Minggu, 24 Juni 2012

HIKAYAT DARMAJI

0 komentar

Cerpen Inilah Koran, 3 Juni 2012 – oleh Ismail Kusmayadi

SETIAP menjelang senja, Darmaji duduk berselonjor di atas bale-bale depan rumah kayunya. Darmaji menatap matahari yang perlahan ditelan garis bumi dan mulutnya mulai meracau.

Darmaji menyemburkan kata-kata yang terlihat bagaikan pancaran warna gemerlapan di tengah kegelapan. Darmaji terus meracau menyemangati malam yang suntuk dan dingin. Angin menyelinap di balik papan rumah yang mulai renta dimakan usia. Rumah yang dulu begitu ceria oleh kebahagiaan sebuah keluarga, sekarang tinggal cerita. Hampa dan kosong. Sehampa dan sekosong hati Darmaji.

Itulah kisah hidup Darmaji setelah sembilan puluh tahun menggelandang di muka bumi ini. Lembar-lembar cahaya yang menyelimuti tubuhnya mulai rontok sejak dia berpaling dari Tuhan. Dia mulai menegak minuman keras pada usia 40 tahun. Usia yang seharusnya semakin ingat bahwa dirinya semakin senja.

Begini kira-kira ceritanya: Darmaji di kampungnya dulu pernah bergelar haji. Dia satu-satunya warga kampung yang beruntung dapat menunaikan ibadah haji. Sebagai pejabat pemerintah yang rajin ibadah, sangatlah layak dia diberi penghargaan untuk dapat menunaikan ibadah haji.

Bersama istri tercintanya, di usia 32 tahun, dia menunaikan ibadah haji. Saat itu dua anaknya sudah mulai tumbuh dewasa. Mereka tumbuh dalam bimbingan yang harmonis. Namun, keadaan yang tenang dan harmonis itu tidak dapat berlangsung lama. Satu persatu, istri dan dua orang anaknya itu, memilih meninggalkan Darmaji. Terutama setelah Darmaji mulai meninggalkan mereka.

Sifat Darmaji berubah seratus delapan puluh derajat. Dia menjadi pemarah dan serakah. Istri dan kedua anaknya sudah tak dia pedulikan
lagi. Darmaji asyik sendiri dengan kehidupannya, dan sekarang tak layak lagi menyandang gelar haji. Tak pantas lagi baginya. Kedatangannya ke tanah suci jadi sia-sia belaka. Orang-orang pun mulai curiga, jangan-jangan berangkat ke tanah suci itu tidak dengan niat ikhlas. Atau jangan-jangan menggunakan uang haram.

Awal dari kehancuran Darmaji itu dimulai sejak pertemuannya dengan seorang janda. Tiba-tiba saja Darmaji tergoda seorang janda yang cukuplah molek dan agak centil kelakuannya itu. Ratu, nama janda itu. Sangatlah cocok perempuan itu bernama Ratu, karena dia memang seorang ratu penakluk yang mampu meluluhkan hati para lelaki, termasuk Darmaji.

Entah berapa susuk yang dia pasang di antara dua sisi mukanya, belahan dagunya, dan ujung hidungnya. Sebab, setiap lelaki yang meliriknya pastilah jatuh hati. Karena susuk pulalah mungkin janda itu ditumpangi ribuan setan, genderewo, dedemit, kalong wewe, dan sejenisnya sehingga mampu merontokkan keteguhan dan keimanan yang telah dibangun Darmaji selama puluhan tahun.

Darmaji segera saja menjadi lupa ayat-ayat suci yang selama ini dilantunkan di surau miliknya. Dia menjadi lupa tata cara salat dan kikuk ketika harus menjadi imam. Dia cepat lapar kalau sekali saja berniat puasa. Tubuhnya telah lacur dan terbelah-belah. Tangannya menggenggam harta dan kesenangan birahi yang merasuk tiada henti. Kakinya kaku kalau ke masjid dan bergerak cepat kalau ke diskotik. Dan mulailah dia menegak minuman keras tepat pada usianya yang menginjak 40 tahun.

Mulailah orang-orang bersikap nyinyir. Tidak ada lagi gelar haji pada sebutan namanya. Para tetangganya cukup puas dengan menyebutnya si Darmaji. Orang-orang mulai mencibir, memenjarakan Darmaji dari kehidupan sosial. Tapi apa yang dirasakan Darmaji tidak seperti itu. Dia merasa senang kalau orang-orang membencinya. Dia bahagia jika semua orang tak mau lagi mendekatinya. Ini berarti Darmaji tidak akan pernah terganggu lagi oleh ocehan orang-orang tentang dirinya. Cukup hidup berdua saja dengan Ratu yang telah memberi kesenangan lahir dan batin. Darmaji akan menghabiskan semua sisa hidupnya untuk kesenangan ini.

“Bagaimana pun juga, hidup jangan disia-siakan. Hidup hanya sekali ini saja,” katanya sambil menegak minuman di rumah janda molek itu.

“Ha… ha… selama kau di sini akan kulayani terus sampai titik darah penghabisan,” tawa Darmaji bercampur dengan kepulan asap rokok yang meliuk-meliuk ditimpa cahaya remang-remang.

Mulai dari sini kepala Darmaji seakan terbelah. Otak kirinya merangkak
di antara tong-tong sampah, mengais-ngais sisa harta yang mungkin masih ada. Jika tidak ditemukan, dia akan merangkak menuju pelataran
kantor pemerintahan, menaiki tangga jabatan dan menangkup uang yang berserakan di atas kasur dengan sprei merah darah. Kesenangan tubuh Darmaji bagian ini melebihi apa pun di dunia ini.

Suatu kali, otak kiri Darmaji yang sedang serakah mengumpulkan uang kepergok petugas keamanan. Dia dituding telah menggelapkan uang negara. Pentungan petugas keamanan itu hampir saja menusuk dan memburaikan jalinan saraf di otaknya. Namun, dengan tenang Darmaji berkata, “Hai sobat. Apakah di rumahmu baik-baik saja? Apakah si Pulan anakmu itu sudah bayar uang SPP sekolahnya? Bagaimana dengan keinginan istri dan anakmu selama ini, sudah tercukupi?”

Si petugas keamanan terdiam bagai batu. Hening sejenak. Udara menjadi basah karena cucuran keringat petugas petugas keamanan itu. Tubuhnya pun mulai retak. Terus, terus, … dan terus retakan itu semakin panjang menjalar dan akhirnya terbelah. Tangan kirinya terus
memaksa mengambil uang yang disodorkan Darmaji, sedangkan tangan kanannya meronta-ronta mencari pegangan untuk menahan bobotnya yang makin berat.

Akhirnya, petugas keamanan itu pun berjalan tertatih-tatih dengan sebelah kaki, sebelah tangan, dan sebelah kepala menuju rumah, sedangkan bagian lain mengekalkan diri sebagai pengikut Darmaji yang setia, yang siap saling melindungi. Sampai detik ini, amanlah persoalan yang dihadapi otak Darmaji.

Pada bagian lain, di antara hiruk pikuk orang yang sedang mencari keadilan, otak kanan Darmaji menyelinap. Dia menggeliat menebarkan racun yang membuat mereka lebih garang dan kalap. Mereka tiba-tiba menjadi brutal dan anarkis. Mereka menerjang barisan pagar betis dan memporak-porandakan gedung rakyat. Terjangan peluru dari segala penjuru tak mematahkan kekalapan yang dibiuskan otak Darmaji. Melihat semua itu, otak Darmaji beringsut pergi menuju tempat yang lebih tinggi untuk menyaksikan pemandangan ngeri yang mengharukan dirinya itu.

Dari atas sebuah tugu pahlawan, Darmaji terkekeh-kekeh melihat mayat yang bergelimpangan. Penyesalan mereka yang brutal tiada berguna. Akhirnya tubuh para pencari keadilan itu menjadi retak dan terbelah. Bagian yang satu sujud meminta ampun kepada Tuhan, sedang bagian lainnya terjerumus amarah yang tak terkendali. Mereka pun menjadi manusia yang cacat dan jauh dari sempurna. Mereka menggantungkan hidup pada bagian tubuh yang makin hari makin terbelah-belah.

“Bang, kapan kita nikah,” bau alkohol menyeruak dari bibir Ratu.

“Tenang saja. Lagi pula kita tak perlu menikah kan? Kamu senang kan dengan keadaan begini, nikmati saja lah haha …. Lucu juga kedengarannya kalau kamu minta dinikahi,” kata Darmaji sambil meraih
gelas berisi minuman.

“Ya, saya kan butuh status yang jelas juga, Bang.” rengek Ratu.

“Status? Haha … Bukankah status kamu sudah jelas? Hubungan Abang dengan kamu sangat jelas, kan? Sangat kamu sadari, kan? Abang sudah bertaruh banyak demi Ratu, termasuk meninggalkan keluarga Abang sendiri. Sudah nggak usah ngomong status-statusan segala.”

Malam makin larut. Darmaji pun makin larut dalam dekapan Ratu.

***
Sebagai manusia yang hidup menggelandang di muka bumi ini, Darmaji harus menerima sebuah kenyataan pahit. Dia lupa bahwa dunia ini berputar. Tubuhnya yang sudah terbelah-belah tak lagi dapat dipersatukan. Kesenangan yang selama ini dinikmati oleh setiap aliran darahnya menjadi sebuah kegetiran. Sang janda sudah lama meninggalkannya setelah Darmaji melarat dan keriput. Rambutnya memutih lebih cepat dan tubuhnya tak lagi sekuat dulu.

Seperti halnya sebatang pohon, mula-mula hijau menyegarkan, tapi lambat laun mulai kecokelatan dan meranggas kering. Darmaji pun merindukan kembali keluarganya yang sekarang entah di mana. Dia merindukan kembali kampong halamannya yang sekarang sudah tak lagi mau merimanya. Jadilah dia sebatang kara dalam masa tua.

Mulutnya kembali meracau diiringi tatapan yang kosong. Senja yang ditunggunya tak juga mau akan menjemputnya. Darmaji akan meracau semakin hebat lagi ketika malam tiba. Dia memanggil-manggil senja yang tak kunjung membawanya pergi.

Apalah artinya hidup sampai setua ini kalau akhirnya Darmaji harus sendiri. Kakinya yang sudah kaku tak lagi bisa membawanya pergi ke surau. Tangannya yang lumpuh tak bisa lagi menghitung biji tasbih saat dzikir. Hatinya yang segelap darah beku tak mampu lagi menerima cahaya ayat-ayat suci yang kadang terdengar dari racauannya yang semakin kacau. Matanya buram dan lidahnya kelu. Darmaji tak ubahnya seonggok daging di tengah padang rumput yang terik. Sewaktu-waktu dapat menarik perhatian burung-burung bangkai yang siap melahapnya.

Sudah hampir dua purnama, senja itu belum juga mau menjemputnya. Itulah yang membuatnya semakin menderita, sebab apa yang diinginkannya sekarang ini hanyalah mati! (*)

Kota Kelahiran,
2005/2012
 

Leave a Reply