Sabtu, 30 Juni 2012

BUNUH DIRI

0 komentar

Cerpen Suara Merdeka, 24 Juni 2012 – oleh Kun Himalaya

Badrowi hendak bunuh diri. Sudah berkali-kali dicobanya. Sekali, hendak diputusnya kontrak kehidupan pada seutas tali. Sayangnya, dahan yang disangkanya liat tak kuasa menahan tubuhnya. Dahan itu patah menjadi dua. Lain waktu Badrowi meminum baygon. Ketika cairan mematikan itu telah mulus melewati kerongkongannya, istrinya memergoki. Istrinya histeris dan berteriak-teriak macam orang gila. Sambil menangis istrinya menelepon Rumah Sakit. Tak berapa lama, raungan ambulans membelah malam. Supir ambulans yang gila kecepatan, berusaha mengejar nyawa Badrowi yang sudah sampai di leher.

Sayang seribu sayang, Dokter terbaik di Rumah Sakit itu belum pulang meski malam telah larut. Dokter yang berdedikasi itu sekuat tenaga bernegosiasi dengan Malaikat Izrail memperebutkan nyawa Badrowi. Dokter itu berhasil. Badrowi muntah-muntah. Semua cairan mematikan itu keluar sudah.

Badrowi harus menerima kenyataan bahwa usahanya belum membuahkan hasil. Badrowi mulai percaya nyawanya rangkap tujuh layaknya kucing. Nahasnya, Badrowi jeri melihat darah yang mengucur. Apalagi bila darah itu keluar dari tubuhnya. Badrowi takut. Maka, tak heran, usaha yang melibatkan benda tajam yang nyata bisa membuat darahnya mengucur, amat sangat dihindari oleh Badrowi.

Akhir-akhir ini Badrowi sibuk. Menonton berita kriminal di televisi dan membaca koran menjadi jadwal rutin. Bukankah selalu ada berita tentang kehidupan yang berakhir di tayangan televisi dan lembar koran? Badrowi butuh inspirasi. Badrowi menghitung dalam hati: berapa kali sudah dicobanya usaha ini? Badrowi menentramkan hati dan tidak berputus asa. Setidaknya, jika benar keajaiban nyawa rangkap tujuh itu menempel padanya, Badrowi tinggal mencoba sekali lagi!

Tapi itu kian sulit. Sungguh! Sekarang ini, setiap orang siaga. Istrinya, anak-anaknya, kerabat istrinya yang bernama Bi Markonah itu, bahkan para tetangganya. Semuanya waspada. Istrinya sudah tak mengizinkannya mengendarai sepeda motor. Kuncinya sengaja disimpan rapat-rapat dan tak seorang pun yang mau memberitahu di mana kunci itu disimpan. Bagi Badrowi itu memang masuk akal dan bisa dimengerti. Jalanan di Indonesia lebih kusut daripada benang basah yang ruwet. Semahir apa pun pemakai jalan di Indonesia, sangat mudah tertimpa kecelakaan. Kalau tidak menabrak ya ditabrak....

Yang membuat Badrowi jengkel, orang-orang tidak memberinya kesempatan untuk menyendiri. Begitu Badrowi masuk ke kamar mandi, keluarganya langsung heboh. Bila dalam waktu lima menit Badrowi tidak keluar dari kamar mandi, mereka menggedor-gedor pintu. Bi Markonah mengancam akan mendobrak pintu kalau pintunya tidak segera dibuka. Semakin lama mereka seperti mata-mata!

Cih! Tahu apa mereka? Badrowi memang ingin mati. Tapi, mati di kamar mandi? Itu sungguh bukan pilihan bagi Badrowi. Kamar mandi itu tempat tinggal kecoak dan Badrowi benci sekali binatang bernama kecoak.

Badrowi menyadari bahwa kini dia mempunyai dua tantangan yaitu berusaha melepaskan diri dari intaian mata-mata, dan terus mancari cara untuk memecat nyawanya agar tak lagi menghuni raga. Badrowi memutuskan untuk menjadi lebih kreatif. Untuk itu, Badrowi memasukkan menu menonton sinetron! Banyak sekali tips dan intrik yang bisa Badrowi temukan dalam tayangan sinetron.

***
HARI masih pagi. Seperti biasa, rumah itu tampak sibuk. Anaknya yang pertama berteriak-teriak mencari kaus kaki, sebentar kemudian suaranya bungkam dan terdengar raungan GL-Pro menjauh. Terdengar suara Bi Markonah menyuruh anak kedua dan ketiganya sarapan. Istrinya, telah rapi dengan baju PNS, masuk ke kamar dan meletakkan sepiring nasi goreng di atas meja.

“Dokter Munawir akan datang menengok sampean, nanti jam 9,” kata istrinya pelan.

“Cih! Psikiater sok tahu itu? Yang menyangka aku sakit jiwa?! Yang merasa sudah mampu mengorek kebenaran dariku? Ahoi jauh panggang dari api. Uang saja yang dikejarnya!” umpat Badrowi dalam hati. Badrowi melarikan pandang keluar jendela. Badrowi enggan menatap istrinya.

“Aku berangkat dulu, ya...,” pamit istrinya sambil mencium punggung tangannya sekilas.”Jangan lupa nasi gorengnya dimakan....”

Badrowi acuh. Istrinya berlalu dan menutup pintu pelan. Begitu Supra Fit istrinya menjauhi garasi bersama celoteh riang anak kedua dan ketiga, Badrowi beringsut ke jendela. “Yah, batu itu masih di sana. Tangga itu juga masih berada di tempatnya,” batin Badrowi sambil tersenyum puas. Sejauh ini semua berjalan sesuai rencana! Badrowi akan meluncur bebas dari atas pohon dan membenturkan diri ke atas batu. Itu rencana hebat!

Badrowi melirik arloji yang tergeletak di atas meja. Pukul tujuh lima belas menit. Buru-buru Badrowi duduk di tepi tempat tidur. Diraihnya sepiring nasi goreng yang sedari tadi menghuni meja. Badrowi bersikap sebiasa mungkin. Jangan membuat curiga! Sebentar lagi, pasti Bi Minah akan membuka pintu untuk melihat keadaannya. Tidak menghabiskan sarapan, akan menjadi masalah besar. Nah, benar saja! Pintu kamar terkuak tanpa permisi. Wajah Bi Markonah yang tampak selalu sedih seperti buldog itu melongok ke dalam kamar. Sedetik. Kemudian terdengar langkahnya menjauh. Bi Markonah memang tak terlalu suka bicara pada Badrowi. Begitu juga sebaliknya. Bi Markonah menganggap Badrowi itu sinting.

Badrowi bersiul-siul. Terdengar pintu depan dibuka dan ditutup kembali. Bi Markonah akan pergi berbelanja ke pasar. Biasanya Bi Markonah pergi selama satu jam. Dan selama wanita itu pergi, Rokim, anak tetangga sebelah yang akan memata-matainya. Badrowi menyibak korden kamar untuk melihat keluar. Dari ambang jendela, Badrowi melihat Bi Markonah tengah berbicara kepada Rokim. Bi Markonah menyerahkan selembar uang ke tangan Rokim yang langsung disambut gembira. Rokim berlari riang menuju ke pintu rumah. Tuh, kan?

Terdengar pintu dibuka dari luar.

Badrowi segera menyambutnya. “Kamu sebaiknya nonton tv saja. Hari ini aku akan berbaring di kamar....” usul Badrowi sambil mengulurkan remote ke tangan Rokim.

Rokim kikuk. Dengan wajah takut-takut Rokim bertanya, “Maaf, Pak. Sebelum saya menonton televisi seperti yang Bapak suruh, bolehkah saya masuk ke kamar Bapak terlebih dahulu?”

“Untuk apa?!” bentak Badrowi tidak suka.

“Mm... mencari mainan saya, Pak. Sepertinya tertinggal di kamar Bapak kemarin...,” Rokim berkata pelan dan sedikit gemetar. Rokim takut Badrowi akan menyakitinya. Bagaimanapun, Badrowi tega menyakiti dirinya sendiri. Bukankah besar kemungkinan Badrowi juga setega itu pada orang lain?

“Baiklah. Tapi jangan lama-lama!” Badrowi bersungut-sungut. Hatinya sungguh tak senang.

Dengan takut-takut Rokim masuk ke kamar Badrowi. Rokim memeriksa tiap sudut kamar, di bawah tempat tidur, bawah meja dan almari, di bawah kasur. Semuanya. Tentu saja tidak ada mainan yang dicarinya. Rokim mencari botol, gelas kaca, pisau atau benda apa saja yang sekiranya diselundupkan Badrowi untuk melancarkan aksinya. Rokim tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Rokim tersenyum puas sambil melangkah keluar kamar.

“Lho, mana mainanmu?” bentak Badrowi.

Rokim plintat plintut. “Oh, saya baru ingat kalau mainan saya dipinjam teman....”

“Huh, dasar lidah manusia!” umpat Badrowi sambil masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.

Badrowi mengintip melalui lubang kunci. Aman. Rokim pergi ke kamar mandi. Hanya sebentar, setelah itu Rokim asyik menonton televisi. Badrowi hendak menyelinap keluar lewat jendela. Tapi...oh...Badrowi merasa ingin buang air kecil. “Ah... tak mengapa, ini kan buang air kecil yang terakhir...,” hibur Badrowi dalam hati.

Ketika Badrowi lewat, Rokim waspada. Rokim melirik jam dinding untuk memastikan Badrowi tidak terlalu lama di kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka. Badrowi segera melangkah masuk, tak disadarinya busa sabun tersebar di lantai. Badrowi terpeleset, tubuhnya kehilangan keseimbangan.

“Aaaaaahhh!!!!” Kepala Badrowi terbentur pinggiran bak. Darah mengucur. Badrowi jatuh terjerembab. Tubuhnya terlentang di lantai kamar mandi. Badrowi berusaha menggerakkan kepala, dan terlihat olehnya beberapa ekor kecoak berlari menjauh. Lantai kamar mandi memerah darah, membawa Badrowi ke rasa sakit yang menggila hingga gelap menghimpit!

***
AWALNYA, hidup Badrowi sempurna. Istrinya cantik dan sudah diangkat menjadi PNS. Istrinya seorang guru di sebuah SMP Negeri. Ketika SK turun dan mengharuskan istrinya pindah ke Kota Semarang, Badrowi rela meninggalkan pekerjaannya. Padahal saat itu posisi Badrowi di perusahaan itu sudah terbilang lumayan. Ketika itu, anak pertama mereka baru berusia tiga tahun. Di kota baru, Badrowi mencari pekerjaan. Namun, belum genap sebulan Badrowi bekerja, didapatinya sang istri menangis. “Pak, janganlah bekerja dulu. Rumah dan anak-anak telantar kalau kita berdua bekerja. Biarlah kita hidup dari gajiku dulu,” bujuk istrinya.

Badrowi amat menyayangi istrinya. Apalagi istrinya tengah mengandung anak kedua. Badrowi tak sanggup menolak keinginan sang istri. Maka, Badrowi mengalah dan tinggal di rumah. Badrowi belajar memasak, mencuci, membereskan rumah, dan mengurus anak. Ketika anak kedua lahir, Badrowi telah mahir. Segera saja, predikat Bapak Teladan melekat padanya. Para tetangga yang menjulukinya. Tapi Badrowi tahu pasti tabiat tetangganya. Di depan wajahnya orang-orang itu memuji, di belakang punggungnya, mereka menyebut Badrowi banci.

Badrowi mulai terusik. Dia merasa menjadi lelaki yang tidak sempurna. Lelaki yang bukan lelaki. Lelaki yang tak sanggup menafkahi istri. Lelaki yang seperti benalu, menggantungkan hidup dari gaji istri. Di dalam rumahnya tidak ada ibu rumah tangga, yang ada adalah dirinya, bapak rumah tangga!

Hidup Badrowi mulai limbung. Dan hidupnya hancur ketika didapatinya istrinya berubah. Cinta istrinya tak lagi utuh. Tak lama berselang, istrinya hamil lagi. Badrowi tak punya bukti, tapi Badrowi tahu kalau itu bukan benihnya. Akhirnya bayi mungil berwajah Tionghoa itu lahir. Sejak itulah, Badrowi kehilangan semangat hidup dan memvonis dirinya untuk mati!

***
BADROWI merasa tubuhnya seringan kapas. Sebentar kemudian, rasa berat seperti sebongkah batu menghimpit kakinya, terus naik ke perut dan menghimpit ulu hati. Kepalanya berdenyut hendak meledak. Napasnya panas. Sesuatu ditangkupkan menutup hidung dan mulutnya. Sejenak rasa sejuk menerpa, tapi panas gurun dalam sekejap datang kembali.

Badrowi ingin sekali membuka mata, tapi seolah ada baja yang mengganjal matanya. Bulir-bulir dingin menyusup pori-pori. Seleret cahaya putih berkelebatan.

“Dia sadar... dia sadar... lihat! Matanya sedikit terbuka...,” seorang suster tak sadar berteriak.

“Pak... Pak... ini aku! Pak... sadar....” Itu suara istri Badrowi.

“Ini kuasa Tuhan. Beliau telah empat minggu mengalami koma, tapi mampu bertahan...,” timpal Dokter yang tergopoh datang.

Di samping tempat tidur rumah sakit, istri Badrowi menangis tersedu-sedu.

Badrowi mengerjap. Pelan, air matanya mengalir. Semua yang terjadi ini, sungguh di luar rencana Badrowi. Badrowi memang ingin mati. Tapi Badrowi sama sekali ingin melakukan usaha untuk mati di kamar mandi. Badrowi memang ingin mati. Tapi, bukannya setengah mati seperti ini!

Badrowi merasa menjadi pesakitan. Hidupnya mengambang di antara hidup dan mati. Tubuh Badrowi lumpuh seluruhnya, hanya matanya saja yang bisa digerakkan. Itu pun hanya membuka, menutup dan melirik. Hidup Badrowi sepenuhnya bergantung pada peralatan medis.

“Pak... maafkan aku, Pak...,” tangis istrinya pelan.

Dulu, Badrowi hanya membisu bila istrinya berucap seperti itu. Badrowi mengunci hati. Kata maaf di penjaranya rapat-rapat di dalam amarah. Dijaganya jangan sampai keluar dari mulutnya. Kini Badrowi ingin menjawab, namun lidahnya seolah terikat. Badrowi ingin mengatakan kalau hatinya telah memaafkan! Tapi... Badrowi tak mampu bicara.

Dalam keterasingannya dari dirinya sendiri, Badrowi terpaksa mengakui bahwa kuasa Tuhan lebih berhasil daripada rencananya. Hatinya menyalahkannya kenapa dulu tak memaafkan saja ketika istrinya berkali-kali minta maaf. Dulu hatinya beku ketika istrinya berkali-kali menangis sambil bersimpuh di kakinya. Kini, keadaan menjadi terbalik. Hati Badrowi telah lunak, tetapi tubuh dan lidahnya yang kaku. Sekarang, jika nasi telah menjadi bubur seperti ini, semuanya berduka. Dan hanya setan yang tertawa terpingkal-pingkal. Menyaksikan kebodohan manusia mudah terjebak amarah dan merasa mampu menggenggam takdir.

Kun Himalaya adalah nama pena Tri Kundarni, ibu rumah tangga kelahiran Semarang, 3 Juni 1982, tinggal di Wonolopo Mijen, Semarang.
 

Leave a Reply