Sabtu, 30 Juni 2012

DESING

0 komentar

Cerpen Pikiran Rakyat, 24 Juni 2012 – oleh Absurditas Malka

Malam-malam di desa Bonai, tak lagi tenang. Selalu ada desing yang mendesau di pucuk sepi, diakhiri sebentuk suara letus dan jeritan mengerang. Kemudian malam kembali sunyi bersama sebersit pertanyaan.

“Jangan kau keluar malam-malam. Di luar ada orang jahat menyerang.”

Pinta Elias kepada pacarnya, Matius.

“Eli, tenang sajalah tidak akan lama aku berada di luar.” Matius melerai genggam tangan Elias. Ditempuhnya pekat kota Bonai, ditepisnya segala kabar risau dan kacau, Matius tidak ingin mati di dalam kegelapan.

Berita di televisise sedang gencar menyampaikan peristiwa penembakan misterius terhadap warga kota Bonai. Pelaku penembakan sudah menjatuhkan banyak korban, aparat kepolisian selalu kehilangan jejak, tak mampu mengusut kebenaran.

“Sepi sekali ini kota.” Matius bergumam, ditatapnya lampu jalan. Cahaya berlari di atas aspal, kesepian. Sebuah motor melaju perlahan di kejauhan.

“Hoi!” Seseorang berteriak dari motor.

“Ada apa manggiI-manggil?” Matius menatap pengendara motor.

“Cari mati kau! Cepat pulang. Bonai sedang kacau. Sebaiknya kamu tidak keluyuran malam-malam.” Lelaki itu entah siapa, di belakangnya terlihat lelaki lain. Tidak berkata apa-apa, hanya menatap.

“Ada perlu, nanti juga aku pulang.” Matius menatap sekitar. Tidak ada orang.

“Awas kau, berhati-hatilah.”

Motor kembali melaju perlahan, menyisir sepi di sepanjang punggung aspal. Matius masih harus berjalan, menempuh 5o kilo meter kesunyian untuk bisa sampai di beranda rumah Esteban, pamannya Eiias.

Di tempat lain, di sebuah rumah kayu. Esteban gundah menunggu, ditatapnya mulut jalan, hanya kekosongan dan kegelapan yang terlihat sejauh tatap mengular.

“Ke mana kau? Lama sekali.” Esteban berpindah tempat duduk. Ditengoknya lagi mulut jalan. Peristiwa penembakan kembail berputar dalam ingatan.

“Matius...” Diselidiknya sosok bayang yang bergerak di pinggiran jalan. Senyum rekah di bibirnya, sosok itu memang Matius yang ditunggunya.
 
“Syukurlah, akhirnya kau datang. Esteban menarik lengan Matius, membawanya masuk ke dalam ruangan. Bruuuggh... Matius roboh bersimbah darah.

“Matius! Matius!” Esteban menjerit-jerit.

Punggung dan perut Matius berlubang, darah bersimbah di beranda rumah. Suara rintih dan erang, melompat dari mulut Matius, lalu hilang berpendar di kesunyian.

***
MALAM-MALAM di kota Bonai semakin cekam. Di antara sederet pertanyaan, Elias melarungkan kesedihan. Betapa butir-butir peluru bisa begitu acak, merenggut hidup dan tubuh seseorang. Betapa tangan-tangan di balik pelatuk, teramat sulit untuk ditemukan.

“Matius...” Elias menjerit di dalam hati. Angin berkesiap sepi, menebar sunyi di sudut-sudut kota Bonai.

“Aku harus menghentikan pembunuh itu.” Elias bergumam.

Diraihnya selembar kain hitam. Atas nama perasaan yang paling rawan. Elias menempuh dendam. Dicarinya tempat-tempat paling misterius di keluasan kota Bonai, dicarinya sumber-sumber desing yang semakin menabur kelam.

“Perempuan bodoh! Pulanglah kau.”

Seseorang berteriak di balik pintu rumah, Elias tidak menggubris, ditempuhnya jalan besar di kesunyian kota Bonai.

“Keluar kau pembunuh terkutuk!” Elias merutuk, tatapnya menjalar dari satu kelam ke kelam yang lain. Tidak ada yang berkelabat, tidak ada yang terlihat. Di ujung yang jauh, di bawah temaram lampu jalan, beberapa petugas polisi terlihat berjaga waspada.

“Eiias, aku percaya seteIah kegelapan pastilah ada terang.” Elias teringat pesan Matius.

“Kota ini, kelak akan seperti Jakarta. Ramai, maju, tidak terbelakang, bebas penindasan, tidak lagi menjadi korban. Percayalah.” Mimpi Matius tentang perubahan Bonai kembali berdesingan dalam khayal.

“Matius, kota ini seperti kutukan. Hanya dihamparkan Tuhan untuk dijadikan ladang kematian. Hanya untuk dihisap habis-habisan oleh tangan-tangan kekar.” Elias berbisik kepada malam.

“Elias... Elias...” Ada suara bisik, terdengar samar memanggil.

“Matius, itukah kau?” Elias menoleh ke segala arah, dicarinya sumber suara.

“Elias, pulanglah. Bisik semakin tegas terdengar.

 Dari arah belakang, lelaki bertubuh tinggi besar berkelabat mendekatinya. Elias terkesiap, ditatapnya sosok itu. Separuh wajahnya tertutup kegelapan, separuhnya lagi tertimpa pudar cahaya lampu jalan.

“Siapa kamu? Kenapa kamu mengenaliku?” Kesedihan sudah merenggut Elias dalam kegilaan, keputusasaan. Seluruh kota Bonai adalah tempat asing yang terpinggir dari ingatan. Hanya rasa kehilangan satu-satunya kenyataan yang paling dikenal.

“Aku Esteban, pamanmu! Ayo, kita pulang.” Ditariknya lengan Elias.

“Tidak! Tidak! Aku tidak mau pulang! Pembunuh itu harus dihentikan!” Elias menjerit, memecah malam.

“Esteban! Cepat kau amankan Elias. Bawa dia pulang!” Teriak seseorang di balik kegelapan.

“Tenang saja kawan, aku akan membawanva pulang.”

“Matius, Matius, Matius.” Elias terus memanggil-manggil.

“Elias... Sadarlah, Matius sudah tiada. Ayo, kau harus pulang.” Esteban mendekap Elias, membawanya pulang.

“Hoi!” Dari kejauhan terdengar sapaan.

“Siapa itu?” Esteban menoleh ke arah belakang.

Sekilat, terdengar suara desing, diikuti semacam letusan. Suara jerit yang samar segera hilang, dihisap kesunyian malam.

Esteban berdiri beku, bersama sekian banyak pertanyaan.

***
“SEORANG lelaki ditemukan tewas di tempat...”

Elias menatap layar kaca, terjadi di salah satu tempat di kota Bonai. Gambar di layar kaca kembali memperlihatkan wajah perempuan pembawa berita, “Sampai saat ini kasus penembakan misterius belum bisa diselesaikan.” layar kaca berganti tampilan, terlihat orang-orang berkerumun, petugas kepolisan dan sederet pertanyaan.

“Matius...”

Elias terdengar merintih, matanya kosong menatap berita.

Bulir bening di sudut mata, jatuh membelah wajahnya.

Bandung, 12 Juni 2012
 

Leave a Reply