Jumat, 22 Juni 2012

RUMAH KEDUA

0 komentar

Cerpen Pikiran Rakyat, 3 Juni 2012 – oleh Adi Zamzam

TELAH lama Danar memendam keinginan untuk membeli rumah baru lagi. Rumah baru yang bisa memberinya kenyamanan dan ketenteraman batin. Tak harus besar dan megah, yang penting rumah itu bisa memberinya kedamaian.

Sering Danar membayangkan, di rumah baru itu nanti ia akan di istimewakan lagi. Pelayanan yang menyenangkan, perhatian yang lebih, cinta yang kembali muda, pokoknya semua yang kini telah hilang dari rumah lamanya akan kembali ia dapat.

Yang rnengganjal dalam pikirannya kini adalah: kelima anaknya pasti takkan menyetujui pilihannya ini, semua mata di luaran juga akan memandang buruk, semua mulut akan menjadikannya menu lezat dalam setiap pergunjingan, dan mungkin juga, ia pun akan kehilangan kelima anaknya jika tak bisa memberikan penjelasan mengapa ia begitu membutuhkan sebuah rumah baru.

Tentu nanti takkan mudah untuk memberikan penjelasan kepada kelima anaknya. Di samping umur mereka yang masih belia, yang pasti butuh waktu panjang untuk dapat memahami kondisi ayahnya-pastilah mereka juga takkan rela jika ayahnya menjadi seorang pengkhianat.

“Yang tertua pasti akan jadi pemimpin adik-adiknya untuk menjadi pembela ibunya kelak,” Danar mengungkapkan kegalauannya kepada Indra, seorang teman yang juga mempunyai nasib serupa dirinya.

Pertemanannya dengan Indra dimulal ketika mereka sama-sama limbung dan ingin menghibur diri di sebuah kafe. Dari keakraban yang semakin terjalin, kini Danar tahu bahwa Indra telah bertindak lebih cepat daripada dirinya. Pengusaha properti itu telah memiliki sebuah rumah baru tanpa sepengetahuan istri dan anak-anaknya.

“Cari saja secara diam-diam, Nar. Daripada kamu tersiksa lama-lama,” Indra menanggapi.

“Tapi lambat laun kan pasti ketahuan, Ndra?”

Lelaki tambun di hadapannya itu malah tertawa keras, “Kalau enggak berani ketahuan, ya enggak usah mikir ke sana lah. Kamu kok lucu sekali, Nar,” mengejek.

Danar terdiam. Ucapan Indra ada benarnya juga. Dibutuhkan keberanian untuk memilih keputusan itu. Ini juga bukan persoalan rasa tega semata. Ini adalah persoalan kebutuhan untuk dirinya sendiri.

**
Malam telah merangkak ke puncak. Danar baru saja pulang dari pekerjaan besar yang amat melelahkan. Hal pertama yang terbayang dalam kepalanya adalah istrinya telah menyiapkan air hangat untuk mandinya. Disusul pijatan ringan di atas tempat tidur sekadar untuk menghibur tubuhnya yang telah disergap Ielah dan penat. Atau kemesraan-kemesraan kecil sekadar untuk mengusir jenuh yang membuntutinya seharian tadi.

Namun hawa itu nyatanya masih saja tercium ketika Danar keluar dari mobil yang telah ditepikannya di garasi. Dan aromanya semakin kuat tercium. Mbok Jum yang membukakan pintu untuknya. Sepi. Ia tertegun sejenak di ambang pintu.

“Ada apa, Pak?” tanya perempuan paruh baya, yang telah dua puluh tahunan mengabdi kepadanya.

Perempuan yang telah dlanggapnya sebagal pengganti mendiang ibunya itu mungkin saja juga sudah mencium kemelut yang mengepung hatinya. Terlihat dari perhatiannya yang belakangan tampak berlebih, seolah Danar adalah anak kandungnya sendiri. Namun tetap saja semua itu tak bisa mengurangi sepi yang terus-terusan menguntit Danar belakangan ini.

“Tak apa-apa, Mbok. Tidurlah. Terima kasih,” ia melangkah dengan perasaan tak nyaman.

Tiba-tiba saja ia merasa seperti telah tersesat masuk ke dalam sebuah hutan belantara. Sepi dan ngelangut mengepung. Dingin. Menyeramkan. Danar ingin lari saja dari tempat itu. Tapi lari ke mana?

**
Semuanya seperti lintasan-lintasan mimpi dalam kepala Danar.

“Meski kecil dan sederhana, aku yakin kamu pasti akan suka dan betah tinggal di dalanmya.”

Indra yang menunjukkan rumah itu. Mungil, sederhana, jauh dari hiruk-pikuk kota, dan terasa sejuk di mata. Tak butuh waktu lama untuk memutuskan. Rumah baru itu ia beli tanpa sepengetahuan anak istrinya. Bahkan untuk menikmati kenyamanan yang telah lama diimpikannya itu, Danar pun rela berbohong kepada istri pertamanya dengan berbagai macam alasan.

Rasanya seperti kembali muda lagi. Suasana dan pelayanan di rumah baru mengingatkannya pada masa-masa awal berumah tangga. Semangat hidupnya tumbuh berlipal-lipat. Semua urusan berat dalam pekerjaan bukan lagi menjadi siksaan. Hari jadi penuh pelangi. Dua puluh empat jam dalam sehari jadi terasa kurang.

“Bagaimana rasanya?” tanya Indra suatu ketika.

Danar hanya tertawa. Tentu saja Indra tak membutuhkan jawaban dari pertanyaan itu, karena ia juga memiliki dua rumah tanpa pengetahuan istri pertamanya.

Saat kembali bermalam di rumah lama, semua benar-benar terasa berbeda. Tak ada lagi lolongan kesepian saat semuanya telah dibekap malam. Tak ada lagi jenuh yang selalu berusaha membunuhnya diam-diam, karena malam-malamnya telah kembali terisi mimpi-mimpi penuh wama. Cinta yang baru mekar membangunkan apa-apa yang semula membeku. Meski anak-anak telah besar dalam dunia mereka sendiri. Meski istri tuanya tak lagi memperhatikan detail perasaannya dan lebih suka sibuk sendiri mengurusi anak-anaknya.

Kini, tujuh hari Danar jadi terbagi. Empat hari di rumah lama, tiga hari di rumah baru. Selama beberapa minggu ia sanggup bertahan seperti itu. Namun, lama-lama akhirnya ada perasaan sayang yang membuatnya ingin lebih lama menikmati kenyamanan rumah baru.

Bukan hanya soal suasana baru yang membuat betah. Betapa banyak hal-hal baru lainnya yang ia dapati di rumah baru, yang tak pernah ia dapati di rumah lama. Perhatian, keromantisan, segala suasananya seakan membuatnya muda kembali.

**
TELAH lima hari Danar tinggal di rumah barunya. Ia tinggalkan alasan seperti biasanya di rumah lama; urusan kerja. Tentu saja kerja untuk menyenangkan diri sendiri. Telah lama ia menginginkan hal ini. Sesekali memanjakan diri sendiri. Toh keluarganya tak pernah ada yang peduli menyangkut hal itu.

Hari keenam ia pikir akan berhasil menyudahi kemalasannya meninggalkan rumah baru. Namun ternyata tak, Danar malah semakin nyaman dan semakin enggan beranjak dari segala yang memanjakannya. Cinta, perhatian, kehangatan, dan suasana di runah baru benar-benar mengembalikan kemudaannya lagi. Hingga hari ketujuh berlalu, dan terlintaslah sebuah pikiran nakal dalam benaknya; ia akan memberikan lebih banyak harinya untuk rumah baru saja. Toh pulang ke rumah lama rasanya seperti pulang ke kuburan.

Namun alangkah terkejutnya Danar pagi itu. Ketika ia bercermin sehabis mandi, sama sekali tak ia dapati bayangannya. Seolah ia tak memiliki tubuh yang dapat ditangkap oleh cermin itu!

Ia meraba-raba tubuhnya sendiri. Jemarinya masih bisa menemukan tubuhnya itu. Tapi mengapa cermin tak bisa menangkap bayangannya?

“Cintaa…!” setengah teriak Danar memanggil istri mudanya.

“Coba sentuh tubuhku, raba, peluk, apakah jasadku ini nyata?” perintahnya setelah istri mudanya tergopoh-gopoh datang.

“Bagaimana? Apakah tubuhku in nyata?”

Perempuan muda itu berkerut-kerut keningnya.

“Cermin itu tak menampakkan bayanganku,” mengajak istri mudanya menatap cermin.

“Lha itu bayanganmu. Iiih...., Mas Danar aneh-aneh saja,” menunjuk bayangan lelaki di sampingnya dalam cermin.

“Benarkah? Mana?” masih juga tak bisa melihat bayangannya dalam cermin.

Merasa dikerjai lelakinya, perempuan muda itu pun meninggalkan lelakinya sambil ngedumel. Kembali kepada pekerjaannya di dapur.

Sementara itu Danar masih saja merasa aneh dan cemas. Ia merasa, sepertinya jasadnya masih tinggal di rumah lama. ***

Kalinyamatan – Jepara, 2012
 

Leave a Reply