Senin, 02 Juli 2012

TEMBANG KEHIDUPAN

0 komentar

Cerpen Waspada, 1 Juli 2012 – oleh Ady Harboy

Manusia yang hidup di dunia ini, menurut Mbah Klontong adalah akal. Sebab kalau tak mempunyai akal, tentu namanya bukan manusia. Mungkin jadi namanya Obrok-Obrok atau Ojlok-Ojlok atau Kcak Kcrik atau apalah namanya.

Akal yang sesungguhnya bagi sang Mbah tidak lain dan tidak bukan ialah Manusia itu sendiri. Sebab katanya sedikit garang, manusia yang indentik dengan akalnya itu, adalah adanya kebahagiaan, adanya kebimbangan, adanya keragu-raguan dan adanya ketidakpuasan.

Seperti petatah petih yang pernah aku dengar ketika aku masih kecil dahulu. Ini juga tersiar dari mulutnya Mbahku sendiri, jelas Mbah Klontong meyakinkan. Seingatku, pada suatu siang ia pernah berkisah yang intinya adalah manusia berperan utuh terhadap akalnya. Apa sebab begitu? Tanyanya sendiri. Ya sesungguhnya setiap peristiwa hidup memang membutuhkan akal yang bukan akal-akalan. Karena, tegasnya, banyak sekali orang-orang yang berbincang tentang kemelaratannya, sementara di lain pihak ia bercokol dengan kenistaan di atas penderitaan yang dicincang pergolakannya sendiri. Artinya, ia masih meragukan dirinya sendiri dikarenakan ia di persimpangan antara melarat yang sangat sekarat.

Lalu, manusia itu selalu saja berangan-angan, padahal angan-angan itu tak pernah sampai. Maka bercucuranlah keringatnya sia-sia. Seterusnya, bermainlah akalnya, lalu dibaringkannya tubuhnya yang lelah itu, kemudian ia terlelap pasrah. Dan ternyata apa yang dibayangkan itu jauh dan bahkan sangat jauh dari kemampuannya sendiri. Justru sang akal itu belum menyadarinya secara utuh. Bahkan, katanya spontan, sangat terang mimpiku dalam hidup, nyataku terpenggal oleh dusta, dan dosa tertawa begitu riuhnya. Sehingga aku, katanya, menjadi lupa berteriak histeris. Kemudian, katanya lagi, ia memukul bulan yang jauh sebegitu dekatnya, nah yang dekat justru dilihatnya sangatlah jauh.

Ternyata, ungkapnya lagi, aku telah alpa mengisi hidup. Kemudian aku terdiam. Sedangkan akal-akal yang lain justru tak mampu melupakan kealpaannya, akan tetapi terus-menerus bertanya di atas tanya. “Aku kian bingung bahkan limbung seribu bahasa,” geramnya.

Pada siang yang lain, sang Mbahku melanjutkan kisahnya, katanya; Kerapkali kita menyenandungkan kebisingan, merangkul daki kata semusim, meluruhkan gejolak-gejolak nadi, dan barangkali untai melodi membabi melodi, nyeri dan nisbi pun serasi, mencangkul hati, dialoqsi bernilai hakiki, tinggi tak harus dimaki ataupun dicela caci. “Inilah tembang kehidupan yang selalu gaduh serta sumbang, mungkin begitukah kehidupan itu, cucuku?” Kerut keningnya terlihat seolah bertanya padaku. Sangat mengguncang.

Aku mendengarnya pun tak habis kamus. Kehidupan ini Mbah, kataku, bagaikan bingkai kasih yang terjalin sangat erat mengikat, dan asmara berkobar seolah bara membara di dada tegarku, walau kesumat waktu terjerat sakral, nikmati sajalah Mbah? Nikmatilah dengan sungguh-sungguh, sebab ia sangat suci dalam pertautan hati atas rasa kita berbagi kasih!

Sang Mbah melompong bodoh. Namun ia tak habis akal, sebab ia tahu bahwa akal adalah manusia yang berakal, katanya dalam hati. Kemudian ia menjawab; Ini alibi yang mengatasnamakan burung pipit yang menggericit di dahan rapuh tanpa daun. Sebab musabab apa ia begitu? Ya pada saat itu Papa dan Mamanya jarang sekali pulang kekandang, paling-paling sekenanya saja. Pada hal mereka semua, anak-anaknya, merengek dalam isak tangis, dalam rengek membatin oleh belas kasih. Namun apa yang terjadi! Ketika mereka beranjak berusia ranum, mencari pelindung walau tak setara Papa dan Mamanya, justru mereka semua kepingin pula mengikuti sejarah cerminan Papa dan Mamanya itu. Mereka akhirnya sama dan sebangun, jarang pulang ke kandang. Sebab, katanya lirih, lembaran waktu dan kamus masih utuh di kepala masing-masing, anak-anak ranum itu melebarkan kamus serta mengikuti kemana angin berhembus. Apa boleh buat. Crit…. crit… cit… cit…. simphoni anak pipit mencari kasih, mencari cinta kepada Papa dan Mamanya, minta dahaga dalam hidupnya, minta suaka dan terus-menerus mengericit.

Aku tersenyum mendengarkan celotehnya walau tanpa menghiraukan suasana zaman yang terus bergerak dan terus kian beranjak, tanpa arah namun aku tetap saja buta warna ‘tuk menterjemahkan apa-apa saja yang telah dikatakan sang Mbah.

Yang jelas pikirku, hidup ini adalah bayang-bayang kematian, dan ketertakutan bertemu Tuhan. Adalah terhitung akan perbuatan yang selalu membuatku kelimpungan. Sebab, desir hatiku berkata; Hidup mati itu tetap kembali kepadaNYA – Yang Maha Pencipta Alam sekalian kehidupan berikut makhluk-makhluknya. Begitulah silih berganti mengenai kehidupan ini. Atau, kataku pada Mbah; Untuk menghidupi dan lalu mengharungi ombak kehidupan ini, adalah bagaikan air yang tak berbatas, jauh nun di muka bahari, kanan dan kiri, tanpa sisi, dan kita berada di tengah-tengahnya. Hendak ke mana tujuan tergantung angin yang berputar di anjungan. Walau terkadang oleng kemudi, kemudian tenang, oleng dan tenang begitulah layaknya mengharungi, menghidupi, menjumpai dan menyudahi kehidupan itu. Begitu kehidupan ini silih berganti, tegasku!

Mbah bersemangat, mukanya rada memerah, dan ia bertanya; Ini soal bencana, katanya, kemelut yang silang tindih bumi gegap gempita, bencana jangan ditanya lagi. Adakah kesadaran di bawah sadar yang sangat tegar? Sedangkan makelar-makelar berdesakan, sedangkan stress tak tertanggulangi, edan! Pekiknya padaku.

Jangan begitu, Mbah…. memang kita sadari bahwa arus zaman bagaikan simphoni dengkur yang terlelap nyenyak, bait dan frase tak tentu tangis dan menegur kemiskinan, ya berlombalah kita menjaring bola, di ujung masa berganti cuaca, terlena kita nantinya berkepanjangan. Lalu pada kenyataannya kita akan tertawa geli, atau malah nantinya kita disebut tak waras? Walau kita tak mundur untuk persepsi yang tak jelas seperti itu, jelasku.

Itu belum berita langka, cucuku. Yang langka itu coba kau camkan; Tahyul…. syirik…mendua, itulah menggelitik fenomena, tersiar berita-berita langka, itu boleh jadi dikarenakan dinding zaman masih ditumbuhi oleh bisul-bisul naïf, kesucian malah dilumuri kemunafikan, dilulur rayuan pulau kehidupan nyata. Nanti, dan apabila dinding meretak yang disalahkan adalah fundamen utuh tanpa tiang penyanggah. Tangisan, katanya tak berarti secukupnya, poros dari keadilan belum juga merata, terancam kita oleh siasat keguguran maknanya nyawa, induvidu-induvidu berdiri sendiri, tak ambil perduli, beginilah rentanya zaman itu!

Benar kata pepatah kuno, Mbah…. lanjutku, untuk menggapai sesuatu selalu saja terbawa arus dari segala penjuru arus. Baik dan buruk laksana tujuan di batas kemana arah haluan. Benar-benar kata pepatah kuno; Sesuaikanlah dirimu apabila masuk ke sarang macan sekalipun, apakah kamu setuju menggapainya?

Lah iya…. kebahagiaan itu tanpa batasan wahai cucuku, maka jangan mencarinya di atas batas, sebab bahagia tanpa batas itu sangat berbahaya dan cara mencarinya lupakanlah syeitan segala kedurjanaan, justru tunduk runduklah kita kepada Tuhan, sebagaimana cara atas pinta-pintaNYA.

Caranya sangat sederhana, wahai cucuku; Amalkanlah sebuah prolog panjang, bisikan dan wahyu, lalu mainkanlah dialog-dialog tentang peristiwa methafor, kukuhkan dunia dari segala cita dari segala cinta dan cipta, kungkungkanlah sebuah kamus dan berbagai kemungkinan itu, laporkanlah kepada kewajiban, Iman yang tangguh bicarakanlah langsung dengan atau kepada TUHAN. Bahwa kita menyadari kehidupan yang dianugrahkannnya, agar kita khusuk pula walau melakukannya tanpa zikir berkepanjangan. Maka, bersepakatlah penuh persepsi. Kesadaran itu klenik, menyadari itu fenomena, bersepakatlah penuh persepsi lalu jadikan diri suci tabula rasa, kriteria tanpa preteks, terjangkan genus pietas kepada diri sendiri! Uhhhcg!

Nah yang sulitnya Mbah, kita-kita yang hidup ini selalu saja menjunjung kata benci. Sampai batas penantian yang tiada ujung, tiada pangkal dari kebosanan, membahana dendam dera membathin sukma, memurkai sederab peristiwa-peristiwa sua demi sua. Lalu, selalu saja kita berujar, benci aku padamu!

Ya sadarilah bahwa sesungguhnya kita akan lebur wahai cucuku. Pada saatnya bumikan hancur, pada saatnya badai menggempur, pada saatnya dunia telah luka, pada saatnya hari kiamat tiba, siapakah penghuni alam semesta? Merenunglah, cucuku, bisikkan dalam khayal nyata, azal sesungguhnya sudah mengikuti diri, berbaktilah kepada perintah yang kuasa, sebab hidup ini sementara adanya, hidup ini ibaratkan indekost, pahamkah kau?

Mbah, orang-orang selalu berkata apa yang dikehendaki oleh kita, orang-orang juga berkata apa saja suka duka kita, adakalanya mencemoohkan kita, mungkin kita dan ia juga, berikut iri dan dengki di sana-sini pesat bagaikan cendawan, juga dalam prestasi karir maupun kedudukan, baik pribadi maupun penyakit cemburu yang tak pernah puas-puas itu. Maka, untuk sementara, kita sebut saja orang-orang itu adalah penyakit dan penyakit itu adalah orang-orang yang tak memiliki akal. Nah itu pun apabila sepi dan resah menghampiri.

Lihat buktinya, Mbah….bencana di mana-mana. Hiruk pikuk dan huru-hara, propaganda, memperkosa dan diperkosa haknya, walau hingar-bingar yang reaksinya memutar, bahkan diputar penuh kelakar. Bencana di mata hati kita sudah….ia bergelayut dalam segala pundi-pundi. Noktah ini!

Cucuku… nafas yang tiada tentu denyut dan berhentinya, maafkanlah segala semboyan yang masih simpang siur silih berganti. Mengalir sajalah…larutlah kita seperti air yang mengalir itu, tiada henti mendekap ketentuan serta lebih baik atau sebaiknya kita berbuat tidak ada kata pasrah, bukan pasrah mendarah daging, sadari itu dan pahami arus kuat aliran air yang mengalir itu. Karena, bagaimanapun juga, nanti, pada saatnya, kita juga akan tergila-gila oleh kenikmatan waktu. Pada hal, yang kita lihat itu tak cantik rupawan, akan tetapi karena di wajahnya ada bintang, ada kemenangan dan ada yang kita suka, justru bayangkanlah bintang dari segala bintang yang tercantik, kalau perlu yang ultra cantik. Sebab disegala penjuru dunia ini, masih ada lagi yang terpenting dari yang sangat penting. Maka bersatulah kita, bersabarlah kita, anggaplah nyanyian semata, bak seindah pelangi yang membentang dan semanis senyummu kau warna warni juwita.

Kita akan rindu, cucuku….kita akan cemburu cucuku….kita akan mampu. Justru bersatulah dalam hidup yang abadi, nanti, apapun yang akan terjadi. Semua kita pikul bersama, setuju!

Ya…aku setuju, Mbah….namun malam ini suasana sungguh sepi mencekam, bahkan sungguh mengerikan sekali, Mbah. Dengar…. mari kita dengarkan suara jangkrik yang memelas mengundang tanya. Dan dengkur kuli bangunan yang nyenyak pulas di samping kerenda hemperan tanah wakaf. Lihat juga, Mbah…ada beberapa nasib yang melepas penat, lelah dan penat tuk lusa ia membingkai waktu, dan sebahagian properti malah terlihat tambal sulam dan mereka menggenggam sekarung cita-cita. Lalu, ke esok harinya, mereka terbangun dalam arena pagi yang sungguh hening, kemudian mereka tergelonjak dalam pekik si jantan yang menggema bertalu-talu.

Sejak temaram mereka di ambang pintu tanya, tak jarang tercabut nyawa tragis mengerikan, begitulah tantangan kehidupan itu dilaluinya, Mbah. Walau siang dan malamnya ada pula yang bersemedi, menangis yang tak pula cengeng merintih akan nasibnya masing-masing, begitu prihatinnya nafas-nafas ini? Tidak, mbah… justru mereka berjuang untuk bumi sekalian alam. Mereka bercermin dari keutuhan hidup yang ada. Mereka adalah beberapa nafas mengaduk reaksi kepada pertiwi, sungguh berbudi dari berjudi atau mencuri hak-hak orang lain. Sungguh…. ini hakikinya sebuah peradaban sekaligus kepribadian duniawi. Selain itu kita sendiri yang tahu.

* Penulis: Pekerja Seni –Budaya dan Praktisi Media
  

Leave a Reply