”

“Bikin!!! Puisi itu diciptakan, pake hati, bukan dibikin. Bikin!!! Kue kali.”

Aku meneruskan cucianku. Berjibaku dengan busa dan rasa gatal di sela jemari kakiku. Kau berdiri dan bersandar pada kusen pintu kamar mandi. Kau mengawasiku. Aku yakin sekali. Kalau sudah berdiri di situ. Ceritamu akan berkembang biak sampai kemana-mana.

“Begini lho…” kau mulai menjelaskan, “tak pikir gak ada salahnya memanfaatkan waktu luang. Seharian tadi angkotku sepi penumpang. Mungkin karena hujan. Nah, dari pada bengong aku nulis puisi saja. Tak pikir-pikir, menikah denganmu selama hampir empat tahun, dan belum juga dikaruniai momongan, belum pernah aku menggombalimu dengan puisi.”

“Apa pula kau singgung tentang momongan. Lagian siapa yang mau makan puisi.”

“Puisi itu buat hiburan bukan buat dimakan. Baca saja! Pasti kau suka.”

Aku diam saja.

“Baik, baik. Aku saja yang bacakan. Simak ya!”

***
Beberapa kali, ketika mencuci pakaian kotormu, termasuk celana. Aku sengaja tidak menyentuh sakunya. Aku merasakan sesuatu yang begitu nyaman. Seperti sedang berbaring dalam pelukanmu. Aku seperti terbius. Kau mendekapku sayang. Lalu cerita-cerita seperti menghambur dari mulutmu.

Kau tahu, bayak sekali cerita kurekam dari terminal, beberapa hari lalu aku menjumpai sepasang suami istri yang sudah renta, yang kedua-duanya cacat. Sang istri lumpuh, dan sang suami buta. Seperti cerita-cerita lawas yang acap kita dengar, ya? Tentang dua orang sahabat, yang satu lumpuh dan yang satu buta. Tapi ini lain, ini nyata, dan mereka suami istri. Kau tahu, mereka begitu mesra. Untuk terus hidup, mereka berjibaku saling melengkapi kekurangan mereka. Sang istri yang lumpuh sebagai mata, dan sang suami yang buta menjadi kaki.

Mereka berjalan menyusuri trotoar-trotoar, mengitari bus-bus kota yang tengah berhenti. Sang istri nembang, dan sang suami membawa erat-erat mangkuk kecil yang di dalamnya dialasi sobekan koran. Mereka terus berjalan dan nembang, hingga receh mereka penuh. Setelah dirasa cukup, mereka selalu beristirahat di bawah pohon cerry, di sudut terminal, di dekat gerobak sampah. Mereka menghitung receh satu persatu dengan aura yang masih sama mesranya. Setelah usai menghitung hasil kerjanya, mereka seperti bersujud. Sang isteri mengusap peluh di kening suami, dengan kebaya lusuhnya yang kebesaran. Sang Suami tampak tersenyum. Dan, entah mengapa, tiba-tiba aku iri pada mereka.

***
Aku tersadar tiba-tiba. Dan kamar masih sepi. Cuma ada aku, seorang diri. Aku masih bergidik dengan cerita yang baru saja masuk ke kepalaku. Dan entah kenapa, tiba-tiba aku sangat merindukanmu. Aku cemas menunggumu pulang. Aku melirik jam dinding. Seperempat jam lagi kau datang. Masih cukup waktu untuk menyiapkan makan siang.

***
Celana demi celana(mu) telah kujelajahi. Cerita demi cerita telah masuk ke benakku seperti mimpi. Kini tak ada lagi uang receh kesasar dalam saku celanamu, tak pula cincin berkerak, apalagi selembar puisi. Semenjak cerita-cerita itu mengisi kepalaku, yang kudapat dari saku celanamu hanya satu hal: rasa nyaman. Nyaman bisa melayanimu sepenuh hati. Mencucikan pakaianmu, khususnya celana. Memasak masakan yang kau sukai.

Kau mau mendengar sebuah cerita lagi? Ini juga kisah tentang sepasang suami istri. Kisah yang sederhana. Suami istri ini hidup sederhana, tak pernah ada yang berlimpah dalam hidup mereka kecuali kelakar dan cinta. Sang suami pekerjaannya cuma sopir angkot. Seperti pekerjaanku, ya? Dan sang istri, cukup bekerja di rumah, menunggu suami. Meski mereka hidup sederhana, tetapi hidup mereka penuh dengan kejutan-kejutan. Sang suami, selalu memberi kejutan pada istrinya. Bukan uang atau perhiasan, tapi sesuatu yang ia taruh dengan sengaja dalam saku celananya.

Aku terperanjat ketika mendengar suara pintu depan diketuk-ketuk. Aku ling-lung, masih mendekap celanamu. Aku berdiri. Bergegas membuka pintu. Kau tampak tersenyum-senyum ketika melihatku.

“Kenapa celanaku kau bawa-bawa?” katamu mengejek.

Aku gelagapan tak tahu harus menjawab apa. Tapi, tiba-tiba kepalaku terasa pening. Perutku terasa mual.

“Kamu kenapa?” tanyamu khawatir.

“Nggak tahu, tiba-tiba kepalaku pening. Mau muntah.”

“Istirahat saja…” kau menuntunku ke dalam. Aku sempat muntah beberapa kali. Tapi anehnya, kau tampak senang melihatku gelagapan. Wajahmu tampak sumringah.

Aku merebahkan diri. Celanamu masih utuh dalam dekapanku. Sambil berbaring, aku bertanya-tanya, kenapa kau malah senang melihatku menderita, muntah-muntah? Apa ada kejutan baru? Aku kembali merogoh saku celanamu dan kudekap erat-erat.

Cerita demi cerita telah ia titipkan dalam saku celananya. Hingga ketika ia kehabisan bahan cerita, ia berinisiatif menceritakan kembali kisah mereka sendiri. Dalam kehidupan nyata, suami istri itu belum juga dikaruniai seorang putra, meski hampir empat tahun mereka berkeluarga. Tapi, dalam cerita yang sudah ia masukkan ke dalam saku celananya, cerita itu ia ubah. Tepat di usia empat tahun pernikahan mereka. Istrinya mengandung anak pertama.(*)
 
Baca selengkapnya →