Cerpen Republika, 1 Juli 2012 – oleh Mashdar Zainal
Ketika
Leyla memutuskan untuk mengungsi, meninggalkan kampong halamannya, perih yang
melilit perutnya kian menjadi-jadi. Terlampau perihnya, hingga seluruh
pandangannya terasa buram. Leyla seperti melihat ribuan kunang-kunang
berlesatan mengitari kepalanya. Selanjutnya, ia menyebut kunang-kunang itu
sebagai sang maut. Sang maut yang selalu menguntitnya dan sewaktu-waktu siap
mengantarnya menyusul almarhum suaminya.
Di
kampungnya, Baydhabo, hujan terakhir turun sekitar tiga tahun lalu. Tanah-tanah
menguning menyisakan debu. Pepohonan meranggas dan mati. Ternak-ternak
kekurangan air dan akhirnya membangkai menjadi santapan burung nasar. Pada
akhirnya para penduduk lebih memilih untuk mengungsi ke kamp di Mogadishu
daripada mati kelaparan.
Leyla
terus melangkah, menggendong anaknya yang kering seperti boneka kayu.
Dari
perkampungannya ia harus menempuh perjalanan sejauh 150 kolimeter dengan
berjalan kaki untuk sampai di Mogadishu. Tapi, itu tak masalah. Ia takkan putus
harapan. Bahkan, ia tak peduli pada sang maut yang sudah sangat dekat
mengintai, di atas kepalanya. Lapar memang. Dahaga memang. Terik memang.
Tersengal memang. Tapi, setidaknya, jika harus mati, ia tidak akan mati
sia-sia. Ia mati dalam jihad, jihad mempertahankan dua nyawa, nyawa anaknya
yang masih lima tahun, dan nyawanya sendiri.
Bagi
Leyla, Mogadishu adalah satu-satunya muara untuk mempertahankan arus hidupnya
yang kerontang. Konon, di Mogadishu ada kamp yang menampung orang-orang
kelaparan. Di sana panitia menyediakan air, makanan, kemah, juga toilet.
Bersama puluhan penduduk lainnya, Leyla berjalan terseok seperti pendaki gunung
yang kehabisan tenaga sebelum sampai puncaknya. Sementara itu, matahari terus
membara, rasanya seperti di atas kepala. Dari tubuh-tubuh pekat itu bercucuran
keringat. Leyla masih berjalan tersengal. Dalam gendongannya, si kecil terus
menangis menahan lapar. Di antara cucuran keringat, Leyla pun mencucurkan air
mata. Asin.
“Sebentar
lagi sampai, Nak,” bisiknya hampir tak terdengar. Di belakang punggungnya,
si kecil masih terus menangis. Sudah lima kali ia menyaksikan orang-orang
ambruk di tengah jalan. Seorang anak kecil menempel dalam gendongan ibunya yang
meringkuk di tanah. Perempuan renta yang menggelosor di tanah membara, matanya
melebar menahan lapar. Seorang lelaki tua yang memilih diam dan mati karena
sudah tidak memiliki sisa tanaga. Leyla menyaksikan semua itu, miris, tapi ia
pun tak bisa berbuat apa-apa. Mengingat kunang-kunang masih mengitari
penglihatannya, beberapa menit berikutnya, bisa saja ia yang ambruk, dan
segeralah anaknya yang menjadi yatim piatu.
***
Leyla
paham maut bisa sangat dekat dan menjelma menjadi apa saja, termasuk lapar. Di
perkampungan tempat ia tinggal, lapar telah membunuh puluhan orang, tak pandang
bulu dan usia. Semenjak perang saudara meletus dan mesiu bisa meledak kapan
saja dan di mana saja tanpa terduga, ditambah bencana kekeringan yang tak
berkesudahan, perkampungan tempat ia tinggal tak ubahnya neraka. Tak ada lagi
harapan hidup di sana. Sang maut telah membaluri perkampungan itu dengan rasa
khawatir dan rasa lapar yang begitu mengerikan. Satu-satunya harapan hidup
adalah Mogadishu.
Dengan
harapan-harapan cerlang, Leyla terus menapakkan telapak kakinya yang sudah mati
rasa. Tiba-tiba Leyla membayangkan, barangkali di padang mahsyar keadaannya tak
jauh berbeda. Panas. Lapar. Dahaga. Membayangkan itu, perut Leyla kian panas
melilit. Ia tak heran jika anaknya menangis tak henti-henti. Di atas kepalanya,
kunang-kunang yang ia sebut sebagai jelmaan sang maut itu masih menari-nari.
Ketika mengerjapkan mata, Leyla seperti berada di sebuah tempat yang gerah
dengan lampu disko yang benderang dan berkilat-kilat. Hampir saja ia ambruk
oleh silaunya.
“Mogadishu,
Mogadishu, kita sampai,” selintas teriakan itu membuyarkan pikirannya. Leyla
seperti terbangun dari igauan.
Di
sela kilauan bara matahari, sambil mengerjap-ngerjapkan mata, Leyla bisa
melihat puluhan atau mungkin ratusan kemah berjajar di hadapannya. Tak seperti
yang ia bayangkan. Kemah itu tak lebih bagus dari gubuk tempat tinggalnya.
Kemah-kemah itu menggunduk serupa rumah keong. Ranting-ranting kayu, kain, dan
plastik-plastik bekas tersampir sembarangan di atasnya. Leyla membayangkan
betapa panasnya berada dalam kemah keong itu. Pasti rasanya seperti dalam
tungku. Tapi tak apa, di sini masih ada harapan hidup, pikirnya.
Leyla
berlari kecil, menyongsong perkemahan itu. Ia menyaksikan puluhan orang tengah
meringkuk tak berdaya dalam kemah-kemah lusuh itu. Beberapa anak memainkan
panci kosong di depan pintu, beberapa yang lain mengisi panci-panci itu dengan
butiran debu. Di tempat lain, Leyla menyaksikan seorang lelaki kurus sedang
menggali tanah. Di sebelahnya, jasad seorang bocah terbujur, matanya mendelik, tulang
dan rangka menyembul di antara kulit yang menghitam, mirip janin yang hangus.
Bau tak sedap menyeruak. Lalat beterbangan. Leyla merinding, lapar benar-benar bisa
lebih kejam dari yang ia bayangkan. Ia melirik anaknya yang sedang tertidur di
punggungnya. Ia lega meski hatinya sesak tak terkata.
***
Karena
persediaan makanan tak lebih banyak dari warga yang kelaparan maka orang-orang
harus mengantre untuk mendapatkan jatahnya. Mereka akan mengantre tiga hari
sekali. Oh, untuk sepanci bubur, penantian tiga hari akan terasa sangat lama. Bahkan,
untuk mengantre makanan itu beberapa orang harus bertaruh nyawa. Kepala Leyla
berdenyut membayangkan itu semua. Kunang-kunang yang mengitari kepalanya kian
beringas berlesatan membaluri tubuhnya. “Apa aku akan segera mati?” tanyanya
dalam hati.
Sekilas
ia melirik anaknya yang teronggok lemas dalam pangkuannya. Leyla tahu mengapa
anak itu sudah tidak menangis lagi. Lapar membuatnya kehabisan daya, bahkan
untuk menangis. Jatahnya mengantre masih dua hari lagi, ia tak yakin anaknya
bisa bertahan dari maut. Kunang-kunang yang semula berlesatan di antara
kepalanya kini berhamburan membaluri tubuh kering anaknya. Leyla paham itu
alamat apa. Sambil menangis, Leyla bangkit dari duduknya. Di dekapnya bocah
kecil yang kerontang itu erat-erat. Ia berlari, menyerundul antrean orang-orang
yang membawa panci.
“Hei,
Nyonya, kau harus mengantre,” kata seorang pria kurus yang mengenakan jubah
lusuh.
“Tolong,
anak saya kelaparan, tolong!” Leyla memelas.
“Kita
semua di sini kelaparan. Tapi, tetap saja kita harus mengindahkan peraturan.
Kita semua di sini mengantre. Kau pun harus mengantre.”
“Tapi,
jatah antrean saya masih dua hari lagi, saya takut…”
“Anda
bukan orang pertama yang mengatakan itu,” tandas lelaki itu.
Antrean
terus berjalan ke depan. Leyla merengek ke sana kemari untuk mendapat belas
kasihan. Namun, sungguh, Leyla tak menyalahkan siapa pun jika pada akhirnya ia
harus pasrah menyerahkan anaknya pada sang maut. Ia bukan satu-satunya orang
yang mengalami itu. Leyla terhuyung meninggalkan deret antrean. Ia menatap
anaknya sekali lagi. Napas anak itu terdengar ngik-ngik. Matanya membelalak dan
berair. Ia menatap anaknya dengan tatapan sesal.
Leyla
tertunduk, terduduk dalam kemah yang membara. Ia menyaksikan kunang-kunang itu
berputar-putar di kepala anaknya, di tubuh anaknya. Ia menatap mata lebar itu
tanpa henti. Keringatnya bercucuran. Air matanya bercucuran. Jika kau harus
pergi, pergilah, Nak. Mungkin di sana lebih baik. Konon, di sana ada banyak
pepohonan dan sungai. Di sana tak ada matahari yang membakar. Di sana akan
banyak sekali makanan. Pergilah, jika kau harus pergi, Nak.
Perlahan,
Leyla menyaksikan tubuh anaknya mengejang. Perlahan, mata yang terbelalak itu
mengatup. Seperti bayi yang mengantuk usai tertawa panjang. Leyla merengkuh
tubuh anaknya lebih erat. Aroma kematian begitu lekat. Leyla
mengguncang-guncangkan tubuh anaknya. Di dengarnya sendi-sendi kecil itu
beradu, bergemeretak, seperti boneka kayu. Leyla tak percaya anaknya pernah
hidup. Pernah tertawa bersamanya. Pernah memanggilnya ‘Ma’. Leyla tak bisa
menahan air matanya. Ia juga heran mengapa air matanya tak juga habis.
Barangkali suatu saat ia bisa meminumnya ketika dahaga.
***
Leyla
melangkah keluar dari dalam kemah. Matahari begitu jalang. Leyla teringat pada
lelaki yang beberapa waktu lalu menggali tanah untuk mengubur jasad anaknya.
Tampaknya ia harus melakukan hal yang sama. Leyla mengamati tanah lapang di
sekitar kemah. Ada beberapa gundukan yang ia yakini sebagai makam. Dengan
sebuah sekrup yang tergeletak di dinding kemah, Leyla mulai menandai galian.
Jasad anaknya yang sudah beku ia letakkan di sebelahnya. Lalat mulai menguing
berdatangan. Leyla mulai menggali perlahan. Rasa lapar yang menyengat perutnya
tiba-tiba hilang. Atau barangkali ia sudah tidak memikirkannya lagi. Leyla baru
tahu bahwa ternyata kesedihan bisa menghilangkan rasa lapar.
Leyla
terus menggali meski sendi-sendinya terasa hampir lumpuh. Dibopongnya sendiri
jasad anaknya yang meranggas. Diletakkannya jasad itu di lubang galian yang tak
terlalu dalam. Tanpa kafan. Tanpa apa pun. Ketika Leyla menimbun jasad kering
itu dengan tanah, perasaannya teraduk-aduk. Rasanya seperti tak ada lagi
sesuatu yang harus ia pertahankan.
Beberapa
orang hanya termangu menyaksikan Leyla berjibaku dengan debu, keringat, dan air
mata. Tentu ini bukan pemandangan baru. Di Baydhabo ataupun di Mogadishu sama
saja, setiap orang bisa saja mati karena kelaparan. Leyla hanya harus menunggu
kapan sang maut benar-benar merengkuhnya.
Siang
berjalan sangat lamban seperti sebuah adegan kehidupan yang dilambatkan. Di depan
kemahnya, Leyla terduduk lemas menggenggam sebuah panci yang tak pernah terisi.
Dari sela-sela kemah yang butut itu, dari kejauhan Leyla melihat puluhan atau mungkin
ratusan orang berjajar memanjang membentuk antrean. Leyla membayangkan sesuatu
bahwa sesungguhnya orang-orang itu sedang mengantre maut.
Dengan
mata terpicing, Leyla terus menyaksikan antrean itu bergerak maju. Entah
mengapa Leyla tak tertarik untuk ikut mengantre meski hari ini ia mendapat
jatah antrean. Rasa lapar yang semula membakar perutnya berangsur-angsur reda.
Leyla tersenyum. Ia benar-benar merasa bahwa tak ada lagi yang perlu ia
pertahankan. Leyla terus memperhatikan antrean itu dari kejauhan. Ia membayangkan,
mungkin kini anak dan suaminya sedang berteduh di sebuah tempat sambari
menyantap nasi samin dan kurma muda.
Leyla
kembali tersenyum ketika kunang-kunang itu kembali berkelebat dan berputar-putar
di atas kepalanya.
Malang, Mei, 2012
Penulis
lahir di Madiun, 5 Juni 1984. Saat ini tinggal di Malang, Jawa Timur.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل