Senin, 02 Juli 2012

RUMAH

0 komentar

Cerpen Inilah Koran, 1 Juli 2012 – oleh Lena Mariana

BERKELEBAT sebuah sinar tampak menyelusup lewat jendela kaca depan rumahku. Meskipun tak begitu cerah, tapi cukup untuk membuat mata silau dan memantulkan sebuah bayangan lain ketika melihatnya. Menyilaukan dan sungguh memuakkan.

Tak jarang aku mengutuknya ketika hampir setiap satu menit sekali, sinar yang ternyata dimainkan oleh sekelompok anak bengal itu tertangkap oleh kedua mataku. Ketika aku toleh keluar, tidak terlihat siapapun, hanya cekikikannya saja yang kudengar.

Rupanya mereka menyelinap di balik pagar besi rumah tetangga. Bersembunyi, sedari tertawa-tawa merasa puas atas ulahnya. Aku geram, tongkat yang baru saja kuambil dari dalam laci meja ini seolah ingin segera melayang jatuh di depan hidung mereka. Atau barangkali hinggap di kedua tangan-tangan jahil itu.

Tapi sayang, kalah kalap. Seorang tua yang tiba-tiba muncul dari samping pagar besi rumahnya lebih dulu membentak dan mengusir mereka. Raut yang menandakan kekesalan itu baru saja direnggutnya. Direnggut si tua yang sudah memberikan pelajaran yang pantas bagi anak-anak bengal itu. Telunjuknya menjurus pada hidung-hidung mereka. Bersuara keras, meneriakinya, dan tentu saja merasa puas setelah menghajarnya dengan sapu lidi yang berada di tangannya. Tanpa rasa takut, anak-anak bengal itu tampak kembali menggoda si tua yang tengah geram dengan melenggak-lenggokkan pantatnya sedari berlari kocar-kacir menjauh dari komplek perumahan ini.

Aku merasa kesal tapi geli. Rasanya seperti sedang berada dalam permainan kartu yang mengesalkan karena kekalahan, tetapi menggelikan sebab terus-menerus mengocok kartu-kartu itu. Sepertinya, aku juga ingin menertawakan si tua, padahal aku sendiri telah dijahili oleh anak bengal tadi.

Tapi itu perkara lain. Meskipun sempat terasa kesal karena kemarahan itu sudah direnggut si tua, tetap saja perasaan lega hinggap di tengah kegeramanku. Sebab, sebentar lagi mereka akan datang kembali dengan membawa seorang wanita kusut. Ya, aku menyebutnya sebagai wanita kusut. Bagaimana tidak, wanita itu akan datang dengan karet gelang pengikat rambutnya yang acak-acakan. Tentu saja dia hendak mengeroyoki si tua yang sudah membentak anak-anak Bengal tadi, seperti yang sudah terjadi padaku sebelumnya.

Aku ingat siang itu. Ketika sedang bersantai di atas kursi malasku, anak-anak bengal itu memainkan cermin-cermin mereka di depan halaman rumah. Sinar yang menyilaukan mata sesekali mengusik diriku tanpa permisi. Padahal, waktu itu aku baru saja menempati rumah ini. Rumah yang kujadikan sebagai tempat berteduh dari kesibukan-kesibukan. Rumah yang bersedia membawa ketenangan duniawi.

Tapi anak-anak bengal itu merusak semuanya. Merusak kenyamananku atas rumah itu. Dengan permainan cermin-cermin mereka yang memuakkan, membuatku terlarut dalam kekesalan.

“Hey, siapa yang bermain cermin di depan halaman rumahku?” aku berteriak di ambang pintu sedari memerhatikan sekitar. Tak kudapati mereka. Sekali lagi kukatakan, aku tak melihat apapun. Hanya cekikikannya saja yang kudengar. Dan rupanya, mereka tengah menyelinap di balik tembok pagar rumah tetangga.

Dengan perasaan jengkel aku kembali masuk ke dalam rumah, dan berusaha membuat tubuhku nyaman kembali terbaring di kursi malas. Mata yang sudah lelah ini perlahan terpejam dengan lemas. Beberapa saat kurasakan sebuah kenyamanan yang dangkal. Begitu nikmat dan cukup untuk sejenak melupakan si anak-anak bengal itu.

Ketika sedang terlelap, tiba-tiba saja semuanya buyar setelah mataku kembali mendapati kilauan-kilauan cahaya memuakkan itu. Aku terperanjat. Kesal. Segera aku beranjak mengeluarkan kekesalan yang semakin menjadi. Aku ingat tongkat di dalam laci meja kerja, dan segera aku ambil dengan paksa. Tongkat untuk menghajar anak-anak bengal itu.

Sedikit kubiarkan mereka bermain dengan cermin-cerminnya, lantas sesekali kuintip dari balik jendela kaca yang sedikit menjorok pada sudut rumah. Aku amati dengan detail, ternyata mereka bertiga, salah satunya membawa cermin di kedua tangannya.

Sambil tertawa-tawa, dia memainkan cermin itu sehingga memunculkan cahaya yang cukup menyilaukan. Dengan bergantian mereka melakukannya, dan tentu saja dengan tawanya yang membuat kegeramanku semakin menjadi.

Semakin diamati, darah di tubuhku semakin melonjak naik. Lantas, segera saja dengan mengendap-ngendap tetapi cepat, aku sudah berada di hadapan mereka. Mereka tercengang dan kaget luar biasa, sementara mulutnya menganga. Tanpa ragu, segera saja aku hantamkan tongkat itu. Tapi, mereka mengelak dan hampir saja aku terpelanting karena tidak tepat sasaran. Aku semakin kesal karena dengan sengaja mereka menggodaku, melenggak-lenggokkan pantatnya sambil berusaha menghindar dari terjangan tongkatku.

Karena kesal, aku berusaha kembali mengayunkan tongkat hingga akhirnya mengenai salah satu dari mereka. Sayangnya, sepertinya tongkat itu hanya mengenai ujung lengannya, sehingga mereka tetap menggodaku sambil berlari.

“Hey, mau ke mana kalian? Ayo, kemari rasakan tongkatku sekali lagi. Kali ini pasti tak akan meleset. Ayo..kemari!” teriakku geram.

“Haha..dasar pecundang. Melawan anak kecil saja sudah kelimpungan, berkali-kali pun pasti meleset..,” teriak salah satu dari mereka yang kembali membuatku semakin geram.

Hampir saja aku mengejar mereka, tetapi rasanya memang aku sudah kelimpungan menghadapi mereka. Aku mengakuinya. Lebih baik aku kembali dan melupakan kejadian yang sudah membuat energi di sekujur tubuhku terbuang percuma. Lagi pula, anak-anak bengal itu sudah jauh.

Aku tarik napas panjang sambil menatap ke arah ketiga anak-anak bengal itu pergi. Ada sedikit keganjilan yang hinggap. Sedikit terpikirkan olehku, mengingat kelakuan mereka tadi yang sengaja memancing kemarahanku dan setelahnya pergi tanpa merasa takut sedikitpun. Ah, mungkin saja karena aku tak dapat memukulkan tongkat ini tepat pada tubuh mereka, pikirku kemudian.

Lantas, ketika baru saja kakiku hendak melangkah kembali masuk ke rumah, tiba-tiba dari arah mereka pergi terlihat sesosok wanita berjalan bersama mereka dengan rambut yang acak-acakan. Ya, inilah pertama kali aku menyebutnya sebagai wanita kusut.

Dan, bayangan wanita itu hampir sama persis dengan wanita yang kini kembali berjalan bersama-sama anak-anak Bengal itu. Tentu saja kali ini bukan untuk mengeroyok aku, tetapi si tua yang menghajar anak-anak tadi. Batinku terkekeh-kekeh membayangkan wajah si tua yang digerombol sandiwara ingusan semacam ini.

Dari jauh, terlihat bayangan wanita kusut dan si bengal itu berjalan lebih lambat dari biasanya. Mulutnya bergerutu sambil mengacak-acak rambutnya yang membuatnya semakin kusut. Si bengal yang selalu menggoda dengan cekikikan itu kini menangis keras dengan ingusnya yang tebal. Menjijikan. Sementara yang lain mengiringinya dengan ikut memasang tangis di kedua mata mereka. Dan, tentu saja hendak meminta pertanggungjawaban pada si tua tadi.

Tetapi, mengapa mereka tidak mengedor-gedor pagar rumah si tua, malah mereka menatap dan berjalan mendekatiku?

“Lihat ini! Katanya kau yang sudah memukulnya tadi?” teriak si wanita kusut. Keras sekali.

“Siapa bilang? Siapa yang memukul? Saya tak memukulnya. Memegang tangannya pun tidak. Tidak sama sekali,” kataku meyakinkan.

“Lalu apa itu? Kau memegang tongkat, dan.. ya, pasti tongkat itu yang kau gunakan untuk memukul mereka. Dasar orang kaya, mainnya hanya bisa memukul,” dia tetap ngotot.

Aku diam. Hanya diam. Wanita kusut itu membuatku bungkam. Ah, tidak. Bukan. Bukan dia, tapi tongkat ini. Tongkat yang aku pegang ini membuatku tak bisa berkutik dari tuduhan si wanita kusut itu. Ah, pantas saja dia tak mendorong pagar rumah si tua, pikirku kesal.

“Ya, tentu saja, orang kaya. Melakukan apapun bisa, tapi tidak untuk hari ini. Kau lihat anak ini, dia kesakitan karena tongkatmu itu. Dan kau..” tiba-tiba dia berhenti dan menatapku tajam. Matanya yang berwarna hitam pekat, tampak seperti mata elang betina hitam yang hendak memangsaku.

“Yaaa, aku ingat. Kau orang yang kemarin memukul mereka dengan tongkatmu ini kan? Ayo mengakulah! Dua kali sudah kau menyakiti anak-anak ini. Apa salah mereka? Apa kau berusaha melampiaskan kemarahanmu atas masalah-masalahmu? Atau karena utang-utangmu?” wanita tua itu semakin menjadi-jadi.

Aku kembali diam. Aku tak bisa berkutik untuk mengatakan bahwa bukan aku yang sudah menghajar mereka. Rasanya mulutku mulai bergeming ragu, dan si wanita kusut itu kembali berteriak.

“Kami memang terlahir miskin dan tak memiliki apa-apa. Lantas, apa kau bisa bertindak sesuka hati pada kami? Dan lihat! Anak ini terus menangis sepanjang hari, karena tongkatmu ini. Kau dengar? Dia menangis karena tongkatmu! Kau harus..”

“Tentu, berapa kerugiannya?” tanyaku tiba-tiba, setelah kudapati ke arah mana maksud teriakan si wanita kusut itu. Tentu saja, sama seperti yang telah terjadi padaku dulu.

“Banyak. Kau tahu bukan? Banyak sekali! Di rumah, dia tidak akan diam. Terus saja merengek, dan pekerjaan tertinggal semua. Padahal pekerjaan itu menghasilkan uang, tapi harus tertinggal karena rengekan anak ini. Tentu, dalam hal ini diperlukan banyak.. dan banyak sekali. Setiap hari, dia akan minta gendong, tentu saja dengan rengekannya. Lantas bagaimana kami bisa makan kalau pekerjaan tertinggal akibat rengekannya, apa kau bisa membayangkan berapa kerugiannya?” teriak wanita kusut itu kembali membuatku mulai merasa bosan dan kesal.

Segera saja aku keluarkan beberapa lembar kertas berwarna biru dan mungkin sebagian berwarna sedikit kemerahan. Lantas wanita kusut itu diam tak meneruskan ocehannya dengan mata yang nakal, sedari kembali mengacak-acak rambutnya dengan cakarnya karena merasa gatal. Lalu tersenyum, matanya berbinar-binar dan sungguh menyebalkan.

Tanpa banyak cakap mereka lalu pergi. Sandiwara yang menjijikan. Aku tak pernah berpikir bertemu si wanita kusut itu hingga dua kali. Padahal, sudah jelas si tua tadi yang membentak, menghajar, dan mengusir mereka dengan sapu lidinya. Ah, dasar pecundang, pikirku. Membuat onar dan hanya bikin pusing.

Aku pandangi tongkat yang masih berada di tangan. Tongkat yang seolah menanti untuk segera menghajar si bengal itu. Sementara kilauan cahaya busuk itu kembali menembus dua bola mataku, silau, dan sekali lagi. sungguh memuakkan.

Kembali aku intip mereka di balik jendela kaca yang sedikit menjorok pada sudut rumahku. Sesaat aku tatap wajah anak-anak bengal itu. Mereka tampak begitu mengerikan. Mereka seperti bocah iblis. (*)
 

Leave a Reply