Cerpen Kompas, 10 Juni 2012 – oleh Linda Christanty
SEMALAM
bidadari itu meninggalkan rumah saya. Dia menendang kursi sebelum membuka pintu
depan. Di luar angin kencang sekali. Embusan angin bercampur kemarahan membuat
pintu terbanting dengan keras. Suara pintu itu terasa seperti tamparan di wajah
saya.
Musim
dingin sudah datang. Tapi di kota ini tidak ada salju. Di Eropa, sungai dan
laut menjelma daratan es. Puluhan orang mati kedinginan. Kereta membeku.
Bandara membeku. Dua hari lalu televisi menyiarkan Pangeran Belanda, Johan
Frisco, tertimbun longsoran salju waktu main ski di Austria. Dia masih koma.
Saya
dan Bidadari sering bertengkar, di musim apa pun, tentang apa pun. Dia sering
menampar saya, tapi saya tidak pernah membalas tamparannya. Sebenarnya saya
ingin membalas. Tapi yang terjadi saya hanya bertahan, tidak melawan.
Dia
juga melempari saya dengan barang-barang, yang kebetulan ada di dekatnya. Botol
saus, gelas, piring, bantal, buku, jambangan bunga, lampu meja, sepatu, kursi….
Dia juga suka mencakar. Bidadari seharusnya tidak mencakar dan tidak punya
cakar. Tapi dia mencakar. Memang bidadari yang langka. Sekarang saya bisa
tersenyum membicarakannya. Tapi di saat kejadian, dunia ini seperti
teraduk-aduk, berantakan sekali. Benda-benda bertaburan di sana dan di sini,
seperti telur-telur ayam pecah.
Di
dinding rumah saya dulu ada lukisan pastel yang bagus. Abstrak. Komposisi
warnanya hitam dan putih. Lukisan itu saya beli dari pelukisnya langsung,
tetangga saya sendiri. Rumahnya merangkap galeri. Pengunjung mondar-mandir
dalam rumah itu. Kami bisa melihat botol-botol selai di meja makan atau
piring-piring bekas sarapan yang bertumpuk di bak cucian di dapurnya, atau
melewati kamar tidur si pelukis atau kamar tidur anak-anaknya yang terbuka.
Lukisan
itu sekarang penuh bercak merah saus tomat, berada di gudang. Saya suka sekali
lukisan itu. Saya kecewa, tapi Bidadari tidak minta maaf.
Kuku-kukunya
panjang. Goresannya membuat wajah saya terasa perih. Dia juga pernah meninju
mata saya, sehingga saya seperti melihat ada benang-benang hitam kait-mengait,
bergumpal-gumpal, melayang-layang di udara sesudahnya, selama beberapa hari.
Saya pergi ke kantor dengan mata kiri diperban untuk menyembunyikan bekas
ulahnya. Sewaktu rekan kerja saya memandang heran dan ada yang bertanya,
”Kenapa mata kamu, Jack?”, saya menjawab bahwa mata saya dicium bola basket
waktu saya main basket. Ciuman panas. Mereka tertawa.
Saya
tidak melaporkan kejadian ini ke polisi. Bidadari bisa masuk penjara kalau saya
melapor.
Di
lain waktu, saya bertahan dengan melindungi wajah saya dari serangannya dengan
kedua tangan saya ini, tapi dia justru makin kalap. Kalau saya diam atau
bertahan, dia tambah kalap. Kalau saya belum luka atau lebam, dia belum
berhenti.
Di
hari yang membuat penampilan saya sangat buruk dan perasaan saya lebih kacau
dibanding kejadian sebelumnya, saya memutuskan tidak datang ke kantor. Saya
seharian di rumah dan kalau bosan, di sore hari saya mampir ke rumah sahabat
saya, Tom. Ketika saya katakan bahwa saya seharian di rumah, dia langsung tahu
apa yang terjadi. Kadang-kadang Tom bekerja sampai malam. Saya akan pergi ke
rumahnya setelah jam makan malam, kemudian kami ngobrol sampai larut.
Setelah
bertengkar hebat, Bidadari akan mengangkuti semua barangnya ke mobil,
membanting pintu depan dan pergi dari rumah saya, seolah-olah dia tidak akan
kembali lagi. Setiap selesai bertengkar dengannya, saya benci sekali pada dia,
sangat benci. Andaikata mobilnya terguling di jalan dan meledak, saya lebih
senang. Artinya, hubungan kami benar-benar selesai. Tapi beberapa hari kemudian
dia akan menghubungi saya dan saya menerimanya lagi. Dia membawa
barang-barangnya lagi ke rumah, lalu menata semuanya di tempat semula, seperti
pegawai museum memajang kembali koleksi yang sempat dicuri.
Rumah
Tom hanya 10 menit bermobil dari rumah saya. Dia berkali-kali meminta saya
tidak lagi berhubungan dengan Bidadari. Kata Tom, sebenarnya Iblis adalah nama
yang lebih sesuai untuk pasangan saya. Dia mengkhawatirkan keselamatan saya.
Tapi saya tidak tahu cara yang tepat untuk menjauhi Bidadari. Dengan cara
seperti menjauhi rokok, Tom memberi usul. Orang yang berhenti merokok kurang
dari setengah tahun biasanya masih gampang tergoda untuk kembali merokok dan akan
mencandu lebih parah. Orang bisa disebut bebas dari rokok setelah setahun tidak
mengisapnya sama sekali. Setelah satu tahun itu berlalu, kamu bahkan tidak
berselera lagi melihat rokok, tidak tertarik mencoba sedikit pun.
Saya
tidak tahu dari mana Tom memperoleh teori semacam itu. Saya dan Bidadari paling
lama tidak saling menyapa hanya satu minggu.
Kadang-kadang
saya membawa Garcia, anjing kecil saya, ke rumah Tom. Garcia senang berada di
luar rumah. Dia paling suka taman. Dia selalu menunggu saya pulang dari kantor
untuk mengajaknya berjalan-jalan sebentar di halaman belakang atau ke taman
dekat rumah. Sekarang dia sengaja saya kunci dalam kamar di lantai atas. Pagi
ini saya tidak ingin dia berkeliaran di lantai bawah.
Kalau
saya dan Bidadari bertengkar di akhir pekan dan itu berkali-kali terjadi, saya
memutuskan tidak menjemput putri saya, Anna, untuk menginap di rumah. Saya
tidak ingin anak saya melihat ayahnya dalam keadaan berantakan. Anak saya harus
mengenang saya sebagai ayah yang menyenangkan, membuatnya tenang dan gembira,
bukan membuatnya khawatir dan sedih.
Setelah
itu saya akan menelepon Sue dan mengatakan bahwa saya sangat sibuk. Saya akan
minta tolong kepadanya untuk membiarkan putri kami tinggal dengannya di akhir
pekan itu. Seringkali Sue kesal pada saya dan wajar saja dia kesal, karena dia
sudah ada janji dengan teman. Dia ingin saya yang menghabiskan waktu akhir
pekan dengan Anna, karena akhir pekan adalah giliran saya bersama putri kami.
Sue tidak pernah bercerita tentang pacarnya. Saya pikir, dia memang tidak punya
pacar. Tapi saya sebetulnya tidak peduli dia punya pacar atau tidak. Sue juga
tidak peduli pada saya. Sudah lama dia tidak peduli, sebelum kami akhirnya
berpisah.
Botol-botol
minuman memenuhi tong sampah di dapur. Bir, Vodka, Tequilla….. Bidadari suka
minum dan mabuk. Dulu saya jarang minum, tapi sejak saya berhubungan dengannya
saya minum makin banyak.
Umur
saya 50 tahun. Putri saya, Anna, masih belajar di sekolah menengah atas. Sejak
saya dan Sue berpisah tiga tahun lalu, putri kami harus membagi waktu untuk
tinggal di dua rumah. Di hari Sabtu dan Minggu, Anna menginap di rumah saya.
Senin sampai Jumat, dia tinggal bersama ibunya.
Saya
kesepian dan karena itu, saya memelihara Garcia. Sebelum Bidadari datang, saya
sudah memelihara Garcia. Anna menyukai Garcia. Anjing saya mudah akrab dengan
orang, sehingga siapa saja yang berkenalan dengannya langsung suka. Tom
sebenarnya tidak suka anjing, tapi dia suka Garcia.
Kadang-kadang
saya mengajak Anna ke rumah Tom. Dulu saya dan Tom bertetangga. Rumah kami
bersebelahan waktu saya baru menikah dengan Sue. Persahabatan kami ternyata
langgeng, hampir 20 tahun. Tom berpisah dari Lizzy waktu anak mereka, Ricky,
berumur delapan tahun. Lizzy menikahi pacarnya sebulan kemudian sesudah mereka
bercerai. Tom sempat jadi peminum berat. Dia hancur-hancuran selama setengah
tahun.
Lizzy
kehilangan selera terhadapnya. Tom terlalu suka bahaya. Dia pernah terancam
hukuman mati dua kali, disandera pemberontak satu kali dan kena tembak tiga
kali.
Keuangan
saya cukup kacau, setelah Bidadari hadir dalam hidup saya. Tapi saya memang
bukan orang pelit. Teman-teman saya menganggap Bidadari hanya mengincar uang
saya saja. Saya punya karier yang baik dan pemasukan yang lumayan. Saya
merintis karier saya di kantor pemerintah kota. Bidadari kerja di sebuah klab
malam. Gajinya tidak banyak.
Kami
sudah berhubungan selama dua tahun. Di tahun kedua kami berhubungan, dia pindah
ke rumah saya. Sebab saya membutuhkan teman.
Sejak
Bidadari tinggal di rumah, saya jarang mengundang teman-teman saya untuk makan
malam di rumah atau mampir di akhir pekan. Bidadari merasa tidak nyaman dengan
kehadiran teman-teman saya. Dia merasa mereka mengejeknya di belakang
punggungnya. Dia merasa dikucilkan tiap kali kami berkumpul. Itu tidak benar.
Tom, meski kesal, justru paling ramah pada Bidadari. Dia senang membantunya
menyiapkan makanan. Bidadari jauh lebih muda dari saya. Umurnya baru 30-an.
Cantik? Bagi saya, dia menarik. Tapi dia memang tidak pernah keluar rumah tanpa
riasan. Lagipula dia bekerja di tempat yang mengharuskannya berpenampilan
begitu. Secara fisik, dia laki-laki, sama seperti saya. Tapi dia merasa
perempuan.
Sebenarnya
orang-orang di kota ini ramah, bahkan kepada orang asing seperti kamu. Tidak
seharusnya saya kesepian. Saya juga punya teman-teman baik. Tom sering menemani
saya sarapan pagi di kedai kopi kesukaan kami atau menemui saya di jam makan
siang, tapi bagaimana pun dia punya kehidupan sendiri.
Kedai
kopi favorit saya dan Tom, itu asyik sekali. Kedai Mexico. Makanan di sana
murah. Saya dan Tom biasa memesan kopi, roti, dan tortilla isi telur dan keju.
Tidak sampai enam dollar.
Hari
ini saya sengaja tidak sarapan di kedai kopi yang sama. Aneh rasanya Tom tidak
akan sarapan lagi bersama saya di sana. Dua minggu lalu dia meninggal di
Suriah, karena bom meledak. Dia sedang mewawancarai orang waktu itu.
Di
kedai ini makanan juga enak. Saya pernah makan di sini satu kali, dengan Tom
dan anaknya, Ricky. Kalau Ricky lebih suka kedai kopi yang ini. Dia menawari saya
untuk memesan eggs benedict waktu itu. Sekarang saya memesan eggs benedict
lagi. Ricky anak yang baik dan perasa. Dia juga pintar masak. Saya suka beef
brisket buatannya. Dia pasti sangat kehilangan ayahnya. Saya ingin panjang umur
untuk putri saya, Anna. Besok saya ada janji dengan Ricky untuk menemaninya di
rumah. Saya benar-benar berantakan. Tapi saya harus menemaninya.
Apakah
blueberry pancake kamu enak? Tidak terlalu manis? Saya tidak suka makanan
manis. Kalau sudah berumur seperti saya, sebaiknya kamu mengurangi makanan yang
manis-manis. Kamu sering sarapan di sini? Kamu beruntung kuliah di kota ini.
Orang-orangnya ramah pada orang asing. Terhadap orang-orang Asia, tidak ada
masalah. Tapi orang hitam dan Hispanik mengalami diskriminasi. Mereka dianggap
sering membuat masalah. Kemiskinan dan kejahatan sering dalam satu paket. Tapi
siapa yang tidak mudah naik pitam, kalau lapar? Saya tidak bisa berpikir di
saat lapar. Eggs benedict ini porsinya terlalu besar. Dua telur. Kolesterol
saya bisa naik. Kamu mau satu? Dulu saya mengira Bali itu satu negara
tersendiri. Ternyata itu bagian dari Indonesia juga ya? Mudah-mudahan saya bisa
ke sana.
Saya
tahu wajah saya berantakan sekali. Mata saya bengkak? Saya hanya tidur dua jam
tadi malam, kemudian tidak tidur lagi sampai pagi. Hari ini saya tidak akan
masuk kantor.
Saya
benar-benar pusing.
Menurut
kamu, apa yang harus saya lakukan kalau kejadiannya seperti ini.
Semalam,
setelah Bidadari pergi, saya sempat tertidur dua jam. Tiba-tiba telepon seluler
saya berbunyi keras. Bidadari datang lagi. Dia sudah di pintu depan, dia
mengatakannya dengan nada datar. Saya pikir, ada barang yang ketinggalan. Dia
minta saya segera membuka pintu. Saya turun ke lantai bawah, membuka pintu. Dia
langsung menerobos masuk, lalu menodongkan pistol ke arah saya.
Wajah
Anna terbayang. Saya tidak mau mati. Saya membujuk Bidadari untuk meletakkan
pistol di meja, lalu kami bicara. Dia tidak mau. Dia menarik pelatuk, membidik
ke arah saya. Meleset. Kena dinding. Pistolnya berperedam. Dia berancang-ancang
untuk menembak lagi. Saya secepat kilat melempar jambangan perunggu ke arahnya.
Dia terjatuh. Kepalanya menghantam meja marmer. Dia pingsan. Saya tidak
berpikir panjang lagi, langsung mengikat kaki dan tangannya. Mulutnya saya
sumpal dengan beberapa serbet. Dia sekarang di rumah, di ruang tamu. Pistolnya
saya masukkan ke dalam kantong plastik yang biasa dipakai untuk menyimpan
makanan di kulkas. Setelah itu saya mengendarai mobil keliling kota, sampai
pagi, sampai kedai kopi ini buka.
Saya
akan menelepon polisi sesudah sarapan. Nama saya, Jack. Kamu? Rati? Rati-h?
Di
bioskop, film Almodovar yang baru sedang diputar. Kamu mau menonton nanti
malam? Ajak teman-teman kamu juga. Saya traktir. Huuuhh…. Udara di luar dingin
sekali.***