Cerpen Inilah Koran, 1 Juli 2012 – oleh Lena Mariana
BERKELEBAT
sebuah sinar tampak menyelusup lewat jendela kaca depan rumahku. Meskipun tak
begitu cerah, tapi cukup untuk membuat mata silau dan memantulkan sebuah
bayangan lain ketika melihatnya. Menyilaukan dan sungguh memuakkan.
Tak
jarang aku mengutuknya ketika hampir setiap satu menit sekali, sinar yang ternyata
dimainkan oleh sekelompok anak bengal itu tertangkap oleh kedua mataku. Ketika
aku toleh keluar, tidak terlihat siapapun, hanya cekikikannya saja yang
kudengar.
Rupanya
mereka menyelinap di balik pagar besi rumah tetangga. Bersembunyi, sedari
tertawa-tawa merasa puas atas ulahnya. Aku geram, tongkat yang baru saja
kuambil dari dalam laci meja ini seolah ingin segera melayang jatuh di depan
hidung mereka. Atau barangkali hinggap di kedua tangan-tangan jahil itu.
Tapi
sayang, kalah kalap. Seorang tua yang tiba-tiba muncul dari samping pagar besi
rumahnya lebih dulu membentak dan mengusir mereka. Raut yang menandakan kekesalan
itu baru saja direnggutnya. Direnggut si tua yang sudah memberikan pelajaran yang
pantas bagi anak-anak bengal itu. Telunjuknya menjurus pada hidung-hidung
mereka. Bersuara keras, meneriakinya, dan tentu saja merasa puas setelah menghajarnya
dengan sapu lidi yang berada di tangannya. Tanpa rasa takut, anak-anak bengal
itu tampak kembali menggoda si tua yang tengah geram dengan melenggak-lenggokkan
pantatnya sedari berlari kocar-kacir menjauh dari komplek perumahan ini.
Aku
merasa kesal tapi geli. Rasanya seperti sedang berada dalam permainan kartu
yang mengesalkan karena kekalahan, tetapi menggelikan sebab terus-menerus mengocok
kartu-kartu itu. Sepertinya, aku juga ingin menertawakan si tua, padahal aku sendiri
telah dijahili oleh anak bengal tadi.
Tapi
itu perkara lain. Meskipun sempat terasa kesal karena kemarahan itu sudah
direnggut si tua, tetap saja perasaan lega hinggap di tengah kegeramanku. Sebab,
sebentar lagi mereka akan datang kembali dengan membawa seorang wanita kusut.
Ya, aku menyebutnya sebagai wanita kusut. Bagaimana tidak, wanita itu akan
datang dengan karet gelang pengikat rambutnya yang acak-acakan. Tentu saja dia
hendak mengeroyoki si tua yang sudah membentak anak-anak Bengal tadi, seperti
yang sudah terjadi padaku sebelumnya.
Aku
ingat siang itu. Ketika sedang bersantai di atas kursi malasku, anak-anak bengal
itu memainkan cermin-cermin mereka di depan halaman rumah. Sinar yang
menyilaukan mata sesekali mengusik diriku tanpa permisi. Padahal, waktu itu aku
baru saja menempati rumah ini. Rumah yang kujadikan sebagai tempat berteduh
dari kesibukan-kesibukan. Rumah yang bersedia membawa ketenangan duniawi.
Tapi
anak-anak bengal itu merusak semuanya. Merusak kenyamananku atas rumah itu.
Dengan permainan cermin-cermin mereka yang memuakkan, membuatku terlarut dalam
kekesalan.
“Hey,
siapa yang bermain cermin di depan halaman rumahku?” aku berteriak di ambang
pintu sedari memerhatikan sekitar. Tak kudapati mereka. Sekali lagi kukatakan, aku
tak melihat apapun. Hanya cekikikannya saja yang kudengar. Dan rupanya, mereka tengah
menyelinap di balik tembok pagar rumah tetangga.
Dengan
perasaan jengkel aku kembali masuk ke dalam rumah, dan berusaha membuat tubuhku
nyaman kembali terbaring di kursi malas. Mata yang sudah lelah ini perlahan
terpejam dengan lemas. Beberapa saat kurasakan sebuah kenyamanan yang dangkal. Begitu
nikmat dan cukup untuk sejenak melupakan si anak-anak bengal itu.
Ketika
sedang terlelap, tiba-tiba saja semuanya buyar setelah mataku kembali mendapati
kilauan-kilauan cahaya memuakkan itu. Aku terperanjat. Kesal. Segera aku
beranjak mengeluarkan kekesalan yang semakin menjadi. Aku ingat tongkat di
dalam laci meja kerja, dan segera aku ambil dengan paksa. Tongkat untuk menghajar
anak-anak bengal itu.
Sedikit
kubiarkan mereka bermain dengan cermin-cerminnya, lantas sesekali kuintip dari balik
jendela kaca yang sedikit menjorok pada sudut rumah. Aku amati dengan detail,
ternyata mereka bertiga, salah satunya membawa cermin di kedua tangannya.
Sambil
tertawa-tawa, dia memainkan cermin itu sehingga memunculkan cahaya yang cukup menyilaukan.
Dengan bergantian mereka melakukannya, dan tentu saja dengan tawanya yang membuat
kegeramanku semakin menjadi.
Semakin
diamati, darah di tubuhku semakin melonjak naik. Lantas, segera saja dengan mengendap-ngendap
tetapi cepat, aku sudah berada di hadapan mereka. Mereka tercengang dan kaget
luar biasa, sementara mulutnya menganga. Tanpa ragu, segera saja aku hantamkan
tongkat itu. Tapi, mereka mengelak dan hampir saja aku terpelanting karena
tidak tepat sasaran. Aku semakin kesal karena dengan sengaja mereka menggodaku,
melenggak-lenggokkan pantatnya sambil berusaha menghindar dari terjangan tongkatku.
Karena
kesal, aku berusaha kembali mengayunkan tongkat hingga akhirnya mengenai salah satu
dari mereka. Sayangnya, sepertinya tongkat itu hanya mengenai ujung lengannya,
sehingga mereka tetap menggodaku sambil berlari.
“Hey,
mau ke mana kalian? Ayo, kemari rasakan tongkatku sekali lagi. Kali ini pasti
tak akan meleset. Ayo..kemari!” teriakku geram.
“Haha..dasar
pecundang. Melawan anak kecil saja sudah kelimpungan, berkali-kali pun pasti meleset..,”
teriak salah satu dari mereka yang kembali membuatku semakin geram.
Hampir
saja aku mengejar mereka, tetapi rasanya memang aku sudah kelimpungan
menghadapi mereka. Aku mengakuinya. Lebih baik aku kembali dan melupakan kejadian
yang sudah membuat energi di sekujur tubuhku terbuang percuma. Lagi pula, anak-anak
bengal itu sudah jauh.
Aku
tarik napas panjang sambil menatap ke arah ketiga anak-anak bengal itu pergi.
Ada sedikit keganjilan yang hinggap. Sedikit terpikirkan olehku, mengingat kelakuan
mereka tadi yang sengaja memancing kemarahanku dan setelahnya pergi tanpa
merasa takut sedikitpun. Ah, mungkin saja karena aku tak dapat memukulkan tongkat
ini tepat pada tubuh mereka, pikirku kemudian.
Lantas,
ketika baru saja kakiku hendak melangkah kembali masuk ke rumah, tiba-tiba dari
arah mereka pergi terlihat sesosok wanita berjalan bersama mereka dengan rambut
yang acak-acakan. Ya, inilah pertama kali aku menyebutnya sebagai wanita kusut.
Dan,
bayangan wanita itu hampir sama persis dengan wanita yang kini kembali berjalan
bersama-sama anak-anak Bengal itu. Tentu saja kali ini bukan untuk mengeroyok
aku, tetapi si tua yang menghajar anak-anak tadi. Batinku terkekeh-kekeh membayangkan
wajah si tua yang digerombol sandiwara ingusan semacam ini.
Dari
jauh, terlihat bayangan wanita kusut dan si bengal itu berjalan lebih lambat
dari biasanya. Mulutnya bergerutu sambil mengacak-acak rambutnya yang membuatnya
semakin kusut. Si bengal yang selalu menggoda dengan cekikikan itu kini
menangis keras dengan ingusnya yang tebal. Menjijikan. Sementara yang lain
mengiringinya dengan ikut memasang
tangis di kedua mata mereka. Dan, tentu saja hendak meminta pertanggungjawaban pada
si tua tadi.
Tetapi,
mengapa mereka tidak mengedor-gedor pagar rumah si tua, malah mereka menatap
dan berjalan mendekatiku?
“Lihat
ini! Katanya kau yang sudah memukulnya tadi?” teriak si wanita kusut. Keras
sekali.
“Siapa
bilang? Siapa yang memukul? Saya tak memukulnya. Memegang tangannya pun tidak. Tidak
sama sekali,” kataku meyakinkan.
“Lalu
apa itu? Kau memegang tongkat, dan.. ya, pasti tongkat itu yang kau gunakan
untuk memukul mereka. Dasar orang kaya, mainnya hanya bisa memukul,” dia tetap
ngotot.
Aku
diam. Hanya diam. Wanita kusut itu membuatku bungkam. Ah, tidak. Bukan. Bukan
dia, tapi tongkat ini. Tongkat yang aku pegang ini membuatku tak bisa berkutik
dari tuduhan si wanita kusut itu. Ah, pantas saja dia tak mendorong pagar rumah
si tua, pikirku kesal.
“Ya,
tentu saja, orang kaya. Melakukan apapun bisa, tapi tidak untuk hari ini. Kau
lihat anak ini, dia kesakitan karena tongkatmu itu. Dan kau..” tiba-tiba dia
berhenti dan menatapku tajam. Matanya yang berwarna hitam pekat, tampak seperti
mata elang betina hitam yang hendak memangsaku.
“Yaaa,
aku ingat. Kau orang yang kemarin memukul mereka dengan tongkatmu ini kan? Ayo mengakulah!
Dua kali sudah kau menyakiti anak-anak ini. Apa salah mereka? Apa kau berusaha melampiaskan
kemarahanmu atas masalah-masalahmu? Atau karena utang-utangmu?” wanita tua itu
semakin menjadi-jadi.
Aku
kembali diam. Aku tak bisa berkutik untuk mengatakan bahwa bukan aku yang sudah
menghajar mereka. Rasanya mulutku mulai bergeming ragu, dan si wanita kusut itu
kembali berteriak.
“Kami
memang terlahir miskin dan tak memiliki apa-apa. Lantas, apa kau bisa bertindak
sesuka hati pada kami? Dan lihat! Anak ini terus menangis sepanjang hari,
karena tongkatmu ini. Kau dengar? Dia menangis karena tongkatmu! Kau harus..”
“Tentu,
berapa kerugiannya?” tanyaku tiba-tiba, setelah kudapati ke arah mana maksud
teriakan si wanita kusut itu. Tentu saja, sama seperti yang telah terjadi padaku
dulu.
“Banyak.
Kau tahu bukan? Banyak sekali! Di rumah, dia tidak akan diam. Terus saja
merengek, dan pekerjaan tertinggal semua. Padahal pekerjaan itu menghasilkan uang,
tapi harus tertinggal karena rengekan anak ini. Tentu, dalam hal ini diperlukan
banyak.. dan banyak sekali. Setiap hari, dia akan minta gendong, tentu saja
dengan rengekannya. Lantas bagaimana kami bisa makan kalau pekerjaan tertinggal
akibat rengekannya, apa kau bisa membayangkan berapa kerugiannya?” teriak
wanita kusut itu kembali membuatku mulai merasa bosan dan kesal.
Segera
saja aku keluarkan beberapa lembar kertas berwarna biru dan mungkin sebagian berwarna
sedikit kemerahan. Lantas wanita kusut itu diam tak meneruskan ocehannya dengan
mata yang nakal, sedari kembali mengacak-acak rambutnya dengan cakarnya karena
merasa gatal. Lalu tersenyum, matanya berbinar-binar dan sungguh menyebalkan.
Tanpa
banyak cakap mereka lalu pergi. Sandiwara yang menjijikan. Aku tak
pernah berpikir bertemu si wanita kusut itu hingga dua kali. Padahal, sudah
jelas si tua tadi yang membentak, menghajar, dan mengusir mereka dengan sapu
lidinya. Ah, dasar pecundang, pikirku. Membuat onar dan hanya bikin pusing.
Aku
pandangi tongkat yang masih berada di tangan. Tongkat yang seolah menanti untuk
segera menghajar si bengal itu. Sementara kilauan cahaya busuk itu kembali
menembus dua bola mataku, silau, dan sekali lagi. sungguh memuakkan.
Kembali
aku intip mereka di balik jendela kaca yang sedikit menjorok pada sudut
rumahku. Sesaat aku tatap wajah anak-anak bengal itu. Mereka tampak begitu mengerikan.
Mereka seperti bocah iblis. (*)