Cerpen Waspada, 1 Juli 2012 – oleh Ady Harboy
Manusia
yang hidup di dunia ini, menurut Mbah Klontong adalah akal. Sebab kalau tak
mempunyai akal, tentu namanya bukan manusia. Mungkin jadi namanya Obrok-Obrok
atau Ojlok-Ojlok atau Kcak Kcrik atau apalah namanya.
Akal
yang sesungguhnya bagi sang Mbah tidak lain dan tidak bukan ialah Manusia itu
sendiri. Sebab katanya sedikit garang, manusia yang indentik dengan akalnya
itu, adalah adanya kebahagiaan, adanya kebimbangan, adanya keragu-raguan dan
adanya ketidakpuasan.
Seperti
petatah petih yang pernah aku dengar ketika aku masih kecil dahulu. Ini juga
tersiar dari mulutnya Mbahku sendiri, jelas Mbah Klontong meyakinkan. Seingatku,
pada suatu siang ia pernah berkisah yang intinya adalah manusia berperan utuh
terhadap akalnya. Apa sebab begitu? Tanyanya sendiri. Ya sesungguhnya setiap
peristiwa hidup memang membutuhkan akal yang bukan akal-akalan. Karena,
tegasnya, banyak sekali orang-orang yang berbincang tentang kemelaratannya, sementara
di lain pihak ia bercokol dengan kenistaan di atas penderitaan yang dicincang pergolakannya
sendiri. Artinya, ia masih meragukan dirinya sendiri dikarenakan ia di
persimpangan antara melarat yang sangat sekarat.
Lalu,
manusia itu selalu saja berangan-angan, padahal angan-angan itu tak pernah
sampai. Maka bercucuranlah keringatnya sia-sia. Seterusnya, bermainlah akalnya,
lalu dibaringkannya tubuhnya yang lelah itu, kemudian ia terlelap pasrah. Dan
ternyata apa yang dibayangkan itu jauh dan bahkan sangat jauh dari kemampuannya
sendiri. Justru sang akal itu belum menyadarinya secara utuh. Bahkan, katanya
spontan, sangat terang mimpiku dalam hidup, nyataku terpenggal oleh dusta, dan
dosa tertawa begitu riuhnya. Sehingga aku, katanya, menjadi lupa berteriak
histeris. Kemudian, katanya lagi, ia memukul bulan yang jauh sebegitu dekatnya,
nah yang dekat justru dilihatnya sangatlah jauh.
Ternyata,
ungkapnya lagi, aku telah alpa mengisi hidup. Kemudian aku terdiam. Sedangkan akal-akal
yang lain justru tak mampu melupakan kealpaannya, akan tetapi terus-menerus bertanya
di atas tanya. “Aku kian bingung bahkan limbung seribu bahasa,” geramnya.
Pada
siang yang lain, sang Mbahku melanjutkan kisahnya, katanya; Kerapkali kita
menyenandungkan kebisingan, merangkul daki kata semusim, meluruhkan gejolak-gejolak
nadi, dan barangkali untai melodi membabi melodi, nyeri dan nisbi pun serasi,
mencangkul hati, dialoqsi bernilai hakiki, tinggi tak harus dimaki ataupun dicela
caci. “Inilah tembang kehidupan yang selalu gaduh serta sumbang, mungkin
begitukah kehidupan itu, cucuku?” Kerut keningnya terlihat seolah bertanya
padaku. Sangat mengguncang.
Aku
mendengarnya pun tak habis kamus. Kehidupan ini Mbah, kataku, bagaikan bingkai kasih
yang terjalin sangat erat mengikat, dan asmara berkobar seolah bara membara di
dada tegarku, walau kesumat waktu terjerat sakral, nikmati sajalah Mbah?
Nikmatilah dengan sungguh-sungguh, sebab ia sangat suci dalam pertautan hati atas
rasa kita berbagi kasih!
Sang
Mbah melompong bodoh. Namun ia tak habis akal, sebab ia tahu bahwa akal adalah manusia
yang berakal, katanya dalam hati. Kemudian ia menjawab; Ini alibi yang
mengatasnamakan burung pipit yang menggericit di dahan rapuh tanpa daun. Sebab
musabab apa ia begitu? Ya pada saat itu Papa dan Mamanya jarang sekali pulang
kekandang, paling-paling sekenanya saja. Pada hal mereka semua, anak-anaknya, merengek
dalam isak tangis, dalam rengek membatin oleh belas kasih. Namun apa yang
terjadi! Ketika mereka beranjak berusia ranum, mencari pelindung walau tak
setara Papa dan Mamanya, justru mereka semua kepingin pula mengikuti sejarah
cerminan Papa dan Mamanya itu. Mereka akhirnya sama dan sebangun, jarang pulang
ke kandang. Sebab, katanya lirih, lembaran waktu dan kamus masih utuh di kepala
masing-masing, anak-anak ranum itu melebarkan kamus serta mengikuti kemana
angin berhembus. Apa boleh buat. Crit…. crit… cit… cit…. simphoni anak pipit
mencari kasih, mencari cinta kepada Papa dan Mamanya, minta dahaga dalam
hidupnya, minta suaka dan terus-menerus mengericit.
Aku
tersenyum mendengarkan celotehnya walau tanpa menghiraukan suasana zaman yang
terus bergerak dan terus kian beranjak, tanpa arah namun aku tetap saja buta
warna ‘tuk menterjemahkan apa-apa saja yang telah dikatakan sang Mbah.
Yang
jelas pikirku, hidup ini adalah bayang-bayang kematian, dan ketertakutan
bertemu Tuhan. Adalah terhitung akan perbuatan yang selalu membuatku kelimpungan.
Sebab, desir hatiku berkata; Hidup mati itu tetap kembali kepadaNYA – Yang Maha
Pencipta Alam sekalian kehidupan berikut makhluk-makhluknya. Begitulah silih
berganti mengenai kehidupan ini. Atau, kataku pada Mbah; Untuk menghidupi dan lalu
mengharungi ombak kehidupan ini, adalah bagaikan air yang tak berbatas, jauh
nun di muka bahari, kanan dan kiri, tanpa sisi, dan kita berada di
tengah-tengahnya. Hendak ke mana tujuan tergantung angin yang berputar di
anjungan. Walau terkadang oleng kemudi, kemudian tenang, oleng dan tenang
begitulah layaknya mengharungi, menghidupi, menjumpai dan menyudahi kehidupan itu.
Begitu kehidupan ini silih berganti, tegasku!
Mbah
bersemangat, mukanya rada memerah, dan ia bertanya; Ini soal bencana, katanya, kemelut
yang silang tindih bumi gegap gempita, bencana jangan ditanya lagi. Adakah
kesadaran di bawah sadar yang sangat tegar? Sedangkan makelar-makelar berdesakan,
sedangkan stress tak tertanggulangi, edan! Pekiknya padaku.
Jangan
begitu, Mbah…. memang kita sadari bahwa arus zaman bagaikan simphoni dengkur
yang terlelap nyenyak, bait dan frase tak tentu tangis dan menegur kemiskinan,
ya berlombalah kita menjaring bola, di ujung masa berganti cuaca, terlena kita
nantinya berkepanjangan. Lalu pada kenyataannya kita akan tertawa geli, atau
malah nantinya kita disebut tak waras? Walau kita tak mundur untuk persepsi
yang tak jelas seperti itu, jelasku.
Itu
belum berita langka, cucuku. Yang langka itu coba kau camkan; Tahyul….
syirik…mendua, itulah menggelitik fenomena, tersiar berita-berita langka, itu
boleh jadi dikarenakan dinding zaman masih ditumbuhi oleh bisul-bisul naïf, kesucian
malah dilumuri kemunafikan, dilulur rayuan pulau kehidupan nyata. Nanti, dan apabila
dinding meretak yang disalahkan adalah fundamen utuh tanpa tiang penyanggah. Tangisan,
katanya tak berarti secukupnya, poros dari keadilan belum juga merata, terancam
kita oleh siasat keguguran maknanya nyawa, induvidu-induvidu berdiri sendiri,
tak ambil perduli, beginilah rentanya zaman itu!
Benar
kata pepatah kuno, Mbah…. lanjutku, untuk menggapai sesuatu selalu saja terbawa
arus dari segala penjuru arus. Baik dan buruk laksana tujuan di batas kemana
arah haluan. Benar-benar kata pepatah kuno; Sesuaikanlah dirimu apabila masuk
ke sarang macan sekalipun, apakah kamu setuju menggapainya?
Lah
iya…. kebahagiaan itu tanpa batasan wahai cucuku, maka jangan mencarinya di
atas batas, sebab bahagia tanpa batas itu sangat berbahaya dan cara mencarinya
lupakanlah syeitan segala kedurjanaan, justru tunduk runduklah kita kepada
Tuhan, sebagaimana cara atas pinta-pintaNYA.
Caranya
sangat sederhana, wahai cucuku; Amalkanlah sebuah prolog panjang, bisikan dan
wahyu, lalu mainkanlah dialog-dialog tentang peristiwa methafor, kukuhkan dunia
dari segala cita dari segala cinta dan cipta, kungkungkanlah sebuah kamus dan
berbagai kemungkinan itu, laporkanlah kepada kewajiban, Iman yang tangguh bicarakanlah
langsung dengan atau kepada TUHAN. Bahwa kita menyadari kehidupan yang dianugrahkannnya,
agar kita khusuk pula walau melakukannya tanpa zikir berkepanjangan. Maka,
bersepakatlah penuh persepsi. Kesadaran itu klenik, menyadari itu fenomena,
bersepakatlah penuh persepsi lalu jadikan diri suci tabula rasa, kriteria tanpa
preteks, terjangkan genus pietas kepada diri sendiri! Uhhhcg!
Nah
yang sulitnya Mbah, kita-kita yang hidup ini selalu saja menjunjung kata benci.
Sampai batas penantian yang tiada ujung, tiada pangkal dari kebosanan,
membahana dendam dera membathin sukma, memurkai sederab peristiwa-peristiwa sua
demi sua. Lalu, selalu saja kita berujar, benci aku padamu!
Ya
sadarilah bahwa sesungguhnya kita akan lebur wahai cucuku. Pada saatnya bumikan
hancur, pada saatnya badai menggempur, pada saatnya dunia telah luka, pada
saatnya hari kiamat tiba, siapakah penghuni alam semesta? Merenunglah, cucuku,
bisikkan dalam khayal nyata, azal sesungguhnya sudah mengikuti diri,
berbaktilah kepada perintah yang kuasa, sebab hidup ini sementara adanya, hidup
ini ibaratkan indekost, pahamkah kau?
Mbah,
orang-orang selalu berkata apa yang dikehendaki oleh kita, orang-orang juga berkata
apa saja suka duka kita, adakalanya mencemoohkan kita, mungkin kita dan ia
juga, berikut iri dan dengki di sana-sini pesat bagaikan cendawan, juga dalam
prestasi karir maupun kedudukan, baik pribadi maupun penyakit cemburu yang tak
pernah puas-puas itu. Maka, untuk sementara, kita sebut saja orang-orang itu
adalah penyakit dan penyakit itu adalah orang-orang yang tak memiliki akal. Nah
itu pun apabila sepi dan resah menghampiri.
Lihat
buktinya, Mbah….bencana di mana-mana. Hiruk pikuk dan huru-hara, propaganda, memperkosa
dan diperkosa haknya, walau hingar-bingar yang reaksinya memutar, bahkan diputar
penuh kelakar. Bencana di mata hati kita sudah….ia bergelayut dalam segala
pundi-pundi. Noktah ini!
Cucuku…
nafas yang tiada tentu denyut dan berhentinya, maafkanlah segala semboyan yang
masih simpang siur silih berganti. Mengalir sajalah…larutlah kita seperti air
yang mengalir itu, tiada henti mendekap ketentuan serta lebih baik atau
sebaiknya kita berbuat tidak ada kata pasrah, bukan pasrah mendarah daging,
sadari itu dan pahami arus kuat aliran air yang mengalir itu. Karena, bagaimanapun
juga, nanti, pada saatnya, kita juga akan tergila-gila oleh kenikmatan waktu.
Pada hal, yang kita lihat itu tak cantik rupawan, akan tetapi karena di
wajahnya ada bintang, ada kemenangan dan ada yang kita suka, justru
bayangkanlah bintang dari segala bintang yang tercantik, kalau perlu yang ultra
cantik. Sebab disegala penjuru dunia ini, masih ada lagi yang terpenting dari
yang sangat penting. Maka bersatulah kita, bersabarlah kita, anggaplah nyanyian
semata, bak seindah pelangi yang membentang dan semanis senyummu kau warna
warni juwita.
Kita
akan rindu, cucuku….kita akan cemburu cucuku….kita akan mampu. Justru
bersatulah dalam hidup yang abadi, nanti, apapun yang akan terjadi. Semua kita
pikul bersama, setuju!
Ya…aku
setuju, Mbah….namun malam ini suasana sungguh sepi mencekam, bahkan sungguh
mengerikan sekali, Mbah. Dengar…. mari kita dengarkan suara jangkrik yang memelas
mengundang tanya. Dan dengkur kuli bangunan yang nyenyak pulas di samping kerenda
hemperan tanah wakaf. Lihat juga, Mbah…ada beberapa nasib yang melepas penat,
lelah dan penat tuk lusa ia membingkai waktu, dan sebahagian properti malah
terlihat tambal sulam dan mereka menggenggam sekarung cita-cita. Lalu, ke esok
harinya, mereka terbangun dalam arena pagi yang sungguh hening, kemudian mereka
tergelonjak dalam pekik si jantan yang menggema bertalu-talu.
Sejak
temaram mereka di ambang pintu tanya, tak jarang tercabut nyawa tragis
mengerikan, begitulah tantangan kehidupan itu dilaluinya, Mbah. Walau siang dan
malamnya ada pula yang bersemedi, menangis yang tak pula cengeng merintih akan
nasibnya masing-masing, begitu prihatinnya nafas-nafas ini? Tidak, mbah… justru
mereka berjuang untuk bumi sekalian alam. Mereka bercermin dari keutuhan hidup
yang ada. Mereka adalah beberapa nafas mengaduk reaksi kepada pertiwi, sungguh
berbudi dari berjudi atau mencuri hak-hak orang lain. Sungguh…. ini hakikinya sebuah
peradaban sekaligus kepribadian duniawi. Selain itu kita sendiri yang tahu.
* Penulis:
Pekerja Seni –Budaya dan Praktisi Media