Cerpen Kompas, 1 Juli 2012 – oleh Sulung Pamanggih
Sebenarnya
tidak ada keistimewaan khusus mengenai keahlian Darko dalam memijat. Standar
tukang pijat pada layaknya. Namun, keramahannya yang mengalir menambah daya
pikat tersendiri. Kami menemukan ketenangan di wajahnya yang membuat kami
senantiasa merasa dekat. Mungkin oleh sebab itu kami terus membicarakannya.
Entah
darimana asalnya, tiada seorang warga pun yang tahu. Tiba-tiba saja datang ke
kampung kami dengan pakaian tampak lusuh. Kami sempat menganggap dia adalah
pengemis yang diutus kitab suci. Dia bertubuh jangkung tetapi terkesan
membungkuk, barangkali karena usia. Peci melingkar di kepala. Jenggot lebat
mengitari wajah. Tanpa mengenakan kacamata, membuat matanya yang hampa terlihat
lebih suram, dia menawarkan pijatan dari rumah ke rumah. Kami melihat mata yang
bagai selalu ingin memejam, hanya selapis putih yang terlihat.
Kami
pun penasaran ingin merasakan pijatannya. Maklum, tak ada tukang pijat di
kampung kami, apalagi yang keliling. Biasanya kami saling pijat memijat dengan
istri di rumah masing-masing, itu pun hanya sekadarnya. Kami harus menuju ke dukun
pijat di kampung sebelah bila ingin merasakan pijatan yang sungguh-sungguh atau
mengurut tangan kaki kami yang terkilir.
Hampir
kebanyakan warga di kampung kami ini adalah buruh tani. Hanya beberapa orang
yang memiliki sawah, dapat dihitung dengan ingatan. Setiap hari kami harus
menumpahkan tenaga di ladang. Dapat dibayangkan keletihan kami bila malam
menjelang. Tentulah kehadiran Darko membuat kampung kami lebih menggeliat,
makin bergairah.
Setiap
malam, dengan membawa minyak urut, dia menyusur dari gang ke gang kampung guna
menjemput pelanggan. Kakinya bagai digerakkan tanah, dia begitu saja melangkah
tanpa bantuan tongkat. Tidak pernah menabrak pohon atau jatuh ke sungai.
Memang, tangannya kerap meraba-raba udara ketika melangkah, seperti sedang menatap
keadaan. Barangkali penglihatan Darko terletak di telapak tangannya.
Dia
akan berhenti ketika seseorang memanggilnya. Melayani pelanggannya dengan tulus
dan sama rata, tanpa pernah memandang suatu apa pun. Serta yang membuat kami
semakin hormat, tidak pernah sekali pun dia mematok harga. Dengan biaya murah,
bahkan terkadang hanya dengan mengganti sepiring nasi dan teh panas, kami bisa
mendapatkan kenikmatan pijat yang tiada tara. Kami menikmati bagaimana
tangannya menekan lembut tiap jengkal tubuh kami. Kami merasakan urat syaraf
kami yang perlahan melepaskan kepenatan bagai menemukan kesegaran baru setelah
seharian ditimpa kelelahan. Pantaslah bila terkadang ada pelanggan yang
tertidur saat sedang dipijat.
Selain
itu, Darko memiliki pembawaan sikap yang ramah, tidak mengherankan bila orang-
orang kampung segera merasa akrab dengan dirinya. Dia suka pula menceritakan
kisah lucu di sela pijatannya. Meskipun begitu, kami tetap tidak tahu asal
usulnya dengan jelas. Bila kami menanyakannya, dia selalu mengatakan bahwa
dirinya berasal dari kampung yang jauh di kaki gunung.
Kemudian
kami ketahui, bila malam hampir tandas, Darko kembali ke tempat pemakaman di
ujung kampung. Di antara sawah-sawah melintang. Sebuah tempat pemakaman yang
muram, menegaskan keterasingan. Di sana terdapat sebuah gubuk yang menyimpan
keranda, gentong, serta peralatan penguburan lain yang tentu saja kotor sebab
hanya diperlukan bila ada warga meninggal. Di keranda itulah Darko tidur,
memimpikan apa saja. Dia selalu mensyukuri mimpi, meskipun percaya mimpi tak
akan mengubah apa-apa. Sudah berhari-hari dia tinggal di sana. Tak dapat kami
bayangkan bagaimana aroma mayit yang membubung ke udara lewat tengah malam,
menggenang di dadanya, menyesakkan pernapasan.
Kami
lantas menyarankan supaya menginap di masjid saja. Namun dia tolak. Katanya
kini masjid sedang berada di ujung tanduk. Entahlah, dia lebih memilih tinggal
di pemakaman, membersihkan kuburan siapa saja.
Seminggu
kemudian orang-orang kampung gusar. Pak Lurah mengumumkan bahwa masjid kampung
satu-satunya yang berada di jalan utama, akan segera dipindah ke permukiman
berimpitan rumah-rumah warga dengan alasan agar kami lebih dekat menjangkaunya.
Supaya masjid senantiasa dipenuhi jemaah.
Namun,
berhamburan kabar Pak Lurah akan mengorbankan tanah masjid dan sekitarnya ini
kepada orang kota untuk sebuah proyek pasar masuk kampung. Tentu saja merupakan
tempat yang strategis daripada di pelosok permukiman, harus melewati gang yang
meliuk-liuk dan becek seperti garis nasib kami.
Di
saat seperti itu kami justru teringat Darko. Ucapannya terngiang kembali,
mengendap ke telinga kami bagai datang dari keterasingan yang kelam. Kami mulai
bertanya-tanya. Adakah Darko memang sudah mengetahui segala yang akan terjadi?
Sejauh ini kami hanya saling memendam di dalam hati masing-masing tentang
dugaan bahwa Darko memiliki kejelian menangkap hari lusa.
Namun
diam-diam ketika sedang dipijat, Kurit, seorang warga kampung yang terkenal
suka ceplas-ceplos, meminta Darko meramalkan nasibnya. Darko hanya tersenyum
sambil gelengkan kepala berkali-kali isyarat kerendahan hati, seakan berkata
bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa selain memijat. Namun Kurit terus
mendesak. Akhirnya seusai memijat, Darko pun menuruti permintaannya.
Dengan
sikap yang tenang dia mulai mengusap telapak tangan Kurit, menatapnya dengan
mata terpejam, kemudian berkata; Telapak tangan adalah pertemuan antara
kesedihan dan kebahagiaan. Entahlah apa maksudnya, Kurit kali ini hanya diam
saja, mendengarkan dengan takzim.
”Ada
kekuatan tersimpan di telapak tanganmu.”
Kurit
serius menyimaknya masih dalam keadaan berbaring.
”Tetap
dirawat pertanianmu, rezeki akan terus membuntuti,” tambahnya.
Kurit
mengangguk, masih tanpa ucap.
Setelah
merasa tak ada lagi sesuatu yang harus dikerjakan, Darko permisi. Berjalan
kembali menapaki malam yang lengang. Langkahnya begitu jelas terdengar, gesekan
telapak kakinya pada tanah menimbulkan bunyi yang gemetar. Sementara Kurit
terus menyimpan ucapan Darko, berharap akan menjadi kenyataan.
***
Siang
hari. Darko selalu duduk berlama-lama di celah gundukan-gundukan tanah yang
berjajar. Seperti sedang merasakan udara yang semilir di bawah pohon-pohon tua.
Menangkap suara burung-burung yang melengking di kejauhan. Menikmati aroma
semak-semak. Mulutnya bergerak, seperti sedang merapalkan doa. Mungkin dia
mendoakan mereka yang di alam kubur sana. Dan bila ada warga meninggal, Darko
kerap membantu para penggali kubur. Meski sekadar mengambil air dari sumur, supaya
tanah lebih mudah digali.
Begitulah,
saat siang hari kami tak pernah melihat Darko keliling kampung. Barangkali dia
lebih memilih menyepi dalam hening pemakaman. Ada saja sesuatu yang dia
kerjakan. Bahkan yang mungkin tidak begitu penting sekalipun. Mencabuti
rerumputan liar di permukaan tanah makam, mengumpulkan dedaunan yang berserakan
dengan sapu lidi lalu membakarnya. Padahal, lihatlah betapa daun-daun tidak
akan pernah berhenti menciumi bumi. Dia begitu tangkas melakukan itu semua,
seakan memang tak pernah ada masalah dengan penglihatannya.
Kurit
membenarkan ucapan Darko. Bawang merah yang dipanennya kini lebih besar dan
segar daripada hasil panen sebelumnya. Bertepatan dengan naiknya harga bawang
yang memang tak menentu. Dengan meluap-luap Kurit menceritakan kejelian Darko
membaca nasib seseorang kepada siapa saja yang dijumpainya. Kabar tentang
ramalannya pun bagai udara, beredar di perkampungan.
Kini
hampir setiap malam selalu saja ada yang membutuhkan jasanya. Para perempuan,
yang biasanya lebih menyukai pijatan suami, mulai menunggu giliran. Entah
karena memang butuh mengendorkan otot yang tegang atau sekadar ingin mengetahui
ramalannya. Mungkin dua-duanya. Bila kebetulan kami menjumpainya di jalan dan
minta diramal tanpa pijat sebelumnya, Darko tidak akan bersedia melakukannya.
Katanya, dia hanya menawarkan jasa pijat, bukan ramalan.
Di
warung wedang jahe, orang-orang terus membicarakannya. Mereka saling
menceritakan ramalan masing-masing.
”Akan
datang kepadaku putri kecil pembawa rezeki.”
”Eh,
dia juga bilang, sebentar lagi akan habis masa penantianku,” kata perempuan
pemilik warung dengan nada berbunga-bunga. Ia hampir layu menunggu lamaran.
”Dia
menyarankan supaya aku beternak ayam saja,” seseorang menambahi.
Begitulah,
dengan sangat berkobar-kobar kami menceritakan ramalan masing-masing. Setiap
lamunan kami habiskan untuk berharap. Menunggu dengan keyakinan mengucur
seperti curah keringat kami yang terus menetes sepanjang hari.
Sungguh
tak dapat kami pungkiri. Tak dapat kami sangkal, segalanya benar-benar terjadi.
Talim dianugerahi bayi perempuan yang sehat dari rahim istrinya. Tak lama
jelang itu, Surtini si perawan tua menerima lamaran seorang duda dari kampung
sebelah. Sementara Tasrip bergembira mendapati ternak ayamnya gemuk dan lincah.
Disusul dengan kejadian-kejadian serupa.
Kejelian
Darko dalam meramal semakin diyakini orang- orang kampung. Ketepatannya membaca
nasib seperti seorang petani memahami gerak musim-musim. Pak Lurah pun merasa
terusik mendengar kabar yang dari hari ke hari semakin meluap itu. Ia
sebelumnya memang belum pernah merasakan pijatan Darko. Ia lebih memilih pijat
ke kampung sebelah yang bersertifikat, menurutnya lebih pantas dipercayai.
Malam
itu diam-diam Pak Lurah memanggil Darko ke rumahnya. Seusai dipijat, dengan
suara penuh wibawa ia meminta diramalkannya nomer togel yang akan keluar besok
malam. Seperti biasa, Darko hanya menggeleng sambil tersenyum. Namun Pak Lurah
terus mendesak, bahkan sedikit memohon. Darko diam beberapa jenak. Kemudian,
dengan sangat terang dia pun menyebutkan angka sejumlah empat kali diikuti
gerak jari-jari tangannya. Kali ini Pak Lurah yang tersenyum, gembira melintasi
raut mukanya.
Seperti
biasa, setelah merasa tidak ada sesuatu yang harus dikerjakan, Darko permisi.
Membiarkan tubuhnya diterpa angin malam yang lembab.
***
Orang-orang
kampung kini mulai gelisah. Sudah dua malam kami tidak menjumpai Darko keliling
kampung. Kami hanya bisa menduga dengan kemungkinan-kemungkinan. Sementara Pak
Lurah kian geram, merasa dilecehkan. Mendapati nomer togel pemberiannya tak
kunjung tembus. Esoknya, di suatu Jumat yang cerah, Pak Lurah mengumpulkan
beberapa warga—terutama yang lelaki—guna memindahkan perlengkapan penguburan ke
tengah permukiman. Katanya, tanah kuburan semakin sesak, membutuhkan lahan
luang yang lebih.
Sesampainya
di sana, kami tetap tidak menjumpai Darko. Di gubuk itu, kami tidak juga
menemukan jejak peninggalannya. Dengan memendam perasaan getir kami merobohkan
tempat tinggalnya. Dalam hati kami masih sempat bertanya. Adakah Darko memang
sudah mengetahui segala yang akan terjadi?
Kamar Malas, Januari 2012