Minggu, 24 Juni 2012

KESETIAAN MENGGILA

0 komentar

Cerpen Sumatera Ekspres, 3 Juni 2012 – oleh Otang K Baddy

SEORANG temanku -- yang mungkin telah lama menggila, menyebutku seorang bangkai manusia yang bergentayangan. Tiada jalan lain, untuk mengembalikan sejatinya hidup agar aku menjadi gila atau paling tidak sesekali menjadi orang gila. Harus berani jalan-jalan di sembarang tempat, misalnya di pasar-pasar, tempat perbelanjaan, kantor-kantor intansi pemerintahan, dll, termasuk kalau memungkinkan di tempat peribadatan.

“Untuk memulai itu kau harus pertama kali berkencan atau konsultasi dulu dengan orang gila,” lanjut teman gila itu, “Jika mengaku lelaki normal, kencanilah wanita yang sudah gila. Jangan cari jauh-jauh, dekatilah wanita yang kerap berada di jembatan itu sepuasmu,” ujarnya sebelum kepergiaannya menjalani hidup menjadi orang gila.

Wah, barangkali omongan itu sebagai upaya mencari pertemanan agar dia tak sendiri. Aku pikir, barangkali agar komunitas orang gila semakin meningkat, begitu? Entahlah, malam memang mulai meremang di mataku. Angin berkesiut dari utara, rasa gigil mulai terasa menyungkup.

Kulihat di tangan wanita itu sebuah telpon seluler tengah diutak-atik. Entah sms-an, chatingan, facebookkan atau internetan. Juga, entah telpon seluler beneran atau bohongan, entah pura-pura sms-an, chating-chatingan, facebook atau apa-apaan. Namun sinar dari benda kecil persegi itu menyiratkan lampu dan menerpa wajahnya yang tampak digasak kegelisahan.

“Selamat malam..,” sapaku kembali seperti gila.

“Ada yang Anda tunggu?” lagi-lagi aku menyapa seperti gila. Mungkin itu sapaan yang asal nerocos. Sebab, kenapa aku tidak bertanya siapa namanya, atau apa yang dilakukannya malam-malam begini.

“Engkau sedang menunggu seseorang?” aku mengulangi bertanya, sambil memperbaiki kalimat asal nerocos tadi. Nah, kali ini ia menoleh kepadaku dan melempar senyuman. Kulihat gincu, bedak, alis mata, tahi lalat menghias wajahnya.

“Saya sedang menunggu suami saya,” katanya.

“Suami?” aku berkerenyit.

“Ya, suami saya sedang membeli rokok. Saya disuruh menunggunya di sini sampai suami saya datang kembali..”

“Oh, kapan itu?”

“Duapuluh tahun yang lalu.”

Aku terbelalak. Aku terbelalak mungkin bukan suatu mendengar ketidakmungkinan. Aku terbelalak, karena jangan-jangan dia tengah meledek aku dan sesungguhnya ia tidak tengah menunggu suaminya. Aku terbelalak, karena mungkin ia menganggap siapa pun lelaki yang mendekatinya adalah suaminya. Aku terbelalak karena tidak ada reaksi lain selain terbelalak.

Ini sungguh aneh. Tapi benarkah itu?

Lalu, tentang duapuluh tahun itu?

Rentang waktu yang amat panjang. Waktu kelahiran seseorang yang bisa menjadi dewasa. Duapuluh tahun, merupakan satu generasi. Selama itu, tentu banyak peristiwa menarik sudah terjadi. Nasib pun bisa berubah dua atau tiga kali dalam waktu selama itu. Aneh. Sungguh aneh. Aku tak menemukan perubahan yang berarti pada wanita itu.

Lalu, aku jadi teringat sebuah cerpen karya anak bangsa, dimana di dalamnya menceritakan seorang wanita berdiri dekat tiang listrik. Ia tengah menunggu lelakinya selama sepuluh tahun yang tengah mencari rokok. Cerita itu -- setelah konfirmasi pertemanan dengan penulisnya di facebook, terinspirasi dari bukunya Iwan Simatupang. Dalam buku itu, katanya, ada cerita yang hampir sama. Yakni seorang wanita ditinggal suaminya yang tengah membeli rokok, dan istrinya disuruh menunggu di pojok jalan. Dan sejak itu istrinya tak melihat suaminya lagi.

Ya, menunggu puluhan tahun. Menunggu seorang yang tengah membeli rokok? Persis apa yang tengah terjadi pada wanita itu. Bahkan yang ini lebih gila, duapuluh tahun. Apakah ini suatu perwujudan dari sebuah karya pujangga dan jatuh pada sebagai pelakonnya?

“Waktu duapuluh tahun itu sangat lama, bukan?” Aku pikir, aku bertanya bodoh. Wanita itu masih menunjukkan ekspresi menunggu. “Duapuluh tahun, bukan main-main. Bisa beranak-mantu dan bercucu bagi seseorang. Bisa pula seseorang menjadi ompong dan ubanan. Ya, ini bukan main-main.”

“Tapi aku akan tetap menunggu.”

“Ah, kesetiaankah namanya?”

Barangkali kekuatan yang dipunyai oleh wanita dalam keadaan seperti itu adalah kesetiaan. Kesetiaan yang gila tentunya. Tapi, aneh rasanya, aku bisa menemukan kesetiaan semacam itu di tengah zaman yang pelan-pelan sudah tidak mempercayai lagi kesetiaan?

“Suamimu belum juga datang?”

“Belum,” katanya tenang. Lalu disedotnya rokok itu dalam-dalam. Aku memang belum melihat seseorang yang datang, kecuali diriku.

“Tentu, Anda sudah mengalami banyak peristiwa selama menunggu kedatangan suami?”

“Tentu. Tentu. Banyak sekali. Aku banyak melihat kepalsuan-kepalsuan. Topeng-topeng. Bangkai-bangkai manusia berkeliaran, di sembarang tempat, tak terkecuali di tempat peribadatan. Terutama dalam tata pergaulan masyarakat modern. Barangkali, aku juga sudah tak percaya lagi bahwa suamiku akan datang, ketika ia berkata duapuluh tahun yang lalu.”

“Jadi apa arti duapuluh tahun bagimu?”

“Perubahan, kepalsuan, topeng, kepura-puraan. Itu hanya kita bisa melihatnya dengan kesetiaan. Dalam pada itu, jangan payah dan goyah dengan tanggapan. Sebab, untuk mencapai semuanya kita harus melakukannya dengan gila.”

“Wah, hebat sekali wanita itu aku pikir. Aku pun diam beberapa jurus untuk merenungi peristiwa itu. “Kalau begitu, sebentar, tunggu di sini,”
kataku kemudian.

“Tunggu sebentar di sini, aku akan kembali setelah membeli rokok,” dan aku melangkah mencari penjual rokok di ujung jembatan.

Barangkali, aku hanya ingin pergi saja. Dan wanita itu tetap saja berdiri di pinggir jembatan.

Tapi aku tiba-tiba dilanda perasaan aneh untuk datang kembali pada wanita yang kubiarkan menunggu di sana. Atau, aku akan datang lagi duapuluh tahun kemudian? Entahlah.

Entahlah, perasaan aneh itu seakan berkata; tunggu sebentar aku akan membeli rokok. Mungkin, banyak lelaki belajar dari kalimat itu untuk meninggalkan kesetiaan? Entahlah, aku akan benar-benar kembali berkencan melanjutkan percakapan.

Kini di mulutku sebatang rokok baru dinyalakan. Asap pertama mengepul.

“Siapakah wanita itu?” tanyaku pada penjual rokok.

“Itu.., wanita yang berdiri menyandar di tiang jembatan?” tunjukku.

“Dia selalu kulihat di sana. Katanya sedang menunggu suaminya yang membeli rokok.”

Dan benarkah aku akan kembali setelah berkali-kali mengepulkan asap rokok?

Malam berjalan pelan. Sebentar lagi pagi datang. Kemudian siang, lalu sore, malam lagi. Apakah wanita itu akan tetap setia menunggu suaminya yang tengah membeli rokok? Akankah ketahuan kepura-puraanku, sebagai manusia bangkai dari kacamata kesetiaannya seperti apa yang pernah diceritakannya? Untuk menjawabnya, barangkali aku harus menjadi orang gila dulu seperti apa yang telah disarankan teman gilaku. (*)
 

Leave a Reply